Dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) ke-4 di Sawangan 1989, saya mengusulkan WALHI memperkuat advokasinya dengan memperkuat basis data dan membangun kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya. Gagasan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Pungki, sapaan akrab Agus Purnomo, dan kawan-kawan di Jakarta. Pada tahun 1992 berdirilah Yayasan Pelangi Indonesia, yang dimaksudkan sebagai think-tank untuk mendukung kerja-kerja advokasi WALHI dengan kajian-kajian kebijakan lingkungan hidup di Indonesia dan level global.
Para pendiri Pelangi yang saya ingat adalah Pungki, Mbak Erna Witoelar, Hakim Garuda Nusantara, Agus Pratama Sari, Suraya Affif, dan Agus Pambagio. Saya yang ketika itu tinggal di Ujung Pandang (sekarang Makassar), diajak turut serta sebagai anggota pendiri.
Sebetulnya ada pula maksud terselubung dalam pendirian Pelangi, yakni memberikan tempat bagi Pungki setelah masa jabatannya sebagai Direktur Eksekutif WALHI berakhir. Ini adalah masalah akut bagi ornop Indonesia pada saat itu: bagaimana menempatkan orang nomor satu mereka setelah masa jabatan berakhir? Bagi beberapa ornop, misalnya Bina Swadaya, mereka menempatkan pendiri dan Direktur Eksekutif mereka untuk masa tak terbatas. Beberapa ornop yang memiliki tradisi lebih demokratis, seperti WALHI dan YLBHI, mengubah kepemimpinan secara berkala.
Teman-teman YLBHI kemudian juga membuat ELSAM untuk mewadahi energi dan aktivisme Hakim Garuda Nusantara selepas usai menjabat Direktur YLBHI Jakarta. Sehingga, ia tak harus membuka kantor pengacara seperti alumni YLBHI lainnya.
Ketika masih bersama PKBI, saya mengusulkan sebuah pengaturan kepegawaian yang lebih lentur dan bukan berdasarkan karir, melainkan penugasan. Maksudnya, seseorang bisa saja pada satu periode menjadi direktur, setelah itu menjadi petugas lapangan, kemudian menjadi peneliti. Namun, gagasan ini mendapat banyak tentangan karena saya juga mengusulkan penghasilan ditentukan berdasarkan jabatan. Dengan begitu ketika menjadi petugas lapangan, seorang mantan direktur harus diupah sebagai petugas lapangan, bukan dengan gaji direktur.
Masalah akut soal karir penggiat ornop ini masih berlangsung sampai sekarang. Walaupun, kondisi setelah reformasi memungkinkan penggiat ornop menggunakan pintu putar (revolving door) ke pemerintahan atau ke dunia bisnis, lalu kembali ke ornop.
Kembali ke Yayasan Pelangi. Dalam satu periode pada dasawarsa 1990-an sampai awal milenium ketiga, Pelangi adalah organisasi Indonesia yang diperhitungkan dalam penyusunan kebijakan lingkungan hidup di negara ini maupun di aras internasional. Kajian-kajian Pelangi mengenai energi, transportasi publik, perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan merupakan sesuatu yang maju dan terbaru (cutting-edge).
Dua nama yang sangat populer dalam 3 tahun terakhir, yakni Wiku Adisasmito (Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19) dan Bambang Susantono (Kepala Otorita Ibu Kota Negara Nusantara), dalam perjalanan karirnya pernah menjadi peneliti di Pelangi. Begitu pula Leonard Simanjuntak (Direktur Greenpeace Indonesia), Tri Nugroho (Direktur Multistakeholder Forest Project 4/MFP4), dan Kuki Soejachmoen (Direktur Indonesia Research Institute for Decarbonization/IRID). Selain Pungki yang pernah menjadi anggota Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia (DNPI), dan Agus Pratama Sari yang pernah menjadi Deputi Kepala Badan Pelaksana REDD+ (BPREDD) dan sekarang menjadi Direktur Eksekutif Landscape Indonesia, ada banyak nama lain yang pernah menjadi peneliti Pelangi sekarang tersebar di WWF, ADB, dan banyak organisasi internasional lainnya. Daftarnya akan sangat panjang.
Saya dipilih menjadi ketua Badan Pengurus Pelangi pada 2010, saat pamor Pelangi sudah mulai menurun. Bahkan saya harus berhadapan dengan masalah keuangan Pelangi yang sangat mengkhawatirkan sehingga harus pindah kantor dari Kebayoran Baru ke Tebet, menumpang dengan Yayasan Raca, karena tak ada lagi dana untuk menyewa kantor. Situasi tersulitnya adalah ketika Kedutaan Besar Denmark menagih pekerjaan yang belum diselesaikan Pelangi. Kedubes Denmark mengancam akan menempuh jalur hukum, atau mengharuskan Pelangi mengembalikan seluruh dana hibah yang telah diberikan.
Ketika itu saya sebagai Ketua Badan Pengurus, bersama Mas Ismid Hadad sebagai Ketua Badan Pembina dan Pungki, harus menghadap Duta Besar Denmark untuk mendapatkan keringanan. Dubes Denmark agak terkejut juga ketika menerima kami. Ketika itu Mas Ismid adalah Ketua DNPI, Pungki staf khusus Presiden, dan saya Kepala Unit (Task Team Leader) EXT di Bank Dunia. Ia tak menyangka bahwa ornop kecil yang berhutang pekerjaan itu ternyata bukan kaleng-kaleng. Ia kemudian memberikan waktu lebih banyak kepada Pelangi untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Saya harus mengangkat topi kepada Nur Amalia, akrab dipanggil Nunung, yang menjadi anggota Badan Pengurus Pelangi. Nunung mengambil alih peran Direktur Eksekutif yang kosong karena ditinggalkan oleh staf Pelangi. Ia memindahkan Pelangi ke kantor Yayasan Raca yang dipimpinnya, menyelesaikan pekerjaan Pelangi dengan uang pinjaman, dan kemudian menutup Pelangi.
Yayasan Pelangi tidak pernah dibubarkan. Namun dia sudah tidak aktif lagi sejak 2017. Sebuah kisah daur hidup organisasi yang saya ikut saksikan sejak lahir, dewasa, tua dan kemudian mati. Umurnya 25 tahun!
Mungkin satu waktu perlu ada teman lain yang menuliskan lebih lengkap riwayat hidup Pelangi ini, menganalisis sebab-sebab kemunduran dan kemudian kematian Pelangi. Saya tidak punya cukup waktu untuk mengumpulkan informasi, dan juga tidak sampai hati!
thanks sudah berbagi mas, harus lebih sering membaca sejarah utk memahami situasi saat ini
Terima kasih sudah singgah dan apresiasinya. Iya, Ovi. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah kata si Bung!