Pada Januari 2006, sementara saya menyelesaikan pekerjaan di UNSFIR, Emmy Hafild menelepon untuk meminta bertemu. Kami saling kenal sejak tahun 1983, ketika sama-sama bergiat dalam Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi). Ketika Emmy menjadi Direktur Eksekutif WALHI, Oxfam memberikan hibah untuk beberapa proyek advokasinya. Emmy mengusulkan bertemu di Hotel Menara Peninsula di Slipi, tempat pertemuan yang tak umum.

Rupanya hari itu teman-teman Greenpeace Indonesia sedang melakukan aksi di muka kantor Barito Pasific di dekat hotel itu. Emmy sebagai Direktur Greenpeace Asia Tenggara memantau aksi tersebut dari Hotel Menara Peninsula.

Pagi itu, Emmy mengatur pertemuan dengan beberapa orang. Sebelum bertemu saya, ia bertemu dengan Bambang Widjojanto yang ketika itu penasihat hukum Greenpeace. Kami berpapasan di lobi hotel itu dan sempat berbincang sebentar. Bambang adalah penasihat program antikorupsi Kemitraan ketika saya juga bekerja di sana. Ia kemudian menjadi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam pertemuan sambil minum kopi, Emmy membujuk saya menjadi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), posisi yang baru ditinggalkannya sebelum bergabung dengan Greenpeace. Membujuk mungkin kata yang tidak begitu tepat untuk Emmy. Emmy mengkombinasikan persistensi, persuasi, dan intimidasi untuk membuat saya yang berniat pensiun mau memikirkan tawaran itu. Mereka yang kenal Emmy akan mengetahui bahwa ia tidak mengenal jawaban tidak untuk permintaannya.

Beberapa minggu kemudian, saya bertemu dengan Badan Pengurus TII di kantor mereka yang baru di Jalan Senayan Bawah. Dalam diskusi informal itu, saya diwawancarai Bang Todung Mulya Lubis, Mas Arif Surowijoyo, dan Pungki. Kami menyepakati pengaturan pekerjaan saya di TII. Ketika itu saya telah mulai mengajar di program Pascasarjana Kajian Amerika UGM. Sehingga, perlu pengaturan waktu yang memungkinkan saya berada di Jogja setiap Jumat untuk mengajar. Saya juga meminta waktu beberapa bulan untuk beristirahat dulu di Yogyakarta. Kami bersepakat memulai perjanjian kerja pada 1 Juni 2006.

Pada 27 Mei 2006 jam 6 pagi, Yogyakarta diguncang gempa yang meluluhlantakkan bagian selatan dan barat kota, termasuk tempat tinggal kami di Bantul. Rumah kami tidak mengalami kerusakan yang berarti. Namun, Desa Kasongan yang berada satu kilometer di selatan rumah kami rata dengan tanah. Bagian yang paling parah adalah di sepanjang daerah aliran sungai Opak yang mencakup tiga kabupaten: Sleman dan Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Klaten di Jawa Tengah.

Saya terpaksa menunda waktu bergabung dengan TII selama beberapa bulan untuk terlibat dalam upaya tanggap darurat. Kebetulan TII mendapatkan hibah untuk memberi bantuan kepada korban gempa dari berbagai sumber, sehingga saya dapat bekerja sama dengan beberapa staf TII yang sudah berpengalaman dalam tanggap darurat di Aceh. Ketika itu Anung Karyadi dan Heni Julianto berada di Jogja untuk menangani proyek tanggap darurat TII. Kami bekerja sama dengan inisiatif desamembantu desa yang dikoordinasikan oleh Baiquni dari Fakultas Geografi UGM.

Saya juga dihubungi oleh banyak teman dari Jakarta yang ingin memberikan bantuan langsung, tanpa melalui ornop tanggap darurat. Reni kemudian menjadi penghubung antara pemberi hibah dan komunitas korban gempa di Bantul. Bantuan yang ia terima umumnya berupa bahan makanan dan pakaian. Secara khusus, Reni meminta teman-temannya memberi bantuan dalam bentuk peralatan kebersihan perempuan dan tenda untuk pemukiman sementara.

Pengalaman banyak orang terlibat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh membantu kesiapan masyarakat Jogja menghadapi bencana. Saya menyaksikan para relawan dari Sleman yang tidak terkena dampak gempa mulai datang ke Bantul untuk membantu desa-desa yang rusak parah sore hari itu juga. Keesokan harinya, relawan dari Magelang dan Purworejo datang dengan kendaraan dan peralatan sendiri. Mereka langsung bekerja membersihkan puing-puing runtuhan yang menghalangi jalan, serta mendirikan tenda-tenda darurat. Begitu pula dapur umum dan kiriman makanan dari desa-desa yang tidak terdampak mulai terjadi sejak hari pertama.

Saya baru menjalankan peran sebagai Sekretaris Jenderal TII tiga bulan kemudian, pada 1 September 2006. Saya masih sering kembali ke Jogja bersama Anung dan Heni sampai akhir tahun.

Saya bersama beberapa team Sekretariat TII di rumah Bang Todung Mulya Lubis di Mega Mendung.

Pada 1 Februari 2007, Jakarta dan Bogor hujan lebat. Hujan itu berlanjut ke keesokan harinya. Mulai tengah malam itu, Kali Krukut dekat kantor TII banjir. Air menggenangi lantai dasar kantor TII dan menutup akses jalan menuju ke sana.

Untungnya, Mas Sahlan, penjaga kantor TII, dan keluarganya mondok di kantor. Mereka menyelamatkan barang-barang berharga ke lantai dua, meski banyak juga arsip kegiatan dan publikasi TII yang kemudian terendam air. Selama beberapa hari, kami harus menuju kantor dengan berenang atau memakai perahu karet. Ketika itu kami dapat pinjaman satu perahu karet dari Felia Salim, salah seorang anggota Badan Pengurus TII. Banjir baru surut seminggu kemudian.

Banjir itu kabarnya merupakan banjir terparah di Jakarta selama 100 tahun terakhir. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas karena terseret arus, tersengat listrik, ataupun sakit akibat banjir. 320.000 orang mengungsi, dan kerugian material diperkirakan mencapai Rp4,3 triliun.

Pada saat itulah kami mengembangkan indeks banjir jerapah (IBJ) untuk mengukur tingginya banjir. Di halaman kantor TII terdapat patung jerapah yang tingginya kurang lebih 2 meter. Dalam puncak banjir, air mencapai dada jerapah, kurang lebih 1,5 meter. Setiap hari Mas Sahlan membuat laporan tinggi muka air dengan merujuk pada patung jerapah itu. Ketika muka air sudah sampai di kaki jerapah, kami mulai bekerja bakti membersihkan lumpur yang tinggal di kantor TII.

Banjir dan patung jerapah di halaman kantor TI Indonesia, 2007.

Dari Emmy, saya mewarisi program TII yang pendanaannya terbilang cukup. Program terbesar kami ketika itu adalah membangun sistem pemantauan korupsi bagi bantuan kemanusiaan di Aceh. Kami bekerja sama dengan Canadian Cooperative Association (CCA). Walaupun program ini ada komponen pembangunan fisik dalam rangka rekonstruksi dan rehabilitasi, yang sebetulnya bukan keahlian utama TII, namun terdapat pula komponen pembangunan kapasitas masyarakat dalam mengawasi bantuan pembangunan ke desa mereka. Untuk mengelola program tersebut, TII membuka kantor di Ulee Kareng, Banda Aceh.

Dalam konteks rekonstruksi dan rehabilitasi pascatsunami di Aceh, saya dan Michael Wiehen dari TI Jerman juga diminta oleh Pak Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), untuk melakukan evaluasi independent terhadap sistem integritas BRR. Laporan kami kemudian didiskusikan dalam dua forum terbuka dengan berbagai stakeholder BRR di Banda Aceh dan Jakarta. Rekomendasi kami kemudian diserahkan kepada BRR untuk memperkuat sistem pencegahan korupsi mereka.

Saya juga diundang CCA menghadiri pertemuan tahunan mereka di St. John, Newfoundland, Canada, untuk berbagi pengalaman TII dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami. Dalam pertemuan itu saya membawakan pidato berjudul “Cooperative movement as the new alliance to make the world free of corruption”. Dalam pidato yang disampaikan di muka peserta rapat anggota tahunan koperasi dari seluruh Canada itu, saya menggunakan pengalaman kerja sama antara TII dan CCA di Aceh sebagai ajakan membangun gerakan bagi dunia yang bebas korupsi.

Saya bersama beberapa teman penggiat koperasi dari Ghana dan Venezuela di muka kantor koperasi pertanian di New Brunswick, Canada.

Perjalanan itu juga memungkinkan saya mengunjungi berbagai kegiatan koperasi di Canada. Koperasi petani di Canada sangat kuat dan anggotanya tersebar di seluruh negeri. Oleh karena itu, mereka selalu memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga produk-produk pertanian. Salah satu bank terbesar di Canada, Desjardins Group, berbentuk koperasi dan dimiliki oleh credit union.

Indonesia sebetulnya memiliki potensi yang sangat besar untuk membangun Gerakan Koperasi. Namun intervensi pemerintah yang terlalu besar malahan membuat koperasi di Indonesia menjadi zombie. Hidup, sebagian memiliki modal yang besar, akan tetapi tanpa ruh koperasi yang demokratis dan anti-kapitalisme.

Setiap tahun, Transparency International menerbitkan dua laporan yang menjadi perhatian dunia. Yang pertama adalah Laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahunan, yang membuat peringkat negara-negara di dunia berdasarkan IPK-nya. Yang kedua adalah Barometer Korupsi yang menunjukkan lembaga-lembaga apa saja yang dianggap paling korup berdasarkan survei di setiap negara. Tidak terlalu mengherankan bahwa Indonesia selalu berada dalam kelompok negara-negara paling korup di dunia. Salah satu sebabnya, lembaga-lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) dan parlemen selalu dipersepsikan paling korup.

Pertemuan tahunan Transparency International 2008 di Athena. Dalam pertemuan tahunan ini saya dan Kiki melakukan lobi agar bang Todung Mulya Lubis dipilih sebagai Pengurus Tranparency International. Namun kami kalah suara dari calon Korea Selatan. Secara bergurau bang Todung mengatakan kami Team Sukses yang “tidak sukses” :}

Pemerintahan Presiden SBY periode pertama sangat gencar memberantas korupsi. Maka selama dua tahun, 2007 dan 2008, TII selalu diundang ke Istana ketika kami mempublikasikan IPK. Saya mempresentasikan laporan IPK 2007 dan 2008 di depan anggota kabinet. Yang selalu hadir adalah Presiden, Menko Polkam, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI. Dalam periode kedua pemerintahan SBY – ketika itu Sekretaris Jendral TII telah berganti ke Teten Masduki – TII tak pernah lagi diundang ke Istana untuk menyampaikan hasil IPK. Ini sejalan dengan melemahnya upaya pemberantasan korupsi dan banyaknya skandal korupsi yang melibatkan partai penguasa ketika itu.

Pada 2007, TII menjadi tuan rumah International Anti-corruption Conference (IACC) yang merupakan ajang pertemuan semua aktor anti-korupsi, baik Pemerintah maupun Organisasi Masyarakat Sipil, dari seluruh dunia. Sebetulnya, tahun itu IACC direncanakan diadakan di Fiji. Namun karena terjadi kudeta di sana, dan semakin memburuknya kebebasan sipil di bawah junta militer, TI sebagai penyelenggara IACC memindahkan pertemuan itu ke Indonesia.

Saya dan Bang Todung Mulya Lubis sebagai Ketua Badan Pengurus TII menyanggupi permintaan itu walaupun waktunya cukup mendesak. Biasanya panitia penyelenggara punya waktu satu tahun untuk persiapan. Namun saat itu kami hanya punya waktu kurang dari tiga bulan.

Saya menjelaskan mengenai Patung Wisnu dan Garuda kepada Huguette Labelle, President Transparency International, menjelang makan malam IACC di Garuda Wisnu Kencana.. Kami menyelenggarakan jamuan makan malam di Lotus Pond tempat pemimpin G-20 makan malam 15 tahun sebelumnya (2007). Ketika itu baru ada patung kepala Garuda, dan torso Wisnu. Pedestal patung juga belum ada.

IACC berlangsung dengan sukses di Bali berkat kerja keras teman-teman Sekretariat TII dan bantuan para mitra. Selain dari Kantor Sekretariat Internasional TI di Berlin, kami juga mendapat bantuan dana dan fasilitas dari Pemerintah Indonesia, BUMN, dan perusahaan swasta Indonesia. Seingat saya yang memberikan bantuan dana terbesar adalah BNI dan Medco, masing-masing menyumbang Rp200 juta.

Pada saat itu sebetulnya saya memiliki gagasan membuat Dana Abadi (Trust Fund) untuk kegiatan antikorupsi seperti Dana Mitra Lingkungan dan Dana Abadi Kehati. Pembicaraan awal telah dilakukan dengan beberapa pengusaha yang dianggap memiliki integritas. Sayang sekali, upaya ini kemudian tidak berlanjut ketika saya meninggalkan TII pada 2009.

Awalnya, saya berjanji pada Badan Pengurus untuk menjabat Sekretaris Jendral selama 3 tahun, dan selama itu saya akan menyiapkan pengganti dari staf yang ada. Sebagian besar staf TII adalah ABEH (Anak Buah Emmy Hafild) yang dibawa Emmy dari Walhi. Saya tidak banyak melakukan rekrutmen selama saya menjadi Sekjen. Yang saya lakukan hanyalah melakukan rotasi, dan beberapa kali melakukan retreat untuk memperkuat kerja sama tim. Boleh dikatakan, ketika itu TII memiliki tim yang solid dengan kinerja tinggi. Oleh karena itu setelah dua tahun, saya mulai menyiapkan suksesi.

Team Sekretariat TII dalam acara team building di Puncak

Ketika itu Wakil Sekjen adalah Rezki Wibowo yang menurut saya merupakan manajer yang baik. Kiki, nama panggilannya, telah membuktikan kemampuannya dalam berbagai penugasan yang saya berikan, termasuk menyelenggarakan IACC di Bali. Kiki juga memainkan peran penting dalam membangun jaringan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan Extractive Industry Transparency Initiative (EITI), sebuah platform global dan multipihak untuk membangun sistem integritas di sektor pertambangan.

Acara Team Building TII di Pulau Macan, Teluk Jakarta,

Saat itu juga TII sedang mengembangkan program baru untuk membangun sistem pencegahan korupsi di sektor kehutanan. Pendanaannya kami dapatkan dari kantor Sekretariat Internasional TI di Berlin.

Pada akhir 2008, kepada Badan Pengurus saya katakana telah siap meninggalkan TII, dan merekomendasikan agar Kiki diangkat sebagai Sekretaris Jendral berikutnya. Badan Pengurus ketika itu menerima pengunduran diri saya. Namun, mereka memutuskan meminta Teten Masduki yang baru saja selesai sebagai Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) menjadi Sekretaris Jendral TII. Teten adalah juga salah seorang pendiri dan anggota Badan Pengurus TII.

Badan Pengurus TII tentu saja memiliki pertimbangan sendiri dalam mengambil keputusan. Saya tak dapat lagi mempengaruhinya. Namun TII kemudian harus kehilangan Kiki yang kembali bergiat di dunia bisnis.

Kini dalam situasi semakin lemahnya komitmen antikorupsi pemerintah, yang ditunjukkan dengan pelemahan KPK dan lembaga-lembaga penyeimbang kekuasaan lainnya, semakin diperlukan gerakan masyarakat sipil yang antikorupsi. Ironisnya, pelemahan komitmen antikorupsi ini terjadi ketika para mantan penggiat antikorupsi malahan berada dalam pemerintahan. Ada yang menjadi Menteri, dan banyak pula yang menjadi penasihat Menteri dan bekerja di Kantor Staf Presiden!