Dua tahun pertama saya menjadi relawan WALHI, 1982-83, saya terlibat pembentukan berbagai jaringan kerja. Yang masih saya ingat adalah jaringan kerja pelestarian hutan (SKEPHI), jaringan kerja anti pestisida (kemudian menjadi bagian dari Pestiscide Action Network/PAN), jaringan aksi riset Indonesia (JARI), jaringan kesehatan lingkungan, dan jaringan hukum lingkungan yang motornya adalah YLBHI. Nasib jaringan kerja ini bermacam-macam. Ada yang kemudian teradikalisasi dan memiliki hidup sendiri seperti SKEPHI. Ada yang kemudian diprivatisasi menjadi “milik” pribadi seperti PAN-Indonesia (bukan partai itu!). Ada yang sempat berkembang dan punya penerbitan sendiri seperti JARI, namun kemudian hilang tanpa pesan. Ada pula yang dilahirkan dan kemudian tak terdengar lagi seperti jaringan Kesehatan lingkungan. Jaringan hukum lingkungan kemudian bermetamorfosis menjadi beberapa entitas, misalnya ICEL, dan memiliki daya tahan walaupun bukan lagi menjadi bagian dari WALHI.
Pembentukan jaringan kerja adalah strategi WALHI mendayung diantara dua karang. Karang yang pertama adalah Negara Korporasi (Corporatist State) Orde Baru yang menginginkan semua Ornop berada dalam satu organisasi payung. Tujuannya tentu saja untuk mengendalikan Ornop Indonesia. Emil Salim sebagai teknokrat Orde Baru juga menginginkan satu organisasi payung untuk isu lingkungan hidup. Mungkin saja alasannya untuk efisiensi, agar kegiatan tidak tumpang tindih, dan anggaran negara yang terbatas bisa dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan dampak terbesar. Ketika Emil Salim kemudian menjadi Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Kabinet Pembangunan IV, 1983-1988, ia juga membentuk Forum Komunikasi Ornop Kependudukan (FISKA) yang menghimpun Ornop Indonesia yang bergerak dalam isu Kependudukan.
Karang kedua yang harus diperhatikan WALHI adalah komunitas Ornop Indonesia yang punya kecurigaan besar akan kooptasi negara melalui Organisasi payung. Masalah ini telah muncul sejak pertemuan pertama Ornop Lingkungan Hidup pada 1978. Oleh sebab itu forum Kerjasama pasca pertemuan itu tidak disebut Sekretariat Bersama, agar tidak dikaitkan dengan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar yang kemudian menjadi Partai Golkar), melainkan hanya disebut Kelompok-10 saja.
Pembentukan kelompok atau jaringan kerja adalah kompromi antara kekhawatiran akan kooptasi negara, dan keinginan untuk menghasilkan dampak perubahan lingkungan hidup. Jaringan kerja dibentuk oleh mereka-mereka yang memiliki minat yang sama (the coalition of the willing), bentuknya sangat longgar, dan untuk jangka waktu terbatas. Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), sebagai contoh, direncanakan hanya berumur 5 tahun sebagai kampanye untuk pelestarian hutan Indonesia. Namun kemudian, ketika pertemuan SKEPHI kedua dilaksanakan di Pakenjeng, Garut, pada 1988, evaluasi peserta menyatakan kampanye pelestarian hutan yang dilaksanakan kurang effektif, sehingga diperlukan pendekatan dan pengorganisasian baru. SKEPHI kemudian menjadi organisasi yang independent dari WALHI, bahkan sering bertentangan dengan WALHI dalam strategi dan taktik advokasi dan pengorganisasiannya.
Saya dipilih sebagai salah satu dari lima anggota kelompok pengarah (Steering Committee) SKEPHI dalam pertemuan pertama SKEPHI di Bandung pada 1983. Koordinator Sekretariat dipegang oleh Falatehan Siregar dari Yayasan Mandiri. Kami sempat melakukan pertemuan perencanaan di Fakultas Kehutanan IPB di kampus Darmaga pada awal tahun 1984. Di situlah saya pertama kali bertemu Emmy Hafild yang baru saja lulus dari Fakultas Kehutanan IPB, dan bekerja pada Yayasan Indonesia Hijau. Beberapa aktifis lingkungan hidup Indonesia banyak yang memulai aktifismenya melalui SKEPHI. Selain Emmy Hafild, yang masih saya ingat, adalah Hira Jhamtani, Sandra Moniaga, Tri Nugroho, dan Dani Munggoro. Selain itu banyak pula aktifis yang sudah aktif dalam isu lain, kemudian bergabung dengan SKEPHI: Arief Mudatsir dari LP3ES, Endu Maryono dari LPTP Solo, Saleh Abdullah dari IAIN Syarief Hidayatullah, Musfihin Dahlan, wartawan majalah Mutiara, dan banyak lagi. Penerbit Sinar Harapan, melalui Aristides Kattopo, ketika itu banyak membantu kegiatan WALHI dan SKEPHI. Isu lingkungan hidup selalu mendapat tempat di suratkabar Sinar Harapan dan majalah Mutiara.
Falatehan dan saya kemudian sama-sama mendapat beasiswa untuk sekolah ke Amerika Serikat tahun 1984. Koordinator Sekretariat SKEPHI kemudian diambilalih oleh Zukri Saad, juga dari Yayasan Mandiri. Dalam pertemuan kedua SKEPHI di Garut, saya terpilih Kembali menjadi anggota kelompok pengarah bersama Indro Tjahyono, Emmy Hafild, Musfihin Dahlan dan Endu Maryono. Indro Tjahyono, aktifis mahasiswa ITB 1978 dan sempat masuk penjara Orde Baru, merupakan aktor utama yang mentransformasikan ideologi dan taktik kampanye SKEPHI. SKEPHI kemudian mengambil jalan konfrontasi dengan Pemerintah dan bisnis HPH. Taktik ini menyebabkan hubungan SKEPHI menjadi renggang dengan WALHI yang mengambil cara advokasi yang berbeda.
Beberapa kali saya memfasilitasi pertemuan antara WALHI dan SKEPHI untuk menjembatani perbedaan taktik dan strategi advokasi di antara ke dua jaringan kerja ini. Namun tidak pernah berhasil menautkan keduanya. Secara bergurau ketika itu kami mengatakan ini adalah persoalan yang dibawa dari kampus Ganesha. Kebetulan para aktor yang terlibat semua alumni ITB: Erna Witoelar, Agus Purnomo (Pungki), dan Indro Tjahyono.
Pada akhirnya semua pihak menerima bahwa memang diperlukan cara dan pengorganisasian yang berbeda untuk advokasi lingkungan hidup. Pernyataan Erna Witoelar yang saya ingat betul muncul dalam periode ini: “Kita memerlukan orang yang mampu berbisik di telinga penguasa, dan angry young man yang membuat isu lingkungan hidup tetap ada dalam agenda publik!” Pada saat itu komunitas Ornop Indonesia mengadopsi strategi hydra berkepala sembilan. Jangan pernah ada satu kepala, maksudnya pimpinan Gerakan, sehingga bila satu kepala dipotong penguasa masih ada 8 kepala lain yang bisa menggigit. WALHI adalah salah satu dari kepala itu. Namun ia tak pernah menjadi satu-satunya pimpinan gerakan lingkungan hidup Indonesia seperti yang diharapkan Emil Salim maupun beberapa pendirinya.
Mungkin memang seharusnya begitu perjalanannya.