Pada awal Desember 2019, ketika saya sedang cuti di Sabang, Alex Rusli menelepon dan mengatakan ia akan bertemu dengan utusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar. Dia menyebutkan Elfian sebagai utusan itu. Saya mengatakan Elfian tidak memiliki kualifikasi sebagai utusan menteri untuk penyelesaian masalah dengan Yayasan WWF Indonesia karena ia bukanlah pejabat struktural Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurut saya, utusan menteri seharusnya seorang Direktur Jenderal, atau paling tidak seorang pejabat eselon 2 yang diberi kewenangan membicarakan penghentian atau syarat-syarat perpanjangan perjanjian kerja sama (MoU).
Saya dan Reni berlibur di Pulau Sabang pada awal Desember 2019.
Alex mengatakan ia mendapatkan pesan WhatsApp dari Ibu Siti Nurbaya mengenai utusan yang akan mengantarkan surat dan memberikan syarat-syarat perpanjangan MoU.
Surat dari Menteri Siti Nurbaya menjelaskan alasan pemutusan kerja sama antara KLHK dengan WWF Indonesia. Alasan itu sangat subyektif. WWF Indonesia dianggap overclaim (melebih-lebihkan klaim), tidak membangun mutual respect (rasa saling hormat) dengan Pemerintah, sehingga membuat staf KLHK discouraged (tidak semangat) dan demotivated (tidak termotivasi). Surat itu menggunakan banyak kata-kata Bahasa Inggris yang tak umum dalam surat-surat resmi Kementerian/Lembaga Pemerintah. Saya menduga penulis suratnya bukan aparatur sipil negara (ASN) KLHK. Namun, surat itu menggunakan kop surat dan cap basah KLHK, serta ditandatangani Menteri LHK. Dengan demikian, walau menggunakan Bahasa Indonesia yang buruk, surat itu memiliki otoritas sebagai surat resmi.
Surat Menteri LHK kepada Ketua Badan Pengurus Yayasan WWF Indonesia, November 2019.
Karena saya sedang cuti dan tidak bersedia bertemu Elfian, Alex sebagai Ketua Badan Pengurus beserta Lukas Adhyakso dan Aditya Bayunanda dari Senior Management Team (SMT) WWF Indonesia kemudian menemuinya. Dalam pertemuan itu, Elfian menyampaikan syarat-syarat perpanjangan MoU: WWF Indonesia harus memberhentikan saya sebagai CEO, menjadikan Elfian sebagai pejabat sementara CEO, serta menugaskan Elfian mengurus perpanjangan MoU sementara Badan Pengurus merekrut CEO baru.
Ketika usulan ini dibawa ke Badan Pembina WWF Indonesia, Dr. Kuntoro Mangkusubroto sebagai ketuanya meminta surat resmi mengenai penugasan Elfian dan syarat-syarat perpanjangan MoU itu. Elfian tidak bersedia, atau barangkali tidak dapat, memenuhi permintaan tersebut.
Badan Pembina dan Badan Pengurus WWF Indonesia tampaknya melihat kekeraskepalaan saya dalam masalah ini, dengan antara lain berniat berkonfrontasi dengan KLHK, sebagai beban. Ketika saya kembali dari cuti, Mas Kemal dari Badan Pembina dan Alex dari Badan Pengurus meminta saya menerima posisi sebagai Koordinator Kampanye WWF International untuk Kawasan Asia Pasifik. Marco Lambertini, Direktur Jenderal WWF International, menghubungi ketika saya masih cuti di Sabang dan mengatakan posisi ini diciptakan WWF International untuk menampung saya atas permintaan Mas Kemal.
Kepada Mas Kemal, saya katakan lebih baik mengundurkan diri saja dari jabatan CEO WWF Indonesia sebagai pertanggungjawaban kegagalan membina hubungan baik dengan KLHK. Namun, Mas Kemal menyatakan pengunduran diri saya karena tekanan pemerintah akan berakibat buruk terhadap citra WWF Indonesia. Pengangkatan saya untuk posisi yang baru akan memperlihatkan kepada publik WWF Indonesia masih mengendalikan keadaan.
Walaupun tidak sepenuhnya menerima argumen itu, saya bersedia menerima penugasan baru ini. Saya mengatakan kepada Mas Kemal yang telah lama saya kenal dan selalu saya hormati: “Board giveth, Board taketh away!” Ini kutipan dari Kisah Nabi Ayub dalam Alkitab. Badan Pengurus yang memberikan penugasan kepada saya sebagai CEO. Saya ikhlas saat Badan Pengurus menarik kembali penugasan itu.
Serah terima jabatan CEO WWF Indonesia dari saya ke Lukas Adhyakso, Januari 2020.
Bertahun-tahun kemudian, ketika menuliskan paragraf di atas, saya tetap beranggapan akan lebih terhormat bila saya mengundurkan diri, bukannya menerima penugasan baru itu.
Saya kemudian menyampaikan keputusan itu kepada anggota SMT dan menulis surat perpisahan untuk seluruh staf WWF Indonesia. Dalam surat itu saya menuliskan tak bermaksud melarikan diri dari tanggung jawab, melainkan memberi ruang bagi penyelesaian masalah dengan KLHK. Saya juga menyatakan akan tetap berada dalam lingkungan keluarga besar WWF.
Badan Pengurus berencana menunjuk 3 orang anggota SMT sebagai pejabat pelaksana CEO selama rekrutmen dilakukan. Namun saya mengusulkan hanya menunjuk satu orang, Lukas Adhyakso yang ketika itu menjabat Direktur Konservasi, posisi yang paling senior dalam SMT WWF Indonesia. Saya mengatakan pengambilan keputusan kolektif telah lama dilakukan oleh SMT, sehingga tak perlu menunjuk beberapa orang untuk memastikan pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif. Pengurus akhirnya menyetujui usulan ini.
Saya mulai mengerjakan tugas sebagai Koordinator Asia Pasifik untuk Kampanye the New Deal for Nature and People pada Januari 2020. Ini adalah kampanye WWF International untuk mempengaruhi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Keanekaragaman Hayati (UN Convention on Biodiversity) yang akan dilaksanakan di Kunming, Tiongkok, pada Oktober 2020. Saya bertugas mengkoordinasikan posisi kebijakan dan kegiatan kampanye kantor-kantor WWF yang ada di Kawasan Asia Pasifik. Saya juga mengkoordinasikan kegiatan di kawasan ini dengan para koordinator kampanye di Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.
Pada akhir Januari 2020, saya mengumpulkan kantor-kantor WWF di Kawasan Asia Pasifik di Kuala Lumpur, Malaysia, untuk menyusun rencana kampanye bersama sampai dengan pertemuan PBB di Kunming. Kami juga merencanakan bertemu kembali dalam pertemuan tahunan WWF Internasional di New Delhi pada Februari 2020.
Kemudian terjadi pandemi COVID-19 dan pembatasan fisik alias lockdown. Rencana pertemuan tahunan WWF International dilakukan secara daring. Begitu pula pertemuan-pertemuan koordinasi lainnya. Bahkan, karena pandemi dan meluasnya penutupan tapal batas negara, pertemuan PBB untuk Keanekaragaman Hayati kemudian ditunda hingga 2022.
Perpisahan dengan anggota Senior Management Team (SMT) WWF Indonesia dalam suasana pandemi Covid-19, Juni 2020.
Pandemi juga mempengaruhi kemampuan WWF International melakukan penggalian dana. Selama 6 bulan pertama kerja saya di WWF International, gaji dibayarkan oleh WWF Indonesia, dengan kesepakatan gaji selanjutnya akan dibayarkan WWF International. Setelah enam bulan, WWF International tidak memiliki dana untuk menggaji saya. Pada Juli 2020, saya mengakhiri pekerjaan di WWF International. Bersamaan dengan itu, kantor-kantor WWF di seluruh dunia juga terpaksa mengurangi pegawainya. WWF Indonesia terpaksa tak memperpanjang kontrak 200 orang staf pada akhir Juni 2020.
Umur saya 65 tahun pada 2020. Saya pikir ini memang waktu yang tepat untuk mulai memperlambat tempo dan mengerjakan hal-hal yang disenangi. Teman-teman lama mengatakan ini adalah niat pensiun saya yang kelima sejak pertama kalinya mengumumkan akan pensiun pada 2010!