Ketika mulai menulis rangkaian blog ini, saya merayakan 40 tahun terlibat dalam gerakan lingkungan hidup di Indonesia. Apa yang dapat menggambarkan tempat saya dalam masyarakat sipil Indonesia? Barangkali hubungan saya dengan tiga orang ini: Adnan Buyung Nasution (ABN), Dawam Rahardjo, dan Goenawan Mohamad (GM). Ketiga orang itu adalah nama-nama besar dalam masyarakat madani Indonesia. Hampir tak mungkin menuliskan gerakan demokrasi dan berkembangnya masyarakat sipil Indonesia pasca-Orde Baru tanpa menyebut nama mereka. Namun saya tak kenal dengan mereka, atau lebih tepatnya mereka tak kenal saya!

Ketika saya mulai aktif dalam pergerakan ornop di Jakarta, Bang Buyung, sebagaimana ABN biasa dipanggil oleh para aktivis ornop Indonesia, sedang menyelesaikan disertasinya di Universitas Utrecht di Belanda. Saya kenal dekat dengan hampir semua penggantinya di LBH Jakarta: Todung Mulya Lubis, Hakim Garuda Nusantara, Nursyahbani Katjasungkana, Bambang Widjojanto, sampai yang terakhir Asfinawati. Selama 8 tahun saya berada di Jakarta, tahun 1981-1989, saya bolak-balik berkunjung ke kantor YLBHI di Jalan Diponegoro. Begitu pula ketika saya bekerja untuk Kemitraan, Transparency International, dan WWF Indonesia, saya masih sering bertandang ke kantor YLBHI.

Namun dalam ingatan saya, hanya satu kali pernah bertemu bertatapan muka dengan Bang Buyung. Saya lupa acara apa, mungkin acara Ford Foundation karena acara itu berlangsung di S. Widjojo Center (sekarang Sequis Center) di Jalan Sudirman. Ketika itu Bang Buyung telah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia datang dengan pengawalan motor polisi, berbicara sebentar, kemudian pergi lagi diiringi dengan suara sirine. Saya yang berada di khalayak hanya dapat bertatapan mata dengannya, tak sempat bersalaman walaupun berusaha berada dalam lintas perjalanannya ke pintu. Itulah satu-satunya kejadian saya berada dalam satu ruangan dengan Bang Buyung.

Dengan Mas Dawam Rahardjo lebih aneh lagi. Saya kenal dengan hampir semua Direktur   Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pengganti Mas Dawam: Aswab Mahasin, Rustam Ibrahim, Suhardi Suryadi, sampai dengan Fajar Nursahid. Bahkan dengan Fahmi Wibawa yang sekarang menjabat Direktur LP3ES, saya pernah bekerja bersama-sama di Kemitraan. Begitu pula dengan Fajar yang pernah menjadi anggota tim Democratic Governance di UNDP. Saya juga bisa mengklaim pertemanan saya dengan nama besar lainnya di LP3ES dan pengelola Majalah Prisma: Ismid Hadad dan Daniel Dhakidae. Namun, saya hanya pernah bertemu dengan Mas Dawam satu kali.

Pada tahun 1988 atau 1989, tahun-tahun terakhir saya di PKBI, saya dengar ada keributan di resepsionis Wisma PKBI. Ketika itu saya sedang berjalan dari musala ke ruang kerja di bagian depan kantor. Rupanya Mas Dawam diundang oleh satu ornop yang mengadakan acara di Wisma PKBI di Jalan Hang Jebat. Wisma PKBI memang sering disewa untuk kegiatan ornop karena tempatnya yang strategis di dekat Blok M dan Mayestik. Ornop itu membatalkan acara, namun lupa memberitahukannya kepada Mas Dawam. Mas Dawam dengan suara keras menanyakan kepada resepsionis siapa yang bertanggung jawab atas acara itu. Tentu saja resepsionis PKBI tak dapat menunjukkan siapa yang bertanggung jawab. Saya segera mengenali Mas Dawam dan berusaha membantu. Ketika itu respsionis menanyakan, “Boleh saya tahu nama Bapak?”, Mas Dawam menjawab, “Anda tak perlu tahu nama saya. Saya Dawam Raharjo!” Mas Dawam kemudian pergi sebelum sempat saya ajak bicara. Seingat saya, itulah satu-satunya pertemuan saya face-to-face dengan Mas Dawam Rahardjo yang tulisan-tulisannya mengenai ekonomi politik sangat saya kagumi.

Saya sempat bertemu, tepatnya berpapasan karena tak pernah ada percakapan, dua kali dengan Goenawan Mohamad. Keduanya berhubungan dengan Ben Anderson. Yang pertama di acara kuliah umum Ben Anderson di Hotel Borobudur pada 1998. Acara itu adalah penyambutan untuk Ben yang sudah hampir 30 tahun tak diizinkan masuk ke Indonesia. Hampir semua penggiat ornop dan tokoh masyarakat sipil Indonesia hadir dalam perhelatan itu. Mas Goen adalah salah satu penggagas dan penyelenggara pertemuan. Pertemuan kedua ialah dalam acara peringatan wafatnya Ben Anderson di kantor Tempo yang baru di Palmerah pada awal 2016. Banyak orang yang hadir dan bicara dalam pertemuan itu. Salah satunya adalah Mas Goen, yang saya lihat dari jauh.

Padahal, saya sangat akrab dengan kakaknya, Kartono Mohamad. Begitu pula hampir semua Pemimpin Redaksi Majalah Tempo sesudah Mas Goen saya kenal dengan baik, mulai dari Bambang Harymurti yang akrab dengan saya sejak mahasiswa, sampai dengan Arief Zulkifli. Jangan lupa, anak dan menantu saya juga pernah bekerja di Tempo. Namun, bukan rezeki saya untuk kenal dengan GM.

Ketidakkenalan saya dengan tiga orang tokoh masyarakat sipil itu mungkin ada hubungannya dengan peruntungan. Bukankah rezeki, pertemuan, jodoh, dan maut tak dapat diatur manusia? Perjalanan hidup saya banyak bersentuhan dengan orang-orang dan lembaga tempat ketiga tokoh itu berada, namun saya tak punya banyak kesempatan berada di tempat dan waktu yang sama dengan mereka.

Saya pikir mungkin juga ada penolakan dari dalam diri saya untuk dikaitkan dengan nama-nama besar dan organisasi-organisasi terkenal.  Saya selalu merasa jadi elang yang terbang sendirian, bukan bebek yang senang jalan berombongan. Oleh karena itu pula saya sukar diidentifikasikan dengan tokoh, organisasi, ataupun gagasan pemikiran tertentu. Ada untungnya, karena saya sukar diberi label sebagai “Pengikut si Anu”, “Penggiat Sektor Tertentu”, atau “Penganut Ideologi Yang Itu”.

Namun jadi elang yang terbang sendirian ada ruginya juga. Saya tak pernah mendapat manfaat, atau diajak serta, bila ada sahabat atau kerabat menjadi pejabat. Tidak pernah ada yang menawari jabatan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau menjadi Duta Besar di “negeri kecil yang cantik dan tak banyak urusan dengan Indonesia”, seperti pernah jadi cita-cita saya.

Sebetulnya banyak orang yang telah menjadi panutan tanpa saya sadari, atau saya mau akui. Perjalanan karir selama 40 tahun menunjukkan betapa banyak orang yang telah saya jadikan acuan dan membantu saya menghindari segala kesulitan. Bila ditelusuri kembali dari awal, mulai dari Mbak Sri Lestari Yuwono di PKBI, Mbak Erna Witoelar di Walhi, Felia Salim di Kemitraan, Nurina Widagdo di UNDP, sampai Shinta Kamdhani di WWF Indonesia. Saya berhutang budi pada banyak perempuan. Tentu saja ada juga Pak Soetjipto Wirosardjono dan Mas Kemal Stamboel yang dengan senang hati menjadi mentor saya dalam perjalanan ini.

Ketika muda, saya membaca Taiko karangan Eiji Yoshikawa yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Sejak itu, Toyotomi Hideyoshi menjadi idola saya. Saya kagum bukan pada pertempuran-pertempuran yang dimenangkan dan kekuasaan yang digenggamnya, melainkan kekuatan intelektual dan kemampuan persuasinya yang memungkinkan kemenangan tanpa perlu menumpahkan darah. Pada akhirnya, nilai-nilai kemanusiaan yang tetap ia pertahankan di tengah dunia penuh kekerasan mampu mengangkatnya ke tempat yang tak mungkin dicapai oleh seorang anak petani biasa.

Saya juga membaca The Road to Wigan Pier karangan George Orwell. Saya membaca buku inisebelum saya membaca karya fiksinya yang lebih terkenal, 1984 dan Animal Farm. Kemudian saya membaca dan mengumpulkan semua buku karangan George Orwell yang lain. Saya mungkin salah seorang pemilik koleksi tulisan George Orwell paling lengkap, termasuk biografinya yang ditulis oleh Bernard Crick.

Yang menarik buat saya tentang The Road to Wigan Pier bukanlah kemiskinan dan kesenjangan sosial di Inggris yang dituliskan dengan apik di bagian pertama, namun esaiEric Blair (nama asli George Orwell) tentang cara ia mendapatkan  kesadaran politik yang anti-kemapanan dari latar belakang kelas menengahnya. George Orwell, seorang sosialis demokrat, kemudian juga banyak melancarkan kritik terhadap sosialisme yang ketika itu banyak dianut para intelektual Inggris. Ia menganggap sosialisme adalah jawaban paling tepat mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial di dunia, namun para sosialis demokrat yang kemudian berkuasa melalui Partai Buruh di Inggris telah gagal mengatasi persoalan itu.

Ketika membaca The Road to Wigan Pier, saya juga sedang menghadapi simpang jalan yang sama. Apakah saya akan mengikuti jalan kelas menengah seperti ayah dan kakak-kakak saya yang menjadi guru dan pegawai negeri, atau jalan yang jarang dilalui sebagai penggiat anti-pemiskinan dan ketimpangan sosial.

Seperti potongan sajak Robert Frost yang sering saya kutip ketika mahasiswa:

“Two roads diverged in a wood, and I-

I took the one less travelled by,

And that has made all the difference.”

Pengalaman terlibat dalam Gerakan Mahasiswa 1978 membantu saya memiliki kesadaran politik. Tertutupnya jalan menjadi pegawai negeri karena aktivisme itu, menetapkan pilihan saya untuk memilih “jalan sunyi dan jarang dilalui” yang masa depannya belum jelas.  Ibu saya sempat khawatir akan pilihan hidup itu, dan bertanya, “Apa kamu bisa  makan dari pekerjaanmu itu?” Dia tahu persis saya sangat pemilih dalam soal makanan.

Namun setelah 40 tahun bekerja pada ornop, saya tak pernah kekurangan makan. Keluarga kami hidup tidak berlebihan, akan tetapi juga tidak kekurangan. Sak madya kata orang Jawa. Untuk itu saya harus berterima kasih pada Reni karena ia rajin menabung dan pandai mengelola uang. Bila tidak, mungkin hidup saya akan berakhir tua dan sakit-sakitan di Panti Jompo, atau dalam belas kasihan orang lain. Satu kehidupan yang tidak saya inginkan untuk diri saya, maupun untuk orang lain.

Dunia yang lebih baik untuk generasi sekarang dan akan datang, negeri yang adil dan makmur tempat semua orang dapat menjadi diri yang diinginkannya tanpa hambatan, mungkin masih jauh untuk jadi kenyataan. Mungkin pula tak akan pernah terwujud. Namun, asa untuk mencapai cita-cita ini yang membuat saya tetap hidup dan bekerja selama 40 tahun terakhir, walaupun terus berada di pinggiran kekuasaan!