Pada November 2018, WWF Indonesia bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan beberapa kementerian membuat kampanye anti-perdagangan gelap binatang yang dilindungi. Dalam kampanye tersebut, WWF Indonesia membuat video kampanye yang menampilkan Kapolri, Jaksa Agung, Ketua PPATK, Menteri Kelautan dan Perikanan, Wakil Ketua KPK, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Ketua Majelis Ulama Indonesia.

Yang tak tampak dalam video kampanye tersebut adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. WWF Indonesia telah berusaha sampai saat terakhir meminta waktu kepada Menteri LHK sebagai leading sector konservasi binatang yang dilindungi. Namun, WWF tak pernah mendapat persetujuan.

Pada mulanya, kampanye ini adalah inisiatif Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan WWF Indonesia. Tetapi, kemudian KLHK menarik diri dari kerja sama tersebut tanpa alasan jelas.

Pada akhir Maret 2019, saya menghadiri puncak acara Earth Hour Indonesia di Bandung. Dalam acara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hadir. Ridwan Kamil bersama saya dan tokoh-tokoh masyarakat Kota Bandung kemudian mematikan lampu di lokasi puncak acara tersebut di kompleks pertokoan Trans Studio Mall.

Saya bersama Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, serta beberapa Walikota dan Bupati dalam acara Earth Hour 2019 di Bandung.

Menjelang puncak acara, saya dan Ridwan Kamil sempat bercakap-cakap mengenai isu perubahan iklim dan konservasi lingkungan hidup di provinsi tersebut. Ketika itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang gencar-gencarnya berusaha mengatasi polusi dan kerusakan ekosistem Sungai Citarum.

Saat Ridwan Kamil menjadi Walikota Bandung, ia berusaha memulihkan ekosistem Sungai Cikapundung yang membelah kota Bandung dari utara ke selatan. Dalam percakapan itu saya katakan bahwa saya besar di Buah Batu, Bandung Selatan, dan sewaktu kecil belajar berenang di Sungai Cikapundung yang masih cukup jernih. Tentu saja sekarang saya tak akan berani berenang di Sungai Cikapundung lagi, yang kotor akibat limbah rumah tangga dan industri. Selesai acara, kami sepakat menindaklanjuti percakapan itu dalam bentuk kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Yayasan WWF Indonesia.

Staf Pemerintah Provinsi dan WWF Indonesia kemudian mempersiapkan rancangan perjanjian kerjasama itu. Saya dan Ridwan Kamil menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada 6 September 2019. Penandatanganan MoU itu mendapat pemberitaan luas di media masa.

Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan WWF Indonesia, 6 September 2019.

Beberapa hari setelahnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengirimkan telegram kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia. Telegram itu berisi 3 hal: pertama, Kementerian LHK adalah leading sector dalam masalah kehutanan, lingkungan hidup dan perubahan iklim. Kedua, Kementerian LHK sedang melakukan evaluasi terhadap WWF Indonesia. Yang terakhir, Menteri meminta Gubernur, Bupati dan Walikota tidak melakukan perjanjian kerja sama dengan WWF Indonesia tanpa persetujuan Menteri LHK. Telegram ini ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Menteri Dalam Negeri.

Kami tentu saja tidak mendapat tembusan surat tersebut. Salah seorang Bupati yang erat hubungannya dengan WWF Indonesia menunjukkan telegram itu kepada salah seorang anggota Senior Management Team WWF. Komentarnya, “Ini menteri tidak pernah membaca undang-undang mengenai otonomi daerah! Dia pikir masih hidup di zaman Orde Baru!”

Saya pikir isi telegram itu sangat serius. Telegram ini mengonfirmasikan evaluasi KLHK yang tak pernah dikabarkan kepada WWF Indonesia. Saya kembali menggencarkan usaha bertemu dengan Menteri LHK untuk mendapatkan penjelasan mengenai evaluasi itu. Semua pejabat eselon satu KLHK yang saya ajak bicara mengaku tidak tahu soal evaluasi tersebut.

Pada Oktober 2019, Sekretaris Jenderal KLHK Dr. Bambang Hendroyono mengirimkan surat pemutusan kerja sama antara kementeriannya dengan Yayasan WWF Indonesia. Alasan dalam surat itu adalah berubahnya paradigma pengelolaan lingkungan hidup yang membuat perjanjian kerja sama kami pada 1998 menjadi tidak relevan. Surat itu juga menyatakan WWF Indonesia tidak pernah menanggapi surat mengenai perlunya evaluasi kerja sama yang dikirimkan KLHK pada Maret 2019. Surat bertanggal 28 Maret 2019 – dengan tanggal dan nomor surat ditulis tangan – dilampirkan dalam surat tersebut.

Surat mengenai evaluasi kerjasama yang tak pernah diterima oleh WWF Indonesia (kiri), dan surat pemutusan kerjasama karena tidak menanggapi surat tersebut (kanan). Keduanya ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kami menelusuri seluruh arsip digital maupun arsip surat-menyurat dengan Kementerian LHK. Surat itu tak ada jejaknya sama sekali dalam sistem WWF Indonesia. Saya segera mengirim seorang staf untuk meminta salinan tanda terima surat dinas tersebut ke Sekretariat KLHK. Surat dinas biasanya dikirim melalui kurir dan ada tanda terimanya. Sekretariat KLHK ternyata tidak memiliki tanda terima itu maupun arsip surat pada Maret tersebut. Staf Sekretariat KLHK mengatakan nomor surat tersebut adalah nomor surat staf ahli Menteri Bidang Kerja Sama Luar Negeri. Sungguh misterius, surat yang tidak pernah kami terima dijadikan alasan memutus hubungan kerja sama sepanjang lebih dari 20 tahun.

Surat Sekretaris Jenderal itu juga menetapkan batas waktu 31 Desember 2019 untuk pengalihan seluruh aset dan pekerjaan WWF kepada KLHK. Tenggat waktu itu jelas tidak realistis karena beberapa kerja sama sangat vital bagi beroperasinya fungsi Taman Nasional.

Contohnya, kerja WWF di Taman Nasional Ujung Kulon antara lain pemantauan badak Jawa melalui kamera jebak maupun dengan mengikuti pergerakan individual badak. Bila WWF harus hengkang dalam tiga bulan, tak cukup waktu untuk mengalihkan ketrampilan ataupun menambah staf Taman Nasional untuk melakukan pemantauan. Hal itu kemudian terbukti. Menurut penelitian Auriga Nusantara, 15 individu badak Jawa tak dapat ditelusuri lagi sejak WWF meninggalkan Taman Nasional Ujung Kulon. (https://www.antaranews.com/berita/3483372/kajian-auriga-nusantara-sebut-belasan-badak-jawa-hilang-tak-terpantau).

Kami lantas berusaha menegosiasikan masa transisi yang lebih panjang. Namun KLHK tetap keukeuh, dalam tiga bulan WWF harus hengkang dari semua Taman Nasional.

Secara internal, WWF Indonesia mengembangkan tiga skenario untuk menyikapi masalah ini. Skenario pertama, KLHK bersedia memperbarui perjanjian kerja sama dengan syarat-syarat baru. Pengalaman beberapa organisasi konservasi internasional, maupun Ford Foundation, menunjukkan perpanjangan MoU dengan pemerintah Indonesia selalu diikuti persyaratan-persyaratan baru. Beberapa di antaranya adalah kontrol yang lebih ketat terhadap publikasi dan hasil riset maupun pendanaan mitra.

Sebagai organisasi non-pemerintah yang independen, Yayasan WWF Indonesia dapat menolak persyaratan-persyaratan tak masuk akal atau membatasi kebebasannya sebagai ornop Indonesia. Saya merasa ada salah paham di kalangan dekat Menteri yang menyamakan WWF dengan organisasi konservasi internasional lainnya yang selama ini memiliki MoU dengan KLHK.

Saya beranggapan KLHK tidak dapat menggunakan alasan akan mengusir WWF dari Indonesia, ataupun membubarkan Yayasan WWF Indonesia seperti yang dikesankan dari surat-surat maupun pernyataan KLHK. Berdasarkan Undang-undang no. 16 tahun 2001 tentang Yayasan, yang dapat membubarkan sebuah yayasan hanya yayasan itu sendiri atau keputusan pengadilan, bukan surat keputusan Menteri.

Skenario kedua adalah WWF Indonesia harus keluar dari taman-taman nasional yang merupakan yurisdiksi KLHK, namun masih dapat bekerja dalam isu-isu konservasi dan lingkungan hidup lainnya yang merupakan yurisdiksi kementerian lain. Pada 2019, Yayasan WWF Indonesia telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional, bahkan dengan Kementerian Dalam Negeri. WWF juga memiliki perjanjian kerja sama dengan Televisi Republik Indonesia, Perusahaan MRT Jakarta, Gerakan Pramuka, dan beberapa pemerintah daerah.

Dalam skenario kedua ini, WWF Indonesia tetap dapat bekerja dalam isu-isu konservasi lingkungan hidup dan perubahan iklim bersama lembaga pemerintah selain KLHK. Pada skenario ini, kami merencanakan membentuk ornop lokal untuk staf lapangan WWF Indonesia agar mereka tetap dapat bekerja di dalam taman nasional.

Skenario ketiga, yang terburuk, lembaga-lembaga pemerintah lainnya juga memutuskan kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia karena ini adalah kebijakan dari Pemerintah yang pada saat itu telah menunjukkan tanda-tanda antikritik dan membatasi kebebasan sipil. Dalam skenario ini, WWF Indonesia tetap dapat menjadi ornop advokasi lingkungan seperti Greenpeace.

Bila ini yang terjadi, saya telah menyiapkan rencana mengambil langkah hukum menggugat KLHK dan Pemerintah Republik Indonesia karena memutuskan kerja sama secara sepihak. Saya juga telah berdiskusi dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bila kami harus mengambil jalan ini. Namun, skenario ini tak pernah terjadi karena WWF Indonesia banyak mendapatkan simpati dari teman-teman di pemerintahan, bahkan dari kalangan dalam KLHK sendiri, ketika masalah pemutusan kerja sama ini terkuak.

Saya juga melakukan konsultasi dalam bentuk townhall meeting dengan staf WWF Indonesia. Dari konsultasi ini saya mendapat kesimpulan teman-teman di lapangan tidak bersedia berkonfrontasi dengan Pemerintah. Mereka juga tidak siap mentransformasikan diri menjadi ornop lokal tanpa branding WWF. Dalam banyak pertemuan itu, banyak staf menyatakan ini hanya masalah pribadi saya dengan Ibu Siti Nurbaya. Penyelesaiannya, menurut mereka, cukup dengan pertemuan antara saya dengan Ibu Menteri. Ada pula yang secara langsung maupun tersirat menyalahkan saya karena membuat hubungan yang buruk dengan KLHK.

Saya berusaha menjelaskan ini bukanlah masalah pribadi antara saya dengan Ibu Siti Nurbaya, akan tetapi kebijakan anti-asing dan anti-ilmu pengetahuan yang sudah lama ditunjukkan Kementerian itu selama beberapa waktu. Perlakuan ini juga dikenakan kepada organisasi internasional lainnya. Menurut saya, ada kesalahpahaman Ibu Menteri atau orang-orang dekatnya yang memperlakukan WWF Indonesia sebagai organisasi asing yang setiap saat dapat diusir dari Indonesia.

Dalam beberapa pertemuan itu, saya meminta maaf kepada staf WWF Indonesia karena tak berhasil membangun hubungan baik dengan Kementerian. Saya juga menjelaskan hilangnya interlocutor yang selama ini menjadi penghubung dengan Kementerian, walaupun saya ragu para penghubung ini akan diperhatikan oleh Ibu Menteri. Saya jelaskan usaha yang telah dilakukan melalui penasihat senior Menteri, termasuk mantan Menteri LH Sarwono Kusumaatmaja dan para Direktur Jenderal, yang tidak membuahkan hasil apa-apa.

Rapat Board dan SMT WWF Indonesia membahas penghentian MOU oleh KLHK di kediaman mas Arief Surowijoyo di Sentul, Oktober 2019.

Pada Oktober 2019 itu juga, saya menggelar pertemuan darurat dengan Badan Pembina, Badan Pengawas, dan Badan Pengurus Yayasan WWF Indonesia. Dalam pertemuan itu saya kemukakan 3 skenario tersebut serta penilaian saya terhadap kemungkinan terjadinya skenario kedua dan ketiga.

Dalam rapat itu, Badan Pengurus memutuskan mengambil alih komunikasi dengan Menteri LHK. Kebetulan Ketua Badan Pengurus yang baru, Alexander Rusli, maupun anggota Badan Pembina, Shinta Kamdani, memiliki hubungan baik dengan Siti Nurbaya. Mereka bersedia menjadi penghubung dengan KLHK.

Saya berharap campur tangan dari Badan Pembina dan Pengurus dapat segera membantu menyelesaikan masalah MoU dengan KLHK sebelum akhir tahun, sebelum tenggat waktu yang ditetapkan KLHK.