Badak Sumatra adalah spesies badak paling kecil, berbulu, dan dapat menyanyi. Mereka tidak hanya hidup di Sumatra, namun juga di Kalimantan. Pada awal abad ke-20, badak masih banyak ditemui di Kalimantan, tetapi berkurang drastis pada 1930-an.
Saya bersama Lukas Adhyakso, Direktur Konservasi WWF Indonesia, di Suaka Badak Sumatra Kelian, Kutai Barat.
Laporan pemerintah kolonial Hindia Belanda menyebutkan perburuan badak meningkat karena besarnya permintaan cula untuk pengobatan di negeri Tiongkok. Namun, salah seorang staf WWF Indonesia yang bersuku Dayak Ngaju punya cerita lain.
Ia mendapat cerita ini dari kakeknya, yang remaja saat menjelang Perang Dunia II. Menurut penjelasan sang kakek, perburuan badak meningkat sejak pemerintah kolonial melarang tradisi mengayau, yakni pemenggalan kepala musuh sebagai bagian dari ritual menjadi dewasa. Sebagai gantinya, seorang Dayak diharuskan memburu badak. Kata si kakek, karena berburu badak lebih mudah daripada mengayau, seorang anak muda perlu membunuh beberapa badak untuk membuktikan kelelakiannya.
Sampai 1990-an, diduga hanya ada sekitar 50 ekor badak Sumatra hidup liar di Kalimantan, sebagian besar di satu wilayah suaka margasatwa di Sarawak. Pemerintah Malaysia aktif dalam upaya menangkarkan badak, tetapi badak Sumatra di Malaysia dinyatakan punah setelah 3 ekor yang hidup dalam penangkaran mati pada 2015. Di Kalimantan wilayah Indonesia, badak tak pernah terlihat lagi sejak dekade 1990-an. Habitatnya telah rusak karena pembalakan hutan sejak 1970-an, kemudian perkebunan kelapa sawit dan pertambangan setelah pergantian abad ke-21.
Badak Sumatra di Indonesia diperkirakan hanya 30-40 ekor pada 2020, dan jumlahnya terus berkurang. Pada 2013, ditemukan jejak badak betina di Kalimantan Timur. Itu adalah berita besar di tengah kekhawatiran telah punahnya badak Sumatra di pulau Kalimantan. Setelah persiapan selama bertahun-tahun, tahun 2016 tim gabungan berhasil menangkap badak betina yang diberi nama Najaq, nama anak sungai tempat jejaknya ditemukan. Tapi, beberapa hari kemudian ia mati karena infeksi di kakinya. Mungkin sebelumnya ia pernah terkena jerat.
Foto pertama Pahu di Suaka Badak Sumatra Kelian, November 2018.
Kamera jebak (camera trap) WWF Indonesia menangkap gambar badak betina kedua pada 2016. Persiapan untuk menangkap badak yang diberi nama Pahu itu dilakukan dengan lebih baik. Para pihak yang terlibat dalam penangkapan itu kemudian membentuk Sumatran Rhino Rescue, sebuah aliansi internasional untuk menyelamatkan badak Sumatra. Suaka margasatwa disiapkan di wilayah bekas tambang emas PT Kelian Equatorial Mining, yang wilayahnya terjaga baik. Reklamasi dan restorasi kawasan ini adalah salah satu yang terbaik di Kalimantan. PT Kelian memiliki kewajiban menjaga kawasan itu selama 25 tahun, sehingga wilayah tersebut terjaga dari perambahan para penambang liar yang biasa datang setelah tambang emas ditinggalkan pemilik konsesi sebelumnya.
WWF Indonesia, Yayasan Badak Indonesia, dan Alert membentuk tim lapangan di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka berada di lapangan sejak akhir 2017 untuk mengikuti jejak Pahu dan mempersiapkan penangkapannya agar tidak terjadi kesalahan seperti pada 2016. Staf WWF di lokasi itu tidak bisa bergabung pada saat konferensi staf WWF pada April 2018, sehingga mereka berpartisipasi secara daring.
Setelah persiapan yang lama, Pahu akhirnya ditangkap pada November 2018. Saya memantau pemindahan Pahu dari lubang jebakannya menuju suaka di Kelian secara daring dari Jakarta. Perjalanan sepanjang 100 kilometer itu sangat menegangkan karena ada risiko kematian. Dalam pemindahan, tim menjaga Pahu agar tidak kekurangan cairan dan tidak stres. Perjalanan berlangsung malam hari agar tidak mengganggu lalu lintas, dengan kawalan mobil polisi di muka dan di belakangnya.
Pemindahan berjalan lancar, lalu Pahu melalui masa transisi dengan baik dan sehat. Sekarang, soal perjodohannya.
Pahu sudah bisa bergaya untuk pengambilan foto National Geographic, Oktober 2020.
Badak betina mulai siap bereproduksi setelah berumur 5-7 tahun, sedangkan badak jantan ketika telah berusia 10 tahun. Badak Sumatra adalah hewan yang suka menyendiri, namun keterpencaran lokasi karena habitat yang terfragmentasi menyebabkan perjodohan di habitatnya bertambah sulit.
Para ahli menduga tingkat kelahiran badak Sumatra yang rendah antara lain disebabkan panjangnya masa reproduksi dan penyakit pada alat reproduksi badak yang tinggal terisolasi. Badak Sumatra betina hanya memiliki masa subur setiap 18 bulan. Itupun sangat singkat, hanya empat hari. Bila tidak terjadi pertemuan, perkawinan hanya dapat dilakukan satu setengah tahun kemudian. Adapun badak betina yang hidup terisolasi ternyata memiliki masalah dengan alat reproduksinya.
Badak Sumatra hamil selama 16 bulan dan menyusui selama 6 bulan. Setiap hamil, badak hanya melahirkan satu anak. Secara teoritis, dengan usia harapan hidup selama 35-40 tahun, seekor badak betina dapat melahirkan sebanyak 5-6 kali. Namun, dalam kenyataannya tentu saja kurang dari itu. Rosa, badak Sumatra betina yang melahirkan pada 2022 di penangkaran Way Kambas, telah keguguran sebanyak 8 kali walaupun kehamilannya dijaga baik oleh para dokter hewan yang mumpuni.
Penangkaran Badak Sumatra dimulai pada 1984 sebagai upaya internasional melalui Sumatran Rhino Trust, kerja sama antara enam kebun binatang di Inggris dan Amerika Serikat dengan Pemerintah Indonesia dan Malaysia. Badak Sumatra ditangkapi di habitatnya dan dibawa ke pusat penangkaran di luar Indonesia. Dalam prosesnya, lebih karena ketidaktahuan akan perilaku badak Sumatra, banyak di antara mereka mati karena penangkapan dan perjalanan. 30 persen dari badak yang ditangkap mati dalam perjalanan. (Kisah lengkapnya bisa dibaca di sini.)
Penangkaran di luar habitatnya kemudian hanya berhasil di kebun binatang Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat, pada 2001. Jantan yang bernama Ipuh berhasil membuahi badak betina Emi. Mereka menghasilkan 3 anak badak: Andalas, jantan, lahir pada 2001, kemudian Suci, betina, 2004, dan terakhir Harapan, jantan, 2007. Andalas dipulangkan ke Sumatra pada 2007 dan menjadi pejantan di kawasan penangkaran Way Kambas yang didirikan sejak 1994. Suaka Rhino Sumatra Way Kambas adalah satu-satunya penangkaran badak Sumatra di dunia pada saat ini.
Andalas dan Ratu kemudian menghasilkan dua anak: Andatu, jantan, lahir pada 2012, dan Delilah, betina, 2016. Andalas juga berhasil membuahi Rosa, yang melahirkan anak betina pada 2022. Harapan pun dikembalikan ke Indonesia setelah Suci mati karena penyakit pada 2014.
Membawa Andalas atau Harapan ke Kelian untuk dikawinkan dengan Pahu tampaknya bukan pilihan. Salah satu pilihan yang pernah didiskusikan adalah membawa sperma yang diawetkan dari Malaysia. Opsi ini tidak diambil karena tingkat keberhasilan yang rendah serta masalah politik dan birokrasi yang rumit antara Indonesia dan Malaysia.
Untuk mendiskusikan masa depan Pahu, KLHK kemudian mengajak rapat koordinasi pada awal 2019. Rapat berlangsung di lokasi perlindungan badak Sumatra di Kelian. Saya dan Lukas hadir dalam rapat itu bersama teman-teman tim WWF di Kalimantan.
Rapat koordinasi pengelolaan Suaka Badak Sumatra Kelian di lokasi.
Ketika itu, WWF Indonesia sudah mulai dijauhi pejabat-pejabat KLHK. Namun, membicarakan nasib Pahu tanpa mengajak WWF tampaknya tak mungkin, karena WWF adalah pendukung utama aliansi Sumatran Rhino Rescue. Kami bertemu di Bandara Sepinggan dalam perjalanan menuju Kutai Barat. Para pejabat KLHK yang akan hadir dalam pertemuan itu berusaha menghindar untuk tampak akrab dengan saya dan tim WWF. Namun, pesawat tertunda selama 2 jam. Dalam waktu itu semua kekakuan cair, dan kami mulai bercakap-cakap akrab. Toh kami telah saling mengenal sebelumnya.
Saya bersama para perawat Pahu di Suaka Badak Sumatra Kelian.
Dalam perjalanan menuaju tangga pesawat, saya jalan berdampingan dengan pejabat yang paling senior dalam rombongan itu. Kami berjalan agak di muka, jauh dari rombongan yang lain. Ia tiba-tiba berkata, “Pak Rizal punya masalah apa dengan Vanda?” Saya terkejut dan menjawab, “Saya tak punya masalah apa-apa dengan dia!” Sang pejabat kemudian memungkasi dengan mengatakan, “Ibu Menteri hanya akan menerima WWF kalau Pak Rizal bisa rekonsiliasi dengan Vanda!”
Selama penerbangan itu saya termenung dan berusaha menelusuri di mana letak persoalannya. Saya ingat setahun sebelumnya, seorang pejabat setingkat eselon satu, bukan dari KLHK, meminta saya memberi pekerjaan kepada Greenomics, perusahaan yang dipimpin Vanda Mutia Dewi. Karena pejabat itu telah banyak membantu WWF Indonesia sebelumnya, saya menyanggupi dengan syarat ada pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh Greenomics, dan instansi sang pejabat akan mendanai kegiatan tersebut.
Namun deal itu kemudian gagal. Ada dua versi penyebab kegagalan ini. Staf WWF Indonesia yang saya beri tugas menangani negosiasi melaporkan Greenomics tidak mampu melaksanakan proyek tersebut sesuai dengan standar WWF. Namun, Elfian yang mewakili Greenomics dalam pembicaraan itu menyatakan pada saya ia menarik diri karena tak bersedia menerima pendanaan dari Denmark yang merupakan sumber pendanaan proyek tersebut.
Saya baru menyadari kemudian ternyata kegagalan proyek kerjasama itu berbuntut panjang.