Pada 16 Oktober 2018, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Papua menandatangani perjanjian kerja sama dengan WWF Indonesia. Kerja sama selama 5 tahun itu bertujuan meneliti dan melestarikan keanekaragaman hayati di Papua. WWF Indonesia diwakili Direktur Program Papua, Benja Mambai.

Pemberitaan mengenai WWF Indonesia di media lokal di Papua.

Sebelum kerja sama tersebut ditandatangani, Kepala BKSDA Papua telah berkonsultasi dengan atasan langsungnya, yakni Direktur Jenderal Koservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pak Wiratno. Surat persetujuan dari Dirjen dikeluarkan dua hari sebelum penandatanganan. Saya pun menyetujui perjanjian tersebut setelah mendapat lampu hijau dari unit Hukum dan Perundang-undangan WWF Indonesia. Sampai saat itu, WWF Indonesia memiliki sekitar 13 perjanjian kerja sama antara pejabat eselon 2 KLHK, Kepala BKSDA, dan Kepala Balai Besar Taman Nasional (BBTN), dengan Direktur atau Program Team Leader WWF Indonesia.

Saya menhadiri peresmian Gedung pertemuan Holey Narey di kantor WWF Indonesia. Sentani, Papua.

Pada 18 Oktober 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Dr. Siti Nurbaya Bakar membatalkan perjanjian tersebut. Saya sedang mengikuti International Ocean Conference di Nusa Dua Bali ketika Benja mengabarkan tentang pembatalan itu. Saya segera menelepon Dirjen KSDAE yang berada di Jakarta untuk menanyakan sebabnya. Pak Wiratno mengatakan Kepala BKSDA Papua tidak berwenang menandatangani perjanjian. Namun, saya menunjukkan bukti belasan perjanjian kerja sama yang ditandatangani Kepala BBTN dan Kepala BKSDA saat itu sedang berjalan. Saya juga mengingatkan kembali persetujuan Dirjen sebelum perjanjian ditandatangani. Saya memiliki salinan surat persetujuan itu. Tapi, Pak Wiratno mengatakan surat itu tak lagi berlaku dengan keluarnya surat Menteri LHK tentang pembatalan perjanjian.

Saya dengan Monica Tanuhandaru (paling kanan), Natalia Soebagio (paling kiri), dan Yuli Ismartono dalam International Ocean Conference di Nusa Dua, Bali, Oktober 2018.

Setelahnya, saya segera menelepon Dr. Efransjah, mantan CEO WWF Indonesia, yang ketika itu menjadi penasihat Menteri LHK. Saya ceritakan kejadian itu dan meminta bantuannya mengatur pertemuan dengan Menteri LHK. Sebetulnya, Ibu Siti Nurbaya saat itu juga sedang berada di Bali menghadiri satu pertemuan lain. Namun, saya tidak berhasil menemuinya di sana.

Dua hari kemudian, saya dan Lukas Adhyakso, Direktur Konservasi WWF Indonesia, datang ke kantor KLHK untuk menemui Pak Wiratno. Kami meminta kejelasan mengenai pembatalan perjanjian tersebut. Pak Wiratno mengulangi hal yang telah disampaikannya di telepon: Kepala BKSDA Papua tidak punya kewenangan itu. Di ujung pertemuan itu ia mengatakan, “Ini maunya Ibu”. Dia minta WWF untuk andap asor dan berusaha untuk menemui “Ibu”.

Dalam perjalanan pulang, saya mengatakan pada Lukas bahwa para eselon 1 KLHK ternyata tidak bisa menjadi penghubung antara WWF Indonesia dan Menteri LHK. Mereka semua tampak takut pada menterinya dan tidak bisa menjadi penasihat bagi tindakan menteri yang mungkin malah menabrak peraturan perundang-undangan. WWF Indonesia perlu mencari jalan lain agar dapat menemui menteri secara langsung.

Pada hari yang sama, situs web corong hubungan masyarakat Menteri LHK Foresthints.news menulis pembatalan itu karena peta yang dipergunakan sebagai lampiran perjanjian kerja sama “116 kali luas Jakarta, atau 7,6 juta kali luas lapangan sepak bola” dan berada di luar kewenangan Kepala BKSDA Papua. Peta yang dimaksud adalah peta wilayah kerja WWF Indonesia di Papua. Tentu saja peta itu berbeda dengan yurisdiksi atau wilayah kerja BKSDA Papua. Apabila memang itu alasannya, mengapa lampirannya tidak diganti saja?

Pemberitaan Foresthints mengenai pembatalan perjanjian kerjasama di Papua.

Saya segera menelepon Vanda Mutia Dewi, Direktur Eksekutif Greenomics yang menerbitkan Foresthints. Kami telah saling  mengenal ketika saya bekerja dengan Kemitraan pada 2002. Vanda tidak memiliki jabatan struktural di KLHK, namun karena dikenal dekat dengan Menteri Siti Nurbaya, para wartawan yang berpangkalan di KLHK biasa menyebutnya sebagai “pejabat eselon satu setengah”. Sebab, ia bisa memerintah para eselon 1 KLHK atas nama menteri. Vanda mengkonfirmasi peta itu merupakan alasan pembatalan perjanjian kerja sama. Ia juga meminta saya segera “menghadap” Ibu Menteri.

Sampai akhir 2018, saya tidak berhasil mendapat kesempatan untuk menemui Menteri LHK. Padahal, saya telah mengirim surat resmi serta meminta bantuan Dirjen dan para penasihat menteri yang saya kenal untuk mengatur pertemuan. Surat permintaan audiensi tidak pernah dibalas. Efransjah mengatakan pada saya, “Ibu Menteri masih belum berkenan menemui WWF!”

Pada akhir 2018, saya mendapat kabar semua Kepala BBTN dan Kepala BKSDA yang bekerja sama dengan WWF dipanggil ibu Menteri ke Jakarta. Pertemuan di akhir tahun itu diberi tajuk evaluasi kerja sama KLHK dengan WWF Indonesia. Semua peserta diminta menyampaikan evaluasinya. Menurut seorang peserta rapat, Kepala BBTN dan BKSDA yang memuji kerja sama dengan WWF mendapat teguran dari menteri. Mereka dianggap tidak loyal kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Selesai pertemuan itu, Menteri LHK menunjuk dua orang yang dianggapnya independen untuk mengevaluasi seluruh kerja sama KLHK dan WWF Indonesia. Dua orang itu adalah Vanda Mutia Dewi dan Monica Tanuhandaru, teman lama saya yang saat itu adalah Direktur Eksekutif Kemitraan. Sampai akhir evaluasi mereka, WWF Indonesia sebagai pihak yang dievaluasi tidak pernah dihubungi untuk dimintai data atau keterangan. Kami juga tidak tahu hasil evaluasi mereka.

Pada awal 2019, mungkin bulan Maret, saya menemui Monica untuk bertanya mengapa mereka tak pernah mewawancarai saya untuk evaluasi. Monica menjawab mereka cukup menggunakan dokumen-dokumen tertulis yang dimiliki KLHK. Dia tidak menjawab dengan jelas tentang hasil evaluasinya. Monica hanya mengatakan hasil evaluasinya telah ia berikan kepada Menteri LHK.

Mau bicara soal solidaritas antar organisasi nonpemerintah, karena WWF Indonesia dan Kemitraan juga punya perjanjian kerja sama, atau solidaritas sesama teman seperjuangan di Kemitraan? Tampaknya tak ada tempat untuk itu dalam hubungan kami. Tanpa saya sadari, saya ternyata telah menjadi orang yang tak diinginkan di Manggala Wanabakti.