Pada awal kerja sebagai CEO WWF Indonesia, saya menghadiri pertemuan tahunan Heart of Borneo (HOB). Ini adalah kerja sama tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam untuk menyelamatkan hutan yang tersisa di jantung pulau Kalimantan. Pertemuan tahunan itu dilaksanakan secara bergantian di ketiga negara, dan pada Agustus 2017 diselenggarakan di Tarakan, Kalimantan Utara. Sekretariat HOB Indonesia berada di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian. Sejak awal pembentukannya pada 2007, Sekretariat tersebut didukung oleh WWF Indonesia. Dalam pertemuan itu, Deputi Menteri Kooordinator Perekonomian Dr. Monty Girianna mengucapkan terima kasih atas dukungan WWF selama ini dan berharap atas kelanjutannya.

Staf WWF Indonesia dan Malaysia dalam pertemuan Heart of Borneo (HOB), Tarakan, Agustus 2017.

Beberapa bulan kemudian Manajer Advokasi WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, mengatakan Kemenko Perekonomian meminta WWF Indonesia menjadi Project Management Office (PMO) yang mengkoordinir reformasi agraria di kementerian tersebut. Dito, nama panggilan Aditya, melihatnya sebagai kesempatan memperkuat upaya-upaya penyelesaian konflik tanah di banyak taman nasional. Karena Badan Pengurus telah menetapkan WWF Indonesia tidak bisa menerima dana negara, WWF Indonesia masih perlu mencari pendanaan untuk menerima penugasan ini.

Hingga saat itu, WWF Indonesia telah terlibat dalam penyelesaian konflik tanah di Taman Nasional Tesso Nilo yang hampir habis dijarah petani kelapa sawit. Konflik ini berbeda dengan kejadian di Taman Nasional lain yang menghadapkan manajemen Taman Nasional dengan petani subsisten atau masyarakat adat. Kebun kelapa sawit di Tesso Nilo dimiliki anggota DPRD, perwira polisi, dan pengusaha lokal, yang menggunakan para petani penggarap sebagai garda depan pelawan manajemen Taman Nasional. Upaya penyelesaian kebun sawit dalam kawasan Taman Nasional ini telah dilakukan selama bertahun-tahun dan melibatkan berbagai pihak, namun belum juga berhasil. Bahkan, semakin lama kawasan Taman Nasional yang merupakan habitat gajah Sumatra semakin menciut.

Seperti semua perjanjian lainnya, rancangan Perjanjian Kerja Sama (Memorandum of Understanding/MoU) ditelaah dengan teliti oleh unit hukum dan perundang-undangan WWF Indonesia. Mereka mengatakan tidak ada masalah dengan rancangan tersebut. Maka Sekretaris Kemenko Perekonomian, Dr. Lukita Dinarsyah, dan saya menandatanganinya pada 19 Oktober 2017.

Penandatanganan perjanjian kerjasama Kemenko Perekonomian dan WWF Indonesia, Oktober 2017. (Kredit foto: Ramadhani Prihatini/Kontan).

MOU itu mendapatkan pemberitaan yang luas. Dalam wawancara dengan para wartawan seusai penandatanganan, Pak Lukita mengatakan Kemenko Perekonomian menyediakan dana APBN untuk pelaksanaan kerja sama. Dalam kesempatan itu sebetulnya saya mengemukakan WWF Indonesia tidak akan menggunakan dana APBN untuk partisipasinya. Dana APBN akan seluruhnya digunakan bagi kegiatan Pemerintah Indonesia. Namun, bagian terakhir ini tidak ikut diberitakan.

Kliping suratkabar mengenai kerjasama Kemenko Perekonomian dan WWF Indonesia.

Keesokan harinya, kerja sama itu mendapat serangan luar biasa dari para penggiat reforma agraria di semua platform media. Salvo itu dimulai Mubariq Ahmad, mantan CEO WWF Indonesia, di grup WhatsApp Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Ia mengirim pesan berbunyi “Reforma Agraria Dibajak Panda!” seraya menampilkan pemberitaan surat kabar mengenai perjanjian kerja sama tersebut. Media sosial WWF Indonesia juga diserbu dengan berbagai serangan. Inti serangan itu: WWF tidak patut mengurus reforma agraria, WWF mencari keuntungan di tengah penderitaan orang lain, dan WWF ikut campur dalam masalah dalam negeri Indonesia.

Saya sangat terkejut dengan serangan ini, terutama karena sebagian besar dari penolak itu adalah para aktivis yang telah saya kenal lebih dari 20 tahun. Mereka juga tahu reforma agraria bukan isu yang baru saya kenal sejak saya menjadi CEO WWF Indonesia. Sejak pendiriannya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dibantu oleh Oxfam, ketika reforma agraria masih jadi kata yang tabu untuk diucapkan pada zaman Orde Baru.

Saya meminta teman-teman WWF tidak melayani serangan ini satu per satu di media sosial karena akan sia-sia. Banyak orang yang menulis tanpa mengerti persoalannya, dan banyak juga yang ikut ramai-ramai menghujat karena punya persoalan lain dengan WWF di luar perjanjian kerja sama ini.

Yang paling banyak muncul di media massa adalah Imam Prasodjo, dosen Universitas Indonesia dan penasihat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Pesannya selalu sama, reforma agraria adalah masalah sensitif yang tidak dapat diserahkan kepada lembaga asing. Melalui pesan pribadi, saya mengatakan pada Imam bahwa Yayasan WWF Indonesia adalah badan hukum Indonesia yang didirikan orang-orang Indonesia. Ia menjawab, “Saya kenal WWF Indonesia, saya teman baik Pak Efransjah.” Efransjah, mantan CEO WWF Indonesia, adalah juga penasihat Menteri LHK. Lalu, mengapa Imam terus membawa isu intervensi asing dalam reforma agraria di Indonesia? Sikap Imam yang tiba-tiba menjadi chauvinist kelas satu ini memang mengherankan. Ia adalah peserta pertukaran pelajar American Field Service (AFS) ketika SMA, dan mendapat beasiswa Fullbright untuk kuliah di Kansas State University di Amerika Serikat.

Karena berbagai serangan itu, saya berinisiatif untuk bertemu dengan para pengkritik. Kami bertemu di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena kebetulan mereka semua merupakan anggota Kelompok Kerja Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di kementerian itu. Rapat dipimpin Noer Fauzi Rachman (Oji), staf khusus Kepala Staf Presiden (KSP). Pesertanya ada Suraya Affif (Ncur), Yando Zakaria, Martua Sirait, Lili Hasanudin, Kasmita Widodo, dan beberapa orang lain yang saya tidak ingat lagi. Nama-nama yang saya ingat ini adalah mereka yang telah saya kenal selama bertahun-tahun.

Dalam pembukaannya, Oji mengatakan untuk keterlibatan dalam Pokja Reformasi Agraria, mereka sudah bersepakat tidak membawa “bendera” organisasi masing-masing. Perjanjian Kerja Sama antara WWF Indonesia dengan Kemenko Perekonomian dianggap mencederai kesepakatan tersebut. Selain itu, KSP juga telah mengirimkan nama-nama untuk menjadi PMO Tim Reformasi Agraria di Kemenko Perekonomian. Kantor Kemenko tidak pernah membalas usulan KSP tersebut, malah menunjuk WWF untuk menjadi PMO. Nama-nama yang diusulkan Oji melalui KSP itu hadir dalam pertemuan tersebut. Saya ingat nama Yando dan Martua termasuk yang diusulkan.

Dalam menanggapi pembukaan Oji tersebut, saya mengatakan usulan perjanjian kerja sama ini datang dari Kemenko Perekonomian, bukan dari WWF. Selain itu, bagaimana WWF tahu mengenai kesepakatan untuk “tidak membawa bendera” kalau tak pernah diajak bicara? Jawaban Oji, “Kami pikir WWF tidak tertarik dengan isu reformasi agraria!”

Rapat berlangsung hampir dua jam. Para peserta mendesak WWF membatalkan MoU itu. Saya mengatakan tidak mungkin membatalkan MoU karena ada konsekuensi hukum untuk WWF Indonesia. Saya mengajak mereka menggunakan kesempatan ini dengan bersama-sama WWF Indonesia menjalankan PMO.

Bukankah mereka juga ingin ada koordinasi yang baik antara KLHK, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan Pemerintah Daerah? Berada dalam modul koordinasi di Kemenko Perekonomian adalah kesempatan baik untuk melaksanakannya. Namun, tak ada yang bersedia mengambil pilihan itu.

Saya ingat Yando mengatakan, “Terus, kami harus berada di bawah WWF?” Seolah-olah, usulan saya itu merupakan penghinaan kepada mereka.

Saya melihat dengan jelas, ini adalah soal pekerjaan untuk mereka. WWF Indonesia telah merebut kesempatan kerja mereka. Maka, dengan segala cara mereka akan berusaha menyingkirkan WWF. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan cita-cita keadilan sosial yang selama ini menjadi wajah publik mereka. Hari itu, seluruh penghargaan saya pada mereka turun pada titik nol!

Oji pada pertemuan di kantor Knowledge Sector Indonesia setahun sebelumnya mengatakan, “Sekarang kita bisa mengatur para Direktur Jenderal!” Ketika itu Oji baru saja diangkat menjadi staf khusus Kepala KSP, Teten Masduki. Sebagai orang yang pernah terlibat dalam reformasi birokrasi di Indonesia, saya tahu ini pernyataan omong kosong.

Saya ingat kembali komentar seorang teman mengenai para staf khusus ini: Orang Kuasa Baru (OKB). Mereka perlu membaca tulisannya Marcus Mietzner mengenai Deep State dalam birokrasi Indonesia. Para OKB yang saya hadapi dalam rapat itu berpikir mereka bisa menjalankan reforma agraria hanya jika mereka, hanya mereka dan bukan orang lain, yang memegang kekuasaan.

Pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Mereka tetap memaksa WWF membatalkan perjanjian kerja sama itu, sedangkan saya mengatakan itu adalah wewenang Kemenko Perekonomian, bukan kewenangan WWF.

Malam itu saya terbang ke Tual di Kepulauan Kei untuk pertemuan dengan staf program kelautan WWF Indonesia. Selama saya berada di Kei, risalah rapat tersebar ke berbagai pihak yang tidak menghadiri rapat. Dalam risalah itu, terkesan WWF Indonesia diadili komunitas organisasi non-pemerintah (ornop) dan sebagai “pesakitan” menyesali perbuatannya. Dalam rapat tersebut saya memang menyatakan meminta maaf bila ada yang merasa tersinggung akibat MoU itu. Namun, saya mengatakan tak ada maksud WWF Indonesia menyinggung siapapun ketika menandatanganinya. Permintaan maaf saya kemudian dipelintir seolah-olah sebagai pengakuan “bersalah” WWF Indonesia.

Tekanan publik yang diberikan kepada WWF semakin besar. Dalam satu seminar mengenai masyarakat adat, Menko Perekonomian Darmin Nasution yang hadir sebagai pembicara dicecar oleh Imam Prasodjo mengenai MoU yang dia anggap sebagai campur tangan asing dalam masalah domestik Indonesia. Darmin yang tampaknya tidak siap menghadapi pertanyaan itu menjawab sekenanya saja. Kemenko Perekonomian sedang meninjau perjanjian kerja sama itu, katanya. Karena Lukita Dinarsyah telah dimutasi menjadi Kepala Otorita Batam sehari setelah MoU ditandatangani, perjanjian itu bagai anak yang tak jelas siapa orang tuanya di dalam kementerian.

Teman-teman dalam Senior Management Team (SMT) WWF Indonesia meminta organisasi melawan balik. Namun, saya meminta mereka andap asor saja. Saya tak ingin energi organisasi dihabiskan untuk melakukan serangan balik. Ketika itu kami sedang dalam tahap awal konsolidasi ke dalam, dan saya juga tak ingin menunjukkan perpecahan ornop lingkungan hidup di muka publik Indonesia. Tak ada manfaatnya. Menang jadi arang, kalah jadi abu!

Dalam perjalanan meninjau program kelautan WWF Indonesia di Kepulauan Kei itu, saya punya waktu memikirkan persoalan ini dengan lebih jernih, jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Saya dapat melihat dengan jelas bahwa pemerintahan Jokowi tidak bersungguh-sungguh memenuhi komitmen reformasi agraria. Program dengan target ambisius ini tak mungkin tercapai dalam jangka waktu 5-10 tahun masa pemerintahan. Bila berada dalam struktur rezim ini, WWF Indonesia akan menjadi kambing hitam yang ideal atas kegagalan itu. WWF juga tak akan dapat menjalankan tugasnya tanpa dukungan teman-teman dari organisasi masyarakat sipil Indonesia.

Acara buka sasi di Kei Besar, Oktober 2017.

Begitu mendarat kembali di Jakarta, saya segera menemui Pak Monty Giriana di kantor Kemenko. Saya mengatakan WWF Indonesia tak mungkin menjalankan mandat yang diberikan Kemenko Perekonomian, dan akan legowo menerima keputusan Kemenko untuk membatalkan MoU. Pak Monty tampak kecewa, namun ia tak banyak berbicara dalam pertemuan itu. Kemenko Perekonomian lantas menyebarkan siaran pers yang menyatakan penghentian MoU. Beberapa hari kemudian, ketika ditanya wartawan soal alasannya, Darmin Nasution mengatakan ada benturan kepentingan antara peran WWF Indonesia sebagai PMO dengan keberadaan WWF sebagai anggota Kelompok Kerja Reforma Agraria di KLHK.

Press release Kantor Kemenko Perekonomian. Oktober, 2017.

Baru hari itu saya tahu, WWF Indonesia adalah anggota Kelompok Kerja Reforma Agraria KLHK. Nama WWF Indonesia ada dalam lampiran Surat Keputusan Menteri yang berisi lebih dari 250 nama organisasi dan pribadi anggota kelompok kerja. Namun, kami belum pernah menerima surat keputusan itu, dan tidak sekali pun diundang rapat oleh kelompok kerja ini!

Dalam rapat SMT WWF Indonesia, salah seorang rekan meminta agar orang yang bertanggung jawab atas kerusakan reputasi WWF Indonesia dalam peristiwa ini diberi sanksi. Meski yang dia maksud adalah Dito, saya mengatakan sebagai CEO penanda tangan MoU, saya yang bertanggung jawab. Saya katakan saat rapat, “I bite the bullet!”

Namun, tentu saja saya masih punya ganjalan dengan para Brutus. Saya baru memahami perubahan perilaku mereka setelah membaca tulisan Dianto Bachriadi (Gepeng) mengenai transmutasi para aktivis reforma agraria dari aktivis gerakan sosial menjadi kolaborator rezim. Gepeng adalah salah seorang pendiri KPA dan pernah menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Apa yang akan mereka tulis setelah tidak berkuasa sebagai pertanggungjawaban kepada publik, dan apa yang mereka ceritakan kepada anak-cucu mereka, setelah sepuluh tahun menjadi kaki-tangan rezim ini? Rezim yang mengamputasi semua anak-anak reformasi, melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, membuang keberpihakan kepada calon legislatif perempuan lewat peraturan Komisi Pemilihan Umum, menjinakkan Mahkamah Konstitusi, membiarkan nepotisme keluarga penguasa, dan puncaknya menggolkan undang-undang Omnibus yang menghancurkan semua dasar kehidupan ekonomi rakyat untuk kepentingan para investor!