Di tengah krisis yang terjadi pada akhir masa jabatan Efransjah, WWF Indonesia menerima penugasan sebagai tuan rumah pertemuan tahunan WWF International. Pertemuan tahunan ini adalah kesempatan untuk menampilkan keanekaragaman hayati Indonesia di mata dunia. Badan Pengurus juga ingin menunjukkan pada jaringan WWF International bahwa WWF Indonesia memiliki daya lenting yang tinggi dan telah melampaui masa krisis.

Saya memberikan sambutan atas nama Badan Pengurus WWF Indonesia dalam coctail party sebelum pembukaan Pertemuan Tahunan WWF International.

Kantor Eksekutif WWF Indonesia yang dipimpin pejabat sementara CEO, Benja Mambai, berusaha keras membuat pertemuan ini berhasil. Dalam pertemuan pada Maret 2017 di Hotel Grand Mercure Manado itu hadir perwakilan dari kantor-kantor WWF di seluruh dunia. Dalam pertemuan itu, Presiden WWF memberikan penghargaan kepada dua anak muda yang dianggap sebagai pahlawan lingkungan hidup. Satu di antaranya, Adeline Suwarna, berasal dari Indonesia. Adeline sejak SMP telah menggerakkan teman-temannya dalam kegiatan daur ulang sampah dan penyelamatan lingkungan. Kegiatan yang dimulai dari satu sekolah kemudian berkembang ke ratusan sekolah di banyak kota di Indonesia.

Saya bersama Adeline Suwarna penerima WWF Presidential Award 2017.

Dalam pertemuan itu, Badan Pengurus WWF International melaksanakan pertemuan tahunannya. Anggota dari WWF Indonesia adalah Shinta Widjaja-Kamdani. Saya dan Mas Arief Soerowidjojo hadir dalam General Assembly, semacam parlemen dalam jaringan WWF. Kemal Stamboel sebagai Ketua Badan Pengurus memberikan pidato sambutan, dan Kuntoro Mangkusubroto sebagai Ketua Badan Pembina WWF Indonesia memberikan pidato kunci.

Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Badan Pembina WWF Indonesia, memberikan pidato kunci pada pembukaan Pertemuan Tahunan WWF International, 9 Maret 2017.

Pada saat pertemuan tahunan itu, WWF Indonesia masih belum mendapatkan CEO pengganti Efransjah walaupun proses rekrutmen telah berjalan selama setahun. Amrop-Hever memberikan 20 nama kandidat dari basis datanya yang luas. Beberapa di antara mereka adalah CEO organisasi internasional di Indonesia dan perusahaan swasta yang cukup besar. Panitia seleksi yang dipimpin langsung oleh Pak Kuntoro telah mewawancarai 10 orang yang ada dalam daftar tersebut, namun belum ada satu pun yang dianggap memenuhi syarat dan dapat menyelesaikan krisis yang saat itu terjadi.

Jaringan WWF International mulai agak khawatir dengan situasi yang terjadi. WWF Indonesia adalah salah satu program terbesar dalam jaringan WWF International. Selain itu, menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia sangat penting bagi keberhasilan program konservasi dan perubahan iklim di seluruh dunia. Selama pertemuan tahunan itu para donor WWF maupun kantor-kantor program lainnya selalu bertanya mengenai proses rekrutmen CEO WWF Indonesia.

Pada hari kedua pertemuan, hanya kami bertiga yang tinggal dari Badan Pengurus WWF Indonesia: Shinta Kamdani, Arief Soerowidjojo, dan saya. Pagi itu kami sarapan bersama di satu meja, dan Shinta mengulangi kembali permintaannya 7 tahun yang lalu, “Lebih baik Rizal saja yang menjadi CEO WWF Indonesia!”

Permintaan, atau lebih tepatnya desakan, ini mendapat dukungan dari Mas Arief. Pagi itu, selama hampir satu jam mereka berusaha meyakinkan saya untuk menjadi CEO WWF Indonesia. Saya menolak permintaan itu karena masih punya komitmen lain saat itu. Saya katakan pada mereka, saya ingin pulang ke Yogyakarta dan kembali mengajar.

Yang tidak saya katakan pada mereka, saat itu saya berada dalam daftar pendek untuk menjadi kepala perwakilan satu organisasi internasional yang berpusat di Amerika Serikat. Proses rekrutmen tersebut memasuki tahap terakhir. Saya telah mengikuti dua putaran wawancara dengan para manajer senior mereka. Pada tahap terakhir, saya akan diwawancarai oleh Wakil Presiden organisasi itu.

Namun, mereka berdua, terutama Shinta, tidak bisa menerima penolakan ini. Anda yang pernah kenal Shinta, sekarang Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, pasti tahu bahwa dia tidak mengenal kata “tidak” untuk permintaannya. Akhirnya, saya dapat menghindar dengan mengatakan akan konsultasi dulu dengan Reni. Saya katakan pada mereka, saya tak pernah mengambil keputusan besar tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan Reni. Mereka setuju, tapi minta saya mengambil keputusan sebelum rapat Badan Pengurus pada Juni 2017.

Siang itu saya mendengar Shinta berbicara dengan Marco Lambertini, Direktur Jenderal WWF International, dan meyakinkan Marco bahwa WWF Indonesia telah punya calon CEO.

Setelah berbicara dengan Reni, dan juga mendengarkan pendapat Mas Kemal Stamboel sebagai Ketua Badan Pengurus, pada Juni itu saya menerima jabatan sebagai CEO dan mengundurkan diri sebagai anggota Badan Pengurus WWF Indonesia setelah selama 15 tahun. Saya menyatakan hanya bersedia menjadi CEO untuk satu periode 3 tahun saja. Saya menganggap ini sebagai penugasan dari Badan Pengurus untuk menyelesaikan krisis, dan mempersiapkan kepemimpinan WWF Indonesia yang akan datang.

Saya juga mengundurkan diri dari proses rekrutmen lembaga internasional lainnya itu. Pekerjaan itu sebetulnya lebih sederhana dari WWF Indonesia. Anggaran mereka sepersepuluh anggaran WWF Indonesia, dengan staf kurang dari selusin. Sebagai konsultan pengembangan organisasi, saya telah memfasilitasi transformasi beberapa organisasi. Tetapi WWF Indonesia dengan 21 kantor lapangan, anggaran tahunan lebih dari 30 juta dolar AS, dan 500 staf yang tersebar di seluruh Indonesia adalah satu tantangan yang besar.

Karena saat itu masih ada beberapa pekerjaan konsultansi yang harus diselesaikan, saya baru mulai bekerja pada 1 Agustus 2017.

Selama 3 bulan pertama, saya mengunjungi kantor-kantor lapangan untuk mendengar pengalaman dan keluhan staf lapangan. Saya mulai dari Kalimantan dan Sumatra, dua program yang hampir semua stafnya menandatangani petisi. Baru kemudian ke kantor lapangan di Papua dan bertemu dengan staf program Kelautan di Tual, Kepulauan Kei. Tak ada seorang pun staf program Papua menandatangani petisi, dan hanya sedikit staf program kelautan yang ikut menandatangani petisi. Ini juga mencerminkan orientasi para patron dalam sistem patronase yang saya sebutkan sebelumnya.

Saya bersama tim WWF Indonesia di Kantor Lapangan Barong Tongkok, Kutai Barat.

Kesimpulan saya dari pertemuan-pertemuan itu, teman-teman di lapangan hanya ingin suara mereka didengar. Mereka merasa selama ini para manajer senior berada jauh dari mereka dan seperti hidup dalam dunia yang berbeda, baik dalam hal gagasan maupun gaya hidup.

Saya bersama tim lapangan di Taman Nasional Ujung Kulon. Ini adalah satu-satunya tempat yang dapat menangkap sinyal ponsel di dalam Taman Nasional.

Proses penyusunan Rencana Strategis 2018-2023 pada akhir 2017 saya pergunakan sebagai upaya mengkonsolidasikan organisasi yang terbelah karena petisi 2015 itu. Proses itu juga merupakan upaya untuk membangun identitas, nilai-nilai, dan budaya organisasi yang baru. Identitas WWF Indonesia sebagai organisasi konservasi yang berbasiskan ilmu pengetahuan,  berpihak pada komunitas, dan berjejaring kemitraan luas harus tercermin dalam program, cara kerja, dan budaya organisasi.

Kata kunci dalam Rencana Strategis yang baru adalah refocusing dan reorganization. Memusatkan kembali proyek-proyek WWF Indonesia pada area yang memberikan dampak besar pada pemulihan keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Saya juga mendorong reorganisasi pengelolaan sumber daya dan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat dengan tempat pelaksanaan program.

Saya bersama Benja, direktur program Papua, Apin, direktur SDM, dan Bardin kapten kapal KM Gurano Bintang, kapal pendidikan konservasi WWF Indonesia, di Taman Nasional Teluk Cendrawasih.

Untuk itu, program WWF Indonesia dibagi dalam tujuh tema yang dilaksanakan di sembilan kawasan daratan (landscape) dan lautan (seascape). Saya memperjelas pembagian tugas antara manajer tematik yang bertanggung jawab atas kontrol kualitas program dan manajer kawasan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek. Saya memperkenalkan proses pengambilan keputusan matriks, dengan membentuk banyak tim kerja antar departemen untuk berbagai area pengambilan keputusan. Namun, saya memusatkan penggalian dana dan hubungan dengan donor pada satu tim di Jakarta. Dengan demikian, manajer di lapangan bisa memusatkan perhatiannya pada pelaksanaan program, bukannya sibuk mencari dana dan membuat laporan kepada donor.

Saya juga berupaya memperkuat kapasitas penelitian, pemantauan, evaluasi, dan pembelajaran dengan membentuk satu unit pengelolaan pengetahuan di bawah CEO. Selain itu, saya memperkuat branding WWF Indonesia dan sistem pengendalian kualitas di semua lini. Saya juga memperkenalkan sistem penilaian kinerja secara obyektif dan berkala. Hampir semua peralatan (tools) dan pengalaman saya melaksanakan pengembangan organisasi selama 30 tahun diterapkan sesuai kebutuhan dalam manajemen WWF Indonesia.

Dalam reorganisasi ini, secara perlahan dan senyap, saya sebetulnya melaksanakan rekomendasi dari konsultan PwC pada evaluasi tengah-masa Rencana Strategis 2013-2018. Rekomendasi mereka sangat masuk akal, hanya cara mengkomunikasikan reorganisasi di masa lalu mungkin bermasalah sehingga menimbulkan banyak resistansi.

Seluruh proses penyusunan Rencana Strategis WWF Indonesia kemudian diakhiri dalam satu pertemuan besar di Sukabumi. Staf dari seluruh Indonesia berkumpul selama 3 hari dan bersepakat memulai program kerja dengan cara kerja dan budaya organisasi yang baru. Pertemuan itu juga merupakan acara penyembuhan dan rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok yang berbeda selama dua tahun krisis organisasi WWF Indonesia.

Pertemuan Nasional staf WWF Indonesia di Sukabumi, April 2018. Kami sedang membentuk formasi WWF.ID yang kemudian difoto oleh drone.

Pada awal penugasan menjadi CEO, salah seorang anggota Badan Pengurus menyatakan saya mungkin perlu memecat separuh staf WWF Indonesia yang ia anggap tidak produktif dan penumpang gelap (free riders). Saya menolak pendekatan ini, karena memulai konsolidasi organisasi dengan cara memecat pegawai bukanlah cara yang tepat. Saya berjanji akan meningkatkan efisiensi penggunaan dana, dengan mengurangi rasio antara pengeluaran overhead dan pelaksanaan program. Saya juga mengemukakan rencana pengelolaan sumber daya manusia dengan menekankan pada penilaian kinerja secara berkala dan penempatan orang kompeten pada posisi yang tepat.

Saya dan teman-teman di Departemen Sumber Daya Manusia yang dipimpin Apin Avyan menyusun sebuah program yang ambisius. Program yang diberi nama Program Rocket ini berusaha membangun kompetensi dan kerja sama 70 orang manajer menengah dari semua departemen dan kawasan di seluruh Indonesia, dalam proporsi yang hampir berimbang antara perempuan dan laki-laki. Tujuannya, dalam tiga tahun akan terbentuk tim yang kompeten, berkomitmen tinggi, dan siap menggantikan posisi-posisi manajer senior yang ada.

Para peserta program Rocket berfoto bersama di Palangka Raya sebelum berangkat menuju Taman Nasional Sebangau.

Saya terobsesi agar proses kaderisasi kepemimpinan WWF Indonesia berlangsung dengan baik. Hingga saat itu, WWF Indonesia dianggap sebagai “sekolah” bagi mereka yang baru memulai karirnya. Hampir seperti Citibank dalam industri perbankan, atau majalah Tempo dalam industri pers. Setelah bekerja beberapa tahun, memahami isu lingkungan hidup, dan membangun jejaring, banyak staf memilih bekerja di tempat lain yang lebih menjanjikan baik secara keuangan maupun kepuasan kerja. Dalam pemetaan Departemen Sumber Daya Manusia, kesesuaian kompetensi dengan jabatan berada pada kuartil paling bawah dan paling atas. Ketidaksesuaian berada di posisi menengah, yang jumlahnya memang agak terlalu banyak.

Bila ada posisi manajemen senior yang kosong, sukar sekali mencari penggantinya dari dalam, apalagi manajer perempuan. Dalam proses rekrutmen posisi manajer senior, saya selalu berusaha mendapatkan calon-calon perempuan yang memenuhi syarat. Bahkan, saya melakukan pendekatan pribadi kepada calon-calon potensial dari luar WWF Indonesia.

Namun, dunia konservasi di Indonesia memang masih didominasi laki-laki. Dari 9 orang CEO anggota Forum Komunikasi Konservasi Indonesia (FKKI) periode 2017-2019, hanya ada 1 orang perempuan. Itu tampaknya mewakili rasio perempuan dan laki-laki di dunia konservasi di Indonesia.

Rasio gender di kepemimpinan WWF Indonesia saat itu sebetulnya cukup baik, walaupun belum ideal. Dari enam anggota tim manajemen senior (SMT), ada satu orang direktur perempuan alias 16 persen dari keseluruhan. Dalam SMT yang diperluas, yakni termasuk para wakil direktur dan manajer senior, ada tiga perempuan – setara 21 persen – dari 14 orang.

Senior Management Team (SMT) WWF Indonesia di kantor program Kelautan di Renon, Denpasar. Oktober 2019.

Perhatian yang lebih banyak ke dalam organisasi membuat saya agak lalai memperhatikan perkembangan di luar jaringan WWF. Ini berakibat pada beberapa kejadian yang memiliki konsekuensi besar pada program WWF Indonesia.