Pada 2008, setelah Mubariq Ahmad enam tahun menjadi Chief Executive Officer (CEO) WWF Indonesia, Badan Pengurus memperbaharui kontrak tiga tahunnya untuk yang ketiga kali. Pengurus, termasuk saya yang duduk di dalamnya, menilai Mubariq berhasil membalikkan keadaan WWF Indonesia dari organisasi dengan keuangan defisit menjadi organisasi yang programnya semakin berkembang. Ia juga berhasil membangun dana cadangan.

Walaupun hubungan antara Mubariq dengan Menteri Kehutanan ketika itu, MS Kaban, tidak begitu baik, Badan Pengurus tidak melihatnya sebagai masalah. Djamaloedin Soeryohadikoesoemo, mantan Menteri Kehutanan dan salah seorang yang berperan penting dalam upaya pembentukan WWF Indonesia pada 1996, duduk sebagai anggota Badan Pengurus. Selain itu, dalam manajemen WWF Indonesia duduk beberapa orang yang pernah menjadi pejabat eselon 2 Kementerian Kehutanan. Mereka dapat menjadi penghubung antara WWF Indonesia dengan mitra utama di Kementerian.

Di luar dugaan Badan Pengurus WWF Indonesia, beberapa hari setelah perpanjangan kontrak Mubariq, seluruh anggota Senior Management Team (SMT) menulis surat keberatan dan meminta Pengurus meninjau kembali keputusan tersebut. Saya tak ingat rincian alasan mereka karena dokumen itu tidak dapat saya temukan kembali, namun hubungan yang buruk dengan Menteri Kehutanan pernah disinggung oleh salah satu penanda tangan surat tersebut dalam percakapan pribadi dengan saya.

Saya bersama Mubariq dan Wawan Ridwan di Sumur, Ujung Kulon, Agustus 2008.

Pengurus seperti makan buah simalakama. Bila Mubariq tak tahu dia punya masalah dengan SMT, berarti komunikasi mereka buruk sekali. Kalau ia tahu tentang masalah ini tetapi tak pernah menyampaikannya kepada Badan Pengurus, maka ia selama ini tak jujur kepada kami. Untuk mengatasi masalah ini, Pengurus mengambil keputusan untuk membuat kepemimpinan kolektif yang terdiri dari Mubariq; salah seorang anggota Badan Pengurus, Ibu Tatik Darsoyo; dan seorang konsultan, Dr. Hadi Alikodra. Sampai konflik antara CEO dengan SMT dapat diselesaikan, CEO tak bisa mengambil keputusan sendiri. Namun, Mubariq keberatan dengan pengaturan ini.

Konflik ini berlangsung beberapa bulan, sehingga Mubariq mengancam akan mengambil jalur hukum karena ia beranggapan Badan Pengurus WWF Indonesia ingkar janji: menjanjikan dirinya sebagai CEO, tetapi kemudian mengurangi mandatnya. Masalah ini kemudian diselesaikan dengan fasilitasi Jim Leape, Direktur Jenderal WWF International, dan Mas Ahmad Santosa. Mubariq kemudian mundur sebagai CEO dengan kompensasi yang cukup memberatkan keuangan WWF Indonesia ketika itu. Sampai sekarang, Mubariq selalu menyalahkan Badan Pengurus WWF Indonesia, terutama saya, Mas Arief dan Mas Kemal, atas yang terjadi pada saat itu. Nampaknya dia merasa tak pernah ada masalah dengan gaya kepemimpinannya yang menyebabkan semua anggota SMT menolaknya.

Setelah Mubariq mundur, saya diminta Badan Pengurus menjadi Ketua Panitia Seleksi CEO baru. Kami meminta bantuan Amrop-Hever, sebuah perusahaan konsultan Sumber Daya Manusia, untuk mengidentifikasi sepuluh kandidat CEO. Dari daftar nama yang diajukan Amrop-Hever, kami memanggil 3 orang untuk wawancara. Dua orang calon dari luar, dan seorang calon dari dalam. Kedua calon dari luar sangat kuat karena memiliki pengalaman bekerja dengan organisasi internasional, baik di Indonesia maupun di Kawasan Asia Tenggara. Saya juga membuat acara makan siang yang dihadiri semua calon CEO dengan para manajer senior WWF Indonesia. Pengurus juga meminta pendapat para manajer senior sebelum mengambil keputusan.

Di tengah-tengah proses wawancara ini, Shinta Widjaja-Kamdani, salah seorang anggota Badan Pengurus, mengatakan, “Mengapa kita tidak minta Rizal saja menjadi CEO?” Rupanya ia menilai calon-calon tersebut belum memenuhi syarat untuk memecahkan masalah organisasi WWF Indonesia. Saya dengan keras menolak usulan Ibu Shinta itu, karena saya adalah ketua panitia seleksi. Apa kata dunia bila Badan Pengurus malah memutuskan mengangkat saya menjadi CEO?

Selain itu, saya juga melihat ada satu calon yang sangat kuat. Efransjah adalah Doktor ilmu Kehutanan dari Perancis. Ia juga pernah bekerja di Kementerian Kehutanan, sehingga dapat menjembatani komunikasi dengan Kementerian. Efransjah pernah bekerja di kantor pusat International Tropical Timber Organization (ITTO) di Yokohama, dan bekerja selama 5 tahun di UNDP Malaysia sebagai Chief Technical Advisor sebuah proyek lingkungan hidup yang besar. Masalahnya, dia baru saja kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Center for International Forestry Research (CIFOR) di Bogor.

Direktur Jenderal CIFOR, Frances Seymour, adalah teman lama saya. Kami pernah sama-sama aktif di International Forum on Indonesia Development (INFID) pada masa-masa akhir Orde Baru dan awal Reformasi. Ketika tahu Efransjah mendaftar menjadi CEO WWF Indonesia, Frances secara setengah bergurau mengatakan pada saya, “Jangan ambil Efransjah karena dia diperlukan di CIFOR!” Setelah Efransjah menerima tawaran pekerjaan dari WWF Indonesia, secara khusus saya mengajak Frances minum kopi dan meminta CIFOR melepaskan Efransjah dengan baik-baik.

Selama enam tahun Efransjah menjadi CEO, ia dapat membina hubungan baik dengan Kementerian Kehutanan. Bahkan ia memiliki hubungan pribadi yang sangat dekat dengan Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan ketika itu. Zulkifli datang menghadiri beberapa acara penting WWF Indonesia, termasuk puncak acara perayaan ke-50 WWF bekerja di Indonesia pada 2016. Efransjah juga memperluas program WWF Indonesia dengan anggaran hampir 3 kali lipat dari saat ia memulai kerjanya pada 2009. Bahkan, pada periode ini pula WWF dapat membeli kantor 9 lantai di Graha Simatupang. Efransjah memenuhi semua indikator kinerja yang telah ditetapkan oleh Badan Pengurus. Maka, pada akhir periode keduanya di tahun 2015, Pengurus bermaksud memperpanjang kontrak tiga tahunnya untuk yang ketiga kali.

Saya bersama Efransyah, mas Kemal dan mas Arief dalam acara fundrising WWF di Ancol, 2011.

Namun, prahara kembali terjadi. Sebelum Pengurus memperpanjang kontrak Efransjah, sebuah petisi yang ditandatangani oleh 251 orang staf, artinya lebih dari separuh staf tetap WWF Indonesia, meminta kontrak Efransjah tidak diperpanjang. Sebab utama penolakan itu adalah reorganisasi yang akan dilakukan manajemen WWF Indonesia berdasarkan usulan konsultan yang melakukan evaluasi tengah-masa (mid-term evaluation) Rencana Strategis 2013-2018. Selain itu, dikemukakan pula beberapa kasus yang berkaitan dengan buruknya pengelolaan sumber daya manusia WWF Indonesia. Yang menjadi sasaran tembak adalah Manajer SDM dan atasan langsungnya, Direktur Operasional (Chief Operation Officer). CEO dianggap bersalah karena membiarkan hal tersebut terjadi.

Ketika petisi tersebut mulai beredar, saya ditelepon beberapa staf yang meminta campur tangan Pengurus untuk mencegah masalah ini semakin membesar. Tetapi saat itu saya sebagai Ketua Yayasan Tifa, sedang menangani krisis di Yayasan Tifa. Maka dengan sengaja saya tak pernah ikut cawe-cawe pada awal krisis WWF terjadi. Baru pada akhir penyelesaian krisis, saya diminta Badan Pengurus terlibat sebagai fasilitator “Team 11”, kelompok gabungan antara perwakilan penanda tangan petisi dan penolak petisi tersebut. Team 11 ini kemudian membuat usulan mengenai tata kelola organisasi agar tidak terjadi lagi krisis pada masa yang akan datang.

Usulan tim menekankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik seperti partisipasi staf dalam pengambilan keputusan, transparansi dari manajemen, serta aturan-main yang jelas dan disepakati bersama. Namun, saya melihat sumber krisis ada di tempat lain, yaitu pada budaya organisasi yang terbentuk karena perjalanan sejarah WWF Indonesia.

Kehadiran WWF di Indonesia pada awalnya adalah sebagai proyek penelitian mengenai spesies badak Jawa, kemudian meluas ke spesies yang terancam lainnya, seperti harimau Sumatra, orang utan, gajah Sumatea, penyu belimbing, dan dugong. Penelitian ini kemudian meluas pada pemetaan habitat serta upaya melindungi spesies dan habitat tersebut. Generasi pertama staf WWF Indonesia adalah para ilmuwan, ahli dan peneliti keanekaragaman hayati.

Pada saat WWF Indonesia mulai melakukan advokasi pembentukan taman-taman nasional dan membantu pemerintah mengelola taman nasional, masuklah generasi kedua yang terdiri dari para aktivis lingkungan hidup dan mereka yang memiliki pengalaman pengorganisasian masyarakat. Mereka pernah menjadi aktivis mahasiswa dan banyak terlibat dalam proses perubahan yang terjadi di akhir masa Orde Baru dan awal reformasi. Mereka memiliki rasa keadilan yang tinggi, anti-kemapanan, dan pada umumnya juga anti-sains.

Setelah program WWF berkembang dengan cepat pada 2010 dan mengalami proses korporatisasi menjadi organisasi yang banyak meminjam prinsip-prinsip manajemen bisnis, maka masuklah generasi ketiga yang boleh disebut sebagai teknokrat. Mereka ini yang lebih opportunistik dan mementingkan persaingan.

Ketiga jenis staf ini tak pernah bercampur dengan baik di dalam organisasi. Tentu saja seseorang bisa saja menjadi ilmuwan, aktivis, dan teknokrat sekaligus. Namun, keadaan organisasi WWF Indonesia menyebabkan ketegangan di antara ketiga jenis staf ini. Para aktivis ada di satu kubu yang berlawanan dengan staf ilmuwan dan teknokrat.

Pendanaan kegiatan WWF Indonesia turut memperumit keadaan. WWF Indonesia tergantung kepada dana proyek dari para donor. Sebagian pendanaan berjangka panjang, walaupun tetap dilakukan evaluasi secara periodik, dan jumlahnya bergantung pada penggalangan dana WWF yang bersangkutan. WWF Inggris, misalnya, tak pernah putus selama 50 tahun mendukung proyek-proyek pelestarian badak Jawa di Ujung Kulon. Ini memungkinkan kelenturan dalam pengelolaan sumber daya. Tetapi, sebagian besar pendanaan WWF datang dari proyek-proyek jangka pendek yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan jangka panjang konservasi. Maka, menjelang akhir proyek setiap pemimpin proyek harus berusaha mendapatkan pendanaan baru.

Ini mengakibatkan satu sistem patronase dengan puncaknya beberapa “warlords” yang memiliki hubungan baik dengan donor dan mampu menjaga kesetiaan timnya agar proyek bisa berjalan terus. Reorganisasi akan memutus semua jaringan patronase ini, tanpa terlebih dahulu membangun cara kerja dan budaya organisasi yang baru. Tentu saja resistansinya sangat tinggi. Staf tipe aktivis inilah yang memobilisasi petisi, dan pada banyak kejadian juga menggunakan disinformasi mengenai rencana reorganisasi manajemen WWF Indonesia.

Efransjah kemudian tidak bersedia memperpanjang kontraknya pada akhir periode kedua. Badan Pengurus mengangkat Benja Mambai, Direktur Program Papua, sebagai pejabat sementara sampai CEO baru dipilih. Amrop-Hever kembali diminta mengidentifikasi daftar pendek calon-calon potensial CEO WWF Indonesia.