Pada tahun 2000, saya diundang Dewi Suralaga untuk membantu WWF Indonesia mengembangkan program pemberdayaan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok. Ketika itu Dewi adalah Direktur Program WWF Indonesia, dan saya masih menjadi Kepala Perwakilan Oxfam GB di Indonesia. Perkenalan kami sudah berlangsung cukup lama sejak Dewi masih menjadi mahasiswa dan menjadi relawan muda PKBI di awal tahun 80an. Dewi yang pernah aktif di WALHI dan NOVIB (Oxfam Netherlands), ingin WWF Indonesia belajar dari pengalaman Oxfam melakukan pemberdayaan masyarakat. Ketika itu adalah satu masa ketika konservasi kadang-kadang dipertentangkan dengan pembangunan. Saya bertindak sebagai konsultan pro-bono untuk WWF Indonesia karena Oxfam, tentu saja, melarang pegawainya melakukan pekerjaan lain kecuali sebagai relawan.
Program pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan di TNGK itu kemudian menjadi rujukan bagi WWF dalam program perhutanan sosial dan pelibatan masyarakat di sekitar Taman Nasional. Pengalaman ini didokumentasikan dengan baik dalam buku Menoleh Jalan Panjang Hutan Kemasyarakat: Catatan perjalanan tiga dasawarsa hutan kemasyarakatan di pulau Lombok. Buku yang disusun oleh Dyah Suradiredja dan kawan-kawan ini terbit pada 2018, diberi pengantar oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Dr. Siti Nurbaya dan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Dr. TGK Zainul Majdi.
Yang tidak saya ketahui, dua tahun sebagai konsultan pro-bono itu rupanya proses rekrutmen menjadi anggota Badan Pengurus WWF Indonesia. WWF Indonesia adalah Yayasan yang didirikan oleh warganegara Indonesia dan merupakan anggota (National Organization) dari jaringan WWF Internasional. Yayasan ini berdiri tahun 1996, setelah sebelumnya WWF hadir di Indonesia sebagai kantor program (Programme Office) WWF Internasional sejak tahun 1966. Para anggota pendiri Yayasan WWF Indonesia adalah Prof. Emil Salim, Pia Alisyahbana, Haroen Alrasyid, Ashari Danudirdjo, dan Agus Purnomo.
(Saya menanam bibit pohon bakau di pulau Kaledupa, 2008).
Saya diundang menjadi anggota Badan Pengurus WWF Indonesia pada waktu yang sama dengan Erna Witoelar (mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah) dan Shinta Widjaja-Kamdhani (pengusaha) tahun 2002. Ketika itu di dalam Badan Pengurus sudah ada Kemal Stamboel (mantan CEO IBM Indonesia), Arief Soerowidjojo (pengacara), ibu Tati Darsoyo (mantan duta besar Indonesia di Switzerland), Djamaluddin Soeryohadikoesoemo (mantan Menteri Kehutanan), dan Sjakon Tahija (dokter dan filantropis). Jelaslah saya merupakan anggota Badan Pengurus yang paling muda , paling tidak terkenal dan paling miskin ketika itu.
(Badan Pengurus dan CEO WWF Indonesia bersama Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada peringatan ulang tahun WWF Indonesia ke-50, 2016).
Karena saya adalah anggota Badan Pengurus yang paling punya waktu luang dan mudah diatur dibanding pengurus lainnya, saya sering diminta mewakili WWF Indonesia dalam pertemuan tahunan WWF Internasional. Pertemuan itu dilaksanakan secara bergantian oleh negara-negara anggota jaringan WWF Internasional.
Baru saja beberapa minggu menjadi anggota Badan Pengurus, saya telah diminta menghadiri pertemuan WWF Internasional di Bristol, Inggris. Dalam pertemuan itu saya bertemu dengan Duke of Edinburgh (Pangeran Philips) yang merupakan pendiri WWF Internasional dan mantan Ketua Badan Pengurus WWF Inggris. Dalam pertemuan itu juga hadir untuk pertama kalinya Dr. Mubariq Ahmad yang baru saja menggantikan Pungki sebagai Direktur Eksekutif.
(Pertemuan ketua-ketua Badan Pengurus WWF Asia Pacific, Hong Kong 2010).
Tujuh tahun kemudian, saya hadir dan memperkenalkan Dr. Efransyah sebagai Direktur Eksekutif WWF Indonesia yang baru dalam pertemuan tahunan di Copenhagen. Saya juga hadir dalam pertemuan tahunan di Kota Kinibalu tahun 2010, dan Rotterdam pada 2012. Selain itu, saya mewakili Badan Pengurus dalam pertemuan Heart of Borneo di Bandar Seri Begawan, Brunai Darussalam pada 2007, dan pertemuan pertama WWF Asia Pacific di Hong Kong pada 2010. Pada pertemuan di Hong Kong itulah saya ditelepon Elena dari UNDP yang menyebabkan hubungan kami menjadi buruk, dan berujung pada pengunduran diri saya sebagai staf UNDP Indonesia.
(Pertemuan tahunan WWF International tahun 2012 berlangsung di atas hotel terapung SS Rotterdam).
Sayangnya, saya justru tak punya waktu untuk hadir dalam pertemuan tahunan di Brazil dan Zambia, walaupun mas Kemal sebagai ketua telah meminta saya mewakili Badan Pengurus dalam pertemuan tersebut. Namun karena kesibukan kerja ketika itu, saya tak dapat pergi ke Foz do Iguazu di Brazil pada 2014. Pertemuan di Livingstone, Zambia pada 2016 berlangsung di bulan Ramadhan, dan jadwalnya dekat sekali dengan pertemuan tahunan Open Society di London yang harus saya hadiri sebagai Ketua Yayasan TIFA. Pengaturan perjalanan ketika itu agak rumit. Saya harus terbang dari London ke Jakarta, menginap satu malam, dan keesokan harinya harus terbang lagi ke Lusaka dalam penerbangan yang lebih dari 24 jam. Kunjungan lapang pada pertemuan tahunan itu mengunjungi 2 tempat yang ingin sekali saya datangi: air terjun Iguazu di perbatasan Brazil dan Argentina, dan air terjun Victoria di perbatasan Zambia dan Zimbabwe. Kita tak bisa dapatkan semua yang kita inginkan dalam hidup ini, bukan?
(Dua film yang menggugah minat saya untuk mengunjungi air terjun Iguazu dan Victoria).
Tugas saya yang lain adalah mewakili Badan Pengurus mendampingi staf dalam penyusunan rencana strategis. Seingat saya, saya terlibat dalam penyusunan rencana strategis WWF Indonesia 2007-2012 dan 2013-2018. Biasanya pada tahap terakhir penyusunan rencana strategis, saya diundang untuk memberikan masukan sebelum penulisan akhir. Rancangan rencana strategis itu kemudian dibawa ke dalam rapat Badan Pengurus untuk disetujui.
(Penyusunan rencana strategis WWF Indonesia di Novotel Bogor, 2012).
Dalam rencana strategis 2013-2018 terjadi perubahan besar dalam cara WWFIndonesia memandang dirinya. Bila sebelumnya penekanan berada pada keunggulan WWF sebagai organisasi Indonesia yang memiliki jaringan internasional, renstra 2013-2018 menempatkan WWF Indonesia sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil Indonesia. Oleh karena itu WWF Indonesia ingin memberikan kontribusi dalam penguatan masyarakat sipil di Indonesia, selain tentu saja sasasaran-sasaran konservasi keanekaragaman hayati yang merupakan misi pokok WWF. Ini merupakan perkembangan pemikiran yang maju. Selama itu, banyak pihak luar yang mempersepsikan WWF sebagai organisasi konservasi yang hanya mementingkan keanekaragaman hayati, tanpa mempertimbangkan faktor manusia dan masyarakat. Tentu saja persepsi ini sangat keliru.
(Earth Hour 2011 di Pagelaran Keraton Yogyakarta).
Masalah akut yang harus dihadapi oleh Badan Pengurus selama itu adalah siklus krisis organisasi yang berlangsung setiap 6 tahunan. Selalu di tahun-tahun berakhirnya periode kedua CEO yang dinilai berhasil oleh Badan Pengurus. Hal itu terjadi di tahun 2008, dan 2015. Krisis-krisis ini telah menggerus energi dan sumberdaya organisasi, menurunkan kepercayaan mitra dan juga menyebabkan kemunduran dalam pelaksanaan program WWF Indonesia.