Awal 2016, saya mendapat surel dari INTRAC mengenai program mereka yang baru Consultant for Change (C4C). INTRAC adalah koperasi konsultan yang sebagian pendirinya mantan staf Oxfam di Inggris. INTRAC menyelenggarakan pelatihan, pendampingan dan konsultansi manajemen untuk organisasi non-pemerintah bukan saja di Inggris, melainkan juga di seluruh dunia. INTRAC  merupakan model bagi pendirian Koperasi CIRCLE Indonesia. Saya mengenal beberapa pendiri INTRAC pada masa kami bekerja di Oxfam International pada tahun 90an.

Dalam surel yang saya terima, INTRAC menyatakan akan melakukan pelatihan untuk konsultan pembangunan di 5 negara: Indonesia, Kyrgiztan, Lebanon, Palestina, dan Tanzania, Negara-negara itu dipilih karena sponsor pelatihan ini, NAMA Foundation, bekerja di kelima negara tersebut. NAMA Foundation adalah sebuah Yayasan yang berpusat di Jeddah dan didirikan oleh keluarga pengusaha BinMachfouz. Kantor Yayasan itu kemudian dipindahkan ke Kuala Lumpur ketika Direktur Eksekutif Yayasan ditunjuk menjadi Duta Besar Yaman untuk Malaysia. NAMA memberikan hibah untuk proyek-proyek pembangunan yang berkelanjutan, memberikan beasiswa, dan membangun kapasitas kelembagaan organisasi masyarakat sipil di lima negara fokus mereka.

Yang menarik untuk saya, peserta pelatihan C4C itu tak harus pernah menjadi mitra NAMA. Selain itu, format pelatihan itu dalam bentuk praktik melakukan konsultansi: 3 workshops di 3 negara dengan jarak 3 bulan diantaranya, dan praktik dalam proyek konsultansi di negara masing-masing. Saya sebetulnya diminta untuk menyebarluaskan informasi ini ke dalam jaringan ornop di Indonesia. Namun waktu tengat pendaftaran saat itu sangat pendek. Bila saya tak salah ingat, saya menerima surel itu seminggu sebelum penutupan pendaftaran. Saya sempat teruskan surel tersebut ke beberapa mailing-list, dan saya mendaftar untuk ikut program itu pada hari terakhir.

Pada akhir April 2016, saya mendapat panggilan untuk mengikuti test kompetensi dan wawancara di Hotel Luwansa  Jakarta. Format seleksi ini cukup menarik. Calon peserta dipanggil dalam kelompok-4 orang,  selama satu jam pertama kelompok ini diberi kasus untuk dipecahkan bersama. Diskusi kelompok ini diamati oleh para panelis yang menilai kemampuan komunikasi dan kerjasama kami. Kemudian kami diberi test tertulis untuk menggali pengalaman kami melakukan konsultansi. Dalam istirahat makan siang, kami dapat berinteraksi secara informal dengan para panelis dan peserta lain. Terakhir, setiap calon diwawancara oleh para panelis selama 30 menit. Semua proses test kompetensi dan wawancara dilakukan dalam Bahasa Inggris.

Saya tak tahu berapa banyak yang mendaftar, dan berapa kemudian diwawancara. Dari 4 orang kelompok test saya, 3 orang termasuk dalam 8 orang yang kemudian dipanggil untuk mengikuti pelatihan. Kami adalah kelompok yang beragam dari umur, latar belakang Pendidikan, pengalaman kerja, maupun tempat tinggal. Tentu saja saya yang paling tua. Peserta Indonesia yang terpilih 2 orang berasal dari Banda Aceh (Syarifah Marlina dan Ibnu Mundzir), 2 orang dari Yogyakarta (Melina Margaretha dan saya), dan 4 orang dari Jabodetabek (Adi Wahyu Adji, Adisti Ikayanti, Irma Martam dan Revy Syahrial). Sebetulnya sebagian peserta berasal dari lingkaran yang sama. 5 orang alumni Universitas Indonesia, walaupun tidak satu Fakultas dan Angkatan yang sama. 3 orang pernah bekerja di organisasi internasional yang sama dalam rekonstruksi Aceh pasca Tsunami. Namun tak seorang pun saya kenal dan pernah bekerja bersama saya sebelumnya.

Modul pertama pelatihan itu dilaksanakan selama dua minggu di Sepang, Malaysia,  pada  Oktober 2016. Peserta pelatihan bertambah dengan staf dan konsultan NAMA dari Malaysia. Dengan demikian jumlah peserta pelatihan ini 35 orang dari 6 negara: Indonesia, Malaysia, Kyrgyzstan, Lebanon, Palestina dan Tanzania.

(Pertemuan pertama di Sepang, Malaysia. Oktober 2016)

Dalam modul pertama ini, para peserta diajak untuk mengeksplorasi ketrampilan seorang konsultan pembangunan melalui metoda  pelatihan yang sangat partisipatif dan membumi. Walaupun tak ada hal yang baru buat saya, saya mengikuti seluruh kegiatan dengan semangat karena metodologi yang sangat menarik, dan para peserta yang beragam pengalaman. Benang merah dari keseluruhan pelatihan konsultan ini adalah “Consultant with a soul”. Sebuah komitmen untuk memfasilitasi perubahan dalam organisasi sebagai bagian dari perubahan sosial. Konsultan pembangunan bukanlah tentara bayaran, melainkan seorang fasilitator perubahan yang punya komitmen dan “jiwa”.

Dalam pelatihan ini, saya punya kesempatan merefleksikan pengalaman saya sebagai konsultan pembangunan selama lebih dari 30 tahun. Refleksi itu dapat di lihat di sini <https://suara-dari-pinggiran.com/?p=832>. Para fasilitator dari INTRAC memang dapat dipujikan karena pemahaman mereka akan materi pelatihan, kekayaan pengalaman sebagai konsultan pembangunan, dan kemampuan mereka sebagai fasilitator kelompok yang pesertanya sangat beragam.

(Suasana pelatihan C4C di Sepang)

Setelah modul pertama, kami mendapat 2 penugasan tertulis dan praktik menerapan modul 1 dalam organisasi masyarakat sipil (OMS) di negara masing-masing. Saya menerapkan prinsip-prinsip yang saya dapatkan dalam pelatihan dengan membantu 2 ornop Indonesia: Yayasan Pekerti dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Saya membantu Pekerti untuk Menyusun rencana strategis mereka. Sedangkan untuk YLKI engagement saya agak panjang karena memfasilitasi pengembangan organisasi (Organization Development) mereka. Kedua konsultansi ini saya lakukan secara pro-bono.

Dalam jeda antara dua pertemuan tatap-muka, INTRAC menyediakan mentor untuk membantu para peserta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam praktik penerapan ketrampilan konsultasi yang telah dituliskan dalam rencana kerja para peserta.

(Penyusunan Rencana Strategis Yayasan Pekerti)

Pelatihan modul kedua seharusnya diselenggarakan di Istanbul pada Januari 2017, namun kemudian terjadi masalah antara INTRAC dengan NAMA. Ketika gagasan C4C dimulai, Direktur Eksekutif NAMA memberikan kebebasan yang penuh kepada INTRAC untuk mendisain program, dan melakukan rekrutmen peserta. Namun ketika terjadi pergantian Direktur Eksekutif, manajemen NAMA yang baru melihat program ini terlalu mahal, dan tidak secara langsung memberi manfaat kepada NAMA karena pesertanya tidak semua mitra kerja mereka. Dalam diskusi antara INTRAC dan NAMA, sempat ada pilihan untuk menghentikan program ini setelah modul pertama. Namun pada akhirnya INTRAC tampaknya dapat meyakinkan NAMA untuk melanjutkan pendanaan dengan melakukan beberapa pengetatan biaya. Para peserta baru mengetahui masalah ini belakangan. Yang kemudian terjadi adalah perubahan tempat dari Istanbul  ke Putrajaya, Malaysia.

Modul kedua lebih ditekankan pada pendalaman ketrampilan memfasilitasi perubahan dalam organisasi. Modul ini berlangsung lebih pendek dari modul pertama, hanya seminggu. Para peserta kemudian melanjutkan rencana kerja masing-masing yang telah diperkaya dengan mentoring dan coaching selama modul kedua.

(C4C Indonesia di Putra Jaya, Februari 2017)

Modul ketiga sebagai modul penutup diselenggarakan di Kyrgyzstan. Penekanannya pada Kerjasama di antara para konsultan dari setiap negara. Pada akhir kegiatan, kami merumuskan rencana kerja kami sebagai C4C Indonesia. Rencana kerja kami didasarkan pada analisis mengenai situasi OMS Indonesia yang kami kerjakan dalam modul 1 di Sepang. Rencana itu dimaksudkan untuk  memfasilitasi pengembangan kapasitas dan memperkuat jaringan fasilitator perubahan (change facilitators) di Indonesia Timur.

Pada pertemuan ketiga ini diselenggarakan lokakarya mengenai monitoring dan evaluasi yang sifatnya pilihan. Peserta boleh mengambil lokakarya, atau pun tidak. Namun semua peserta mengambil pilihan ini. Tampaknya alasan utama bukan karena materi lokakarya, sebagian besar peserta memiliki pengalaman melakukan pemantauan dan penilaian proyek pembangunan, namun karena suasana tempat pertemuan yang nyaman dan hubungan di antara peserta yang akrab. Tempat pertemuan itu di Issyk Kul sebuah danau air asin (saline lake) terbesar kedua di dunia setelah Danau Kaspia. Pemandangannya sangat cantik.

(Issyk Kul, Juni 2017)

Dalam pertemuan itu, kami juga sempat berinteraksi dengan ornop dari Kyrgyzstan. Tamu di meja kami adalah seorang aktifis perempuan yang sudah cukup senior. Namanya Jamilya Asanalieva. Ketika ia tahu kami dari Indonesia, Jamilya mengatakan ia mengenal Sukarno dan pernah membaca Sarinah dalam terjemahan bahasa Rusia. Ia kemudian menyanyi lagu Rayuan Pulau Kelapa dalam versi Rusia. Ternyata lagu itu pernah popular di tahun 60an ketika hubungan Indonesia dan Uni Sovyet masih sangat mesra. Kami sungguh terharu, dan percakapan dengan bantuan alih bahasa dari Kyrgyz campur Rusia ke Bahasa Inggris menjadi semakin akrab. Solidaritas bisa dibangun bukan saja karena kesamaan pengalaman dalam sejarah hidup, namun juga melalui lagu.

(Makan siang Bersama Jamilya Asanalieva. Kredit foto: Ibnu Mundzir.)

Selesai modul ketiga, C4C Indonesia masih bertemu di Bali pada Nopember 2017 untuk mentuntaskan rencana kerja kami. INTRAC memfasilitasi pertemuan itu dan mengirimkan seorang konsultan sekaligus untuk melakukan evaluasi pasca Latihan. Dalam rencana kerja kami itu, kami memformulasikan C4C Indonesia sebagai jaringan para fasilitator perubahan, kami tidak lagi menggunakan kata “konsultan pembangunan”.

Salah satu kendala dalam melaksanakan rencana kerja kami itu, kami tetap harus melakukan pekerjaan di tempat masing-masing dan sukar mengatur waktu untuk melakukan pekerjaan bersama. Walaupun begitu, dalam dua tahun pertama kami sempat mengerjakan pekerjaan bersama untuk  kegiatan fasilitasi di Sulawesi Barat dan Sumba. Kami juga pernah diminta bantuan oleh Yayasan Wafa, mitra NAMA di Indonesia, melakukan kajian terhadap Filantropi Islam di Indonesia.

Namun cita-cita untuk membangun jaringan kerja yang lebih luas seperti yang kami rancang di Issyk Kul masih belum dapat dilakukan karena kendala waktu dan biaya. Satu inisiatif awal yang rencananya didukung oleh INTRAC dan Packard Foundation, terpaksa tertunda dan kemudian batal karena pandemi Covid 19. Inisiatif itu saat ini sedang dimatangkan kembali dengan dukungan dari sebuah lembaga nirlaba dari Belanda.

Selain manfaat yang besar yang kami dapat dari akses terhadap sumberdaya INTRAC, dan perluasan jaringan dengan alumni C4C dari negara-negara lain, C4C Indonesia juga menjadi ruang aman bagi para anggotanya untuk berbagi pengalaman dan belajar bersama. Kami tetap berusaha untuk bertemu setahun sekali untuk melakukan food-based reflections, istilah yang kami pergunakan untuk pertemuan-pertemuan itu. Pertemuan terpaksa dilakukan secara daring selama dua tahun pandemi Covid 19. Tanpa food, hanya banyak food for thought!

(Pertemuan tahunan C4C Indonesia di Sabang, Desember 2019. Pertemuan terakhir formasi lengkap.)

Dalam perjalanan untuk merelisasikan mimpi besar perubahan ini, kami  kehilangan seorang kawan. Melina Margaretha, ketika itu menjabat kepala perwakilan sebuah ornop Jerman untuk Indonesia dan Filipina, berpulang tahun lalu karena sakit yang telah lama dideritanya. Rest in peace, Meli!