Gunung Merapi meletus pada 26 Oktober 2010. Letusan berlangsung selama beberapa hari, dengan puncaknya pada 3 November 2010: Merapi menyemburkan awan panas yang biasa disebut sebagai “wedhus gembel”. Secara harfiah, wedhus gembel artinya kambing berbulu lebat. Tapi dalam konteks Merapi, wedhus gembel adalah julukan untuk awan panas bergulung-gulung yang menyertai letusan gunung api itu.
Semburan ini berbeda dengan pola wedhus gembel sebelumnya, baik dari arah, jangkauan, dan kerusakan yang ditimbulkannya. Pada hari itu, lebih dari 300 orang menjadi korban, termasuk Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.
Masyarakat penduduk sekitar Gunung Merapi dan organisasi non-pemerintah (ornop) yang bekerja di kaki dan lereng tersebut sebetulnya telah memiliki kemampuan mitigasi bencana akibat erupsi. Namun kejadian pada akhir tahun itu membuat banyak orang terkejut dan terkecoh. Alasan bahwa ini adalah “letusan yang hanya terjadi 100 tahun sekali” tidak menjadi pembenar bagi kerusakan yang terjadi. Menurut BNPB, kerugian akibat letusan itu terhadap infrastruktur dan sumber penghidupan masyarakat berjumlah Rp 3,62 triliun.
Selesai masa tanggap darurat selama dua tahun, berbagai pihak dalam usaha penanggulangan bencana bertemu dan mendiskusikan hal yang harus dilakukan untuk membangun daya lenting (resiliensi) masyarakat di sekitar Merapi. Mereka mengidentifikasi perlunya upaya-upaya mendokumentasikan pembelajaran bersama, membangun repositori pembelajaran itu, dan mengkoordinasikan upaya mitigasi bencana yang sebelumnya secara terpisah dilakukan berbagai sektor: pemerintah, dunia usaha, dan ornop. Dari diskusi-diskusi informal itu, dirumuskan gagasan Konsorsium Resiliensi Merapi (Merapi Resiliency Consortium, MRC).
Untuk menjalankan gagasan ini, para inisiator yang terdiri dari Yakkum Emergency Unit (YEU), InProsula, IDEA, PKBI, BNI, BPD DIY, SGM, Danone, dan banyak ornop lainnya meminta GKR Hemas menjadi ketua. Untuk mendampingi Ibu Ratu, dibentuk Badan Pengurus Konsorsium yang terdiri dari perwakilan ornop, dunia usaha, dan pemerintah daerah.
Saya diminta menjadi Sekretaris Badan Pengurus, dan Felia Salim yang ketika itu Wakil Direktur Utama Bank BNI menjadi Bendahara Badan Pengurus. Anggota Badan Pengurus selain kami berdua adalah Arifin Panigoro, Sofia Koswara, Siddharta Moersjid, Yeni Fatmawati, Dr. Tony Prasentiantono, dan Methodius Kusumahadi. Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah juga duduk sebagai anggota Badan Pengrurus.
Badan Pengurus dibantu Badan Pelaksana yang dipimpin Sabastian Saragih. Anggota badan ini terdiri dari para relawan yang “dipinjamkan” organisasi anggota konsorsium. Beberapa nama yang aktif di Badan Pelaksana adalah Sarija Prayitno, Rinto Andriono, Imam Prakoso, Juli Nugroho dan Urip. Biaya operasional ketika itu ditanggung FAO.
MRC diresmikan dalam suatu lokakarya mengenai resiliensi terhadap bencana yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 6 April 2013.
Awalnya, aktivitas MRC merupakan kegiatan para anggota konsorsium yang dikoordinasikan penyelenggaraannya melalui mekanisme berbagi informasi. Dalam periode ini ada kegiatan “Nasi Bungkus Merapi”, kegiatan masyarakat-membantu-masyarakat yang inisiatifnya telah dimulai ketika masa tanggap bencana. Selain itu, ada berbagai kegiatan untuk membangun ketahanan terhadap bencana terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan atau tertinggal, dan membangun kembali ekonomi masyarakat selepas masa tanggap-darurat.
Kegiatan ini berlangsung selama dua tahun sampai 2015, sementara Badan Pelaksana menyiapkan sebuah rancangan kegiatan yang lebih strategis dan berjangka panjang. Proposal untuk membangun resiliensi masyarakat itu kemudian didiskusikan dengan dunia usaha untuk mendapatkan pembiayaan dari dana CSR mereka.
Awalnya, BPD Jawa Tengah-Yogyakarta dan BNI berminat mendanai inisiatif membangun sendi-sendi perekonomian masyarakat sebagai komponen penting dari daya lenting menghadapi bencana. Namun, kemudian usulan kegiatan ini tersesat dalam labirin birokrasi di kedua bank, sehingga tak pernah dapat terealisasikan secara penuh. Bagaimanapun, ada proyek-proyek kecil didanai CSR BNI berupa pengembangan ekonomi melalui Paguyuban Perempuan Sahabat Merapi (PPSM) yang kegiatannya masih berjalan sampai sekarang.
Gagasan besar MRC kemudian pelan-pelan memudar. Hal itu terjadi karena perhatian para anggota konsorsium beralih dari moda tanggap darurat ke moda business as usual. Pada 2016, GKR Hemas sempat berupaya menghidupkan kembali MRC dengan mengundang Dr. Kuntoro Mangkusubroto dalam diskusi di kantornya di Dewan Perwakilan Daerah di Senayan. Namun, batang yang telah terendam itu tak pernah terangkat kembali.
Kini, tiga teman yang menggawangi gagasan MRC ini telah berpulang. Tony Prasentiantono wafat pada Januari 2019, Juli Nugroho pada Juni 2021 dan Rinto Andriono pada November 2021. Alfatihah!