Yayasan TIFA merupakan salah satu organisasi non-pemerintah (ornop) Indonesia yang terlibat dalam formulasi Tujuan Pembangunan Global baru setelah Millennial Development Goals (MDGs) berakhir pada 2015. Sejak menjadi anggota Badan Pengurus TIFA, saya terlibat dalam inisiatif organisasi masyarakat sipil Indonesia memberi masukan kepada High Level Panel of Eminent Person on the Post-2015 Development Agenda (HLPEP) yang dibentuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
HLPEP ini diketuai bersama oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Indonesia, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris. 27 orang anggota HLPEP berasal dari perwakilan pemerintah, swasta, akademia, dan organisasi masyarakat sipil. Yang dapat dianggap mewakili organisasi masyarakat sipil adalah Tawekkal Karman, jurnalis dan aktivis HAM dari Yaman dan penerima Nobel Perdamaian 2011, Graca Machel dari Mozambique, dan Ratu Rania dari Yordania. Selain itu ada juga Abhijit Banerjee dari MIT yang kemudian mendapatkan Hadiah Nobel dalam bidang Ekonomi pada 2019. Dalam masa kerja setahun, HLPEP menyatakan telah berkonsultasi dengan lebih dari 5000 organisasi dari 120 negara, serta mendapat 850 masukan tertulis sebelum menulis laporan akhirnya pada Mei 2013.
Pada Maret 2013, HLPEP melaksanakan pertemuan terakhirnya di Bali. Saat itu, mereka memfinalkan laporan akhir dan mendedikasikan satu hari penuh untuk konsultasi dengan para pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil. TIFA termasuk ke dalam koalisi masyarakat sipil Indonesia pimpinan INFID yang menyiapkan kegiatan sampingan (side event) dan memberikan masukan kepada anggota HLPEP dalam forum multipihak maupun dalam cukup banyak side event. Hampir setiap sektor menyiapkan side event agar suaranya didengar HLPEP.
Fokus masukan TIFA ditujukan pada tata kelola (governance), termasuk partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam pelaksanaan dan pemantauan Sustainable Development Goals (SDGs) pasca-2015. Tata kelola dan pendanaan SDGs kemudian diformulasikan dalam sasaran 16 dan 17 dalam SDGs. Dalam acara tersebut, TIFA menyelenggarakan sebuah panel diskusi yang dihadiri George Soros dari Open Society Foundation. George Soros kemudian meminta TIFA mengatur pertemuannya dengan Joko Widodo, yang ketika itu menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tampaknya Soros telah memperkirakan Jokowi akan menjadi Presiden Indonesia setahun kemudian.
Keterlibatan saya dalam SDGs kemudian berlanjut dalam United Nations General Assembly (UNGA) pada September 2015 di New York yang menyepakati Agenda 2030, yang secara umum lebih dikenal sebagai SDGs. Saya hadir mewakili Yayasan TIFA dalam momen bersejarah tersebut, bersama utusan koalisi masyarakat sipil Indonesia lainnya.
Sepulang dari New York, saya dihubungi Nurina yang saat itu kembali ke UNDP sebagai Head of Democratic Governance and Poverty Reduction Unit (DGPRU). Ia menawarkan pekerjaan menjadi konsultan pelembagaan SDGs di Indonesia. Tugas konsultan ini adalah membantu Bappenas menyelaraskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan Agenda 2030, dan memfasilitasi terbentuknya Sekretariat Nasional sebagai koordinator pelaksanaan dan pemantauan SDGs di Indonesia.
Saya menerima tawaran tersebut untuk kontrak selama 6 bulan, didanai Ford Foundation. Situasi keuangan UNDP memang telah berbeda dengan keadaan ketika saya memimpin Democratic Governance Unit (DGU) UNDP pada 2009. UNDP malah mendapat pendanaan dari organisasi non-pemerintah.
Saya bersama tiga konsultan lainnya – Setyo, Rahman, dan Ana – bekerja dengan Sekretariat SDGs di Bappenas yang dipimpin Dr. Nina Sarjunani. Kami kemudian menyisir draft RPJMN yang merupakan pelaksanaan dari Nawacita, janji kampanye Presiden Joko Widodo, dan menyelaraskannya dengan target dan indikator SDGs yang merupakan komitmen internasional Pemerintah Indonesia. Pekerjaan yang cukup memakan waktu ini dapat diselesaikan sebelum RPJMN disahkan.
Bersamaan dengan itu, kami juga membantu Bappenas menyiapkan kelembagaan untuk koordinasi dan pemantauan pelaksanaan SDGs di Indonesia. Ada beberapa pilihan yang sempat dieksplorasi: unit ini berada di bawah Kantor Staf Presiden, atau di Kantor Wakil Presiden, atau tetap di Bappenas. Saya termasuk yang mengadvokasikan agar koordinasi berada di Kantor Wakil Presiden. Saat itu, Kantor Wakil Presiden merupakan koordinator upaya pemberantasan kemiskinan di Indonesia. Selain itu, karena Wakil Presiden Jusuf Kalla hadir dalam UNGA, saya melihat dia akan lebih berkomitmen menyukseskan pelaksanaan SDGs. Namun pada akhirnya, Pemerintah memutuskan Sekretariat SDGs tetap berada di bawah Bappenas.
Hubungan saya dengan Ketua Tim Sekretariat SDGs di Bappenas berlangsung sangat baik. Begitu pula dengan tiga konsultan yang ditempatkan di Bappenas. Namun, hubungan saya dengan Christoph Bahuet, Country Director UNDP, tidak begitu baik. Satu waktu pada awal pekerjaan saya, Christoph sering meminta dibuatkan pidato dan presentasi. Permintaan ini sering saya abaikan, sampai Christoph memanggil saya ke ruangannya dan menyatakan saya tidak responsif atas permintaannya. Dalam pertemuan itu saya menyatakan dengan tegas, “Saya direkrut sebagai konsultan, bukan sebagai pembuat pidato dan powerpoint!”
Christoph mungkin terkejut karena tak pernah dalam karirnya ada pegawai inlander seperti saya. Sejak saat itu, Christoph tak pernah menyapa saya lagi. Bila bertemu di lorong kantor UNDP, dia biasanya menghindar agar tidak bersirobok. Dalam beberapa keadaan, bila sedang iseng, saya sengaja mengikuti alur perjalanannya untuk membuatnya lebih panik lagi.
Setelah kontrak saya yang enam bulan habis, baik saya maupun UNDP tidak berminat memperpanjangnya. Namun, tugas saya memang telah selesai. Sampai sekarang, Sekretariat SDGs di Bappenas tetap berjalan dengan baik, dipimpin Dr. Yanuar Nugroho yang pernah menjadi Deputi di Kantor Staf Presiden.