Pada akhir 2012, saya diundang memberi masukan dalam Rapat Badan Pengurus Yayasan TIFA di Bali. Narasumber lain dalam pertemuan tersebut adalah Dr. Kuntoro Mangkusubroto, yang saat itu menjabat Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Saya berbicara tentang tantangan yang dihadapi organisasi masyarakat sipil pada akhir periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut saya, keadaannya tidak begitu menggembirakan, terutama bagi organisasi non-pemerintah (ornop) pemberantasan korupsi.
Selesai pertemuan, Irman Lanti yang ketika itu Direktur Eksekutif Yayasan TIFA meminta kesediaan saya dicalonkan menjadi anggota Badan Pengurus Yayasan TIFA. Dalam waktu dekat, ada lowongan dengan berakhirnya masa kepengurusan dua anggota Badan Pengurus. Saya bersedia, akan tetapi saya ceritakan pada Irman bahwa Tri Nugroho yang menjadi Direktur Eksekutif pada 2010 pernah mengusulkan hal serupa, namun ditolak anggota Badan Pengurus karena saya dianggap tidak dikenal. Walaupun mengenal sebagian besar pendiri Yayasan TIFA, saya memang tidak pernah terlibat dalam kegiatan Yayasan TIFA. Selain itu, karena saya orang pinggiran yang tinggal di Yogyakarta, besar kemungkinan akan ditolak lagi karena “tidak terkenal”.
Pada awal 2013, Irman mengabarkan saya diundang menjadi anggota Badan Pengurus Yayasan TIFA untuk periode lima tahun (2013-2018). Saya tak tahu apa yang mengubah pendapat anggota Badan Pengurus Yayasan. Mungkin penampilan saya sebagai narasumber dalam Rapat Pengurus Yayasan di Bali meyakinkan mereka, saya patut bergabung dalam kelompok pejuang masyarakat terbuka di Indonesia. Mungkin pula ada peranan Felia Salim dalam keputusan ini. Felia yang ketika itu menjadi Ketua Badan Pembina, baru saja meminta saya terlibat dalam Tim Ahli Reformasi Birokrasi di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB). Felia bersama Natalia Soebagjo dan Erry Riyana Hardjapamekas duduk dalam Tim Pemantau Independen Reformasi Birokrasi.
Sejak pertama kali saya menghadiri Rapat Badan Pengurus Yayasan TIFA, Yuli Ismartono yang ketika itu Ketua Badan Pengurus selalu meminta saya memimpin rapat. Alasan Mbak Yuli, sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Tempo Bahasa Inggris, rapat Badan Pengurus yang biasanya pada awal minggu selalu bersamaan dengan tenggat penerbitan. Sehingga, perhatiannya selalu terpecah dengan proses penyuntingan akhir terbitan Tempo Bahasa Inggris pada minggu itu. Yang sama sekali tidak saya ketahui, Mbak Yuli sebetulnya mempersiapkan saya menjadi Ketua Badan Pengurus. Ketika masa kepengurusan Mbak Yuli berakhir pada 2014, anggota Badan Pengurus secara aklamasi menunjuk saya menjadi Ketua. Tak ada kompetisi, tak ada proses pencalonan dan perdebatan. Saya bahkan tidak diberi pilihan untuk menolak!
Tugas Badan Pengurus Yayasan yang paling penting ketika itu adalah menyetujui rencana tahunan dan proposal hibah dari mitra. Rencana kerja tahunan disusun berdasarkan perkiraan penerimaan tahun itu, sebagian besar dari Open Society Foundation (OSF), dan disetujui pada awal tahun anggaran. Rencana tahunan itu mengalokasikan hibah Yayasan TIFA kepada mitra, serta rencana pengeluaran untuk biaya kantor dan administrasi (overhead). Badan Pengurus selalu menjaga agar overhead tidak melebihi 20 persen dari Anggaran Tahunan. Badan Pengurus juga selalu berusaha agar Yayasan TIFA tidak tergantung kepada OSF, yang ketika itu mendanai kurang lebih 80 persen anggaran tahunan. Proposal hibah disiapkan staf Kantor Eksekutif Yayasan dengan bantuan tim ahli untuk setiap program: penguatan rule of law dan hak-hak asasi manusia, kebebasan informasi, demokrasi, dan pembangunan.
Setelah menjadi ketua Badan Pengurus, saya lebih intensif berinteraksi dengan staf Kantor Eksekutif. Pada saat itu saya melihat tak ada sinergi dalam program TIFA. Setiap program seperti satu silo yang tidak berhubungan dengan program lain. Penyusunan rencana tahunan adalah tarik-menarik (tug of war) antarstaf demi mendapatkan alokasi terbesar untuk programnya. Alokasi anggaran merupakan hasil konsensus di antara para manajer program, bukan hasil penilaian terhadap prioritas kebutuhan untuk mempertahankan dan memperluas ruang demokrasi melalui promosi dan praktik masyarakat terbuka.
Hibah dari Yayasan TIFA juga melanggengkan ketergantungan mitra penerima hibah. Ada beberapa lembaga yang telah menjadi mitra sejak awal Yayasan TIFA berdiri, dan sepanjang 15 tahun tak ada penilaian sistematis yang menunjukkan peningkatan kapasitas mitra tersebut. Hibah bahkan melanggengkan patronase dari staf Yayasan TIFA kepada mitra-mitra terpilihnya.
Masalah lainnya, berkaitan dengan yang di atas, adalah buruknya manajemen hibah. Salah satu indikatornya adalah backlog dari penutupan hibah (grant closure). Setiap tahun ratusan hibah, pada 2015 jumlahnya 179 hibah, yang belum menyelesaikan laporannya. Beberapa di antaranya telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pada dekade awal pendirian Yayasan TIFA, hal ini tidak dipermasalahkan OSF sebagai donor utama. Namun, hal ini kemudian selalu menjadi isu dalam komunikasi antara OSF dan manajemen TIFA.
Masalah yang paling besar pada saat itu adalah tidak harmonisnya hubungan antara Direktur Eksekutif dengan para Manajer Program. Sebetulnya masalah ini juga pernah terjadi pada Direktur Eksekutif sebelumnya. Karena Direktur Eksekutif datang dari luar, sering ada resistensi dari staf yang sudah ada sejak awal pendirian Yayasan TIFA dan punya rasa kepemilikan sangat besar terhadap organisasi. Tri Nugroho, Direktur Eksekutif sebelumnya, memiliki kepribadian yang berbeda dengan Irman, sehingga ia dapat mengatasinya dengan membangun mutual trust dengan staf kantor eksekutif. Tri dapat menjalankan manajemen organisasi dengan dukungan para manajer program, walaupun tidak banyak mengubah budaya organisasi yang sudah berurat akar. Irman melakukan pendekatan yang berbeda, sehingga menimbulkan resistansi besar dari staf.
Tugas saya yang pertama sebagai anggota Badan Pengurus adalah menyusun alat evaluasi kinerja Direktur Eksekutif yang obyektif. Sebelumnya, evaluasi kinerja dilakukan secara kualitatif. Dalam budaya ewuh-pekewuh yang juga menjangkiti organisasi masyarakat sipil Indonesia, banyak hal tidak terungkapkan dalam model evaluasi tersebut. Karena Irman dan saya pernah bekerja di Organisasi Pembangunan PBB (UNDP), dan saya pernah mengevaluasi kinerja Irman di sana, kami sepakat mengembangkan evaluasi kinerja manajemen dengan memodifikasi alat UNDP. Berdasarkan itu, ada 3 sasaran yang harus dicapai Irman pada tahun anggaran mendatang: lebih fokusnya program Yayasan TIFA, mempertahankan sumber pendanaan beragam, dan lebih kuatnya staf kantor eksekutif sebagai satu tim. Kami juga bersepakat tentang indikator-indikator pencapaian untuk setiap sasaran. Saya meminta Irman mengembangkan evaluasi kinerja untuk semua staf yang melapor langsung kepadanya: 4 manajer program, 1 manajer keuangan, dan 1 manajer kantor.
Sementara itu, OSF sebagai sumber pendanaan utama Yayasan TIFA juga sedang berbenah. Organisasi yang selama itu agak longgar, informal, dan sangat terdesentralisasi mulai lebih terstruktur sejak Chris Stone menjadi Presiden dan CEO OSF pada 2012. Chris Stone sebelumnya adalah profesor Harvard Law School. Salah satu reformasi yang dijalankan adalah merasionalisasi program dan memperketat pengambilan keputusan mengenai hibah. Sebelum Chris Stone menjadi CEO, misalnya, OSF memiliki 70 program dan kantor di Asia yang tidak berhubungan satu sama lain. Sejak 2014, seluruh program dan kantor-kantor OSF yang ada di Asia dikonsolidasikan dalam satu tangan: Direktur Asia dan Pasifik yang berkedudukan di New York. Kantor Regional Asia Pasifik ini kemudian dipindahkan ke Singapura. Hal yang sama juga terjadi pada kawasan dunia lainnya: Afrika, Latin Amerika, Eropa dan Timur Tengah.
Salah satu akibat perubahan OSF, Yayasan TIFA harus memperbaiki kinerja manajemen hibahnya. Hibah OSF tidak dapat lagi dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Sebelumnya, TIFA selalu mendapat hibah antara USD 3-4 juta tiap tahun. Pada tahun anggaran 2015, OSF memotong hibah kepada Yayasan TIFA dari USD 3,5 juta menjadi USD 2,6 juta, atau berkurang lebih dari 25 persen. Sementara itu, upaya penggalian dana di dalam negeri dan sumber pendanaan non-OSF juga tidak begitu berhasil. Keadaan ini menyebabkan struktur anggaran TIFA pada tahun anggaran tidak ideal. Tiga hal terjadi dalam waktu bersamaan: Jumlah anggaran menurun, ketergantungan kepada OSF meningkat, dan proporsi biaya overhead melebihi pagu ideal 20 persen, bahkan melampaui 40 persen. Hal yang terakhir itu terjadi karena gaji staf Yayasan TIFA memang lebih tinggi dibandingkan dengan ornop lainnya. Itu tidak menjadi masalah ketika anggaran program yang dikelola masih cukup besar. Namun, jumlah staf yang banyak dengan gaji tinggi menjadi masalah ketika jumlah dana hibah berkurang banyak.
Sementara itu, kekompakan di antara staf belum terbentuk. Sebuah kondisi yang tidak membantu untuk mengatasi masa-masa sulit. Dalam evaluasi kinerja tengah tahun, saya memberi catatan pada pencapaian sasaran kinerja Direktur Eksekutif, terutama pada sasaran kedua: penggalian dana non-OSF, dan sasaran ketiga: team building.
Masalah ini didiskusikan dalam beberapa Rapat Badan Pengurus Yayasan. Ada tiga skenario sebagai jalan keluar yang didiskusikan. Skenario pertama: business as usual, pengurangan dana hibah dari OSF dibagi rata di antara semua program. Skenario kedua: refocusing, pengurangan dana hibah dari OSF hanya ditujukan kepada satu program yang kurang prioritas. Kebetulan karena formula alokasi dana sebelumnya, rata-rata alokasi anggaran per program lebih-kurang USD 500-900 ribu. Sehingga pengurangan dana hibah dapat dipergunakan untuk menutup satu program saja. Skenario ketiga: clean slate, menghentikan semua staf di kantor eksekutif lantas memulai program dan staf dari awal lagi.
Sebagian besar anggota Badan Pengurus lebih cenderung untuk memilih skenario dua, hanya menutup satu program, dan dengan demikian juga menghentikan dua orang staf pengelola program. Saya termasuk anggota Badan Pengurus yang mengadvokasikan skenario ketiga. Pertimbangan saya, banyak masalah struktural Yayasan TIFA akan tetap tinggal dalam dua skenario yang lain. Terutama budaya silo dan patronase, yang tak akan dapat diubah melalui perubahan bertahap. Selain itu, Yayasan TIFA tidak bisa menjustifikasi penggunaan 40 persen anggaran hibah untuk biaya overhead. Dana pesangon staf TIFA untuk skenario tiga memang akan sangat besar, tetapi itu hanya dikeluarkan satu kali saja.
Akhirnya Badan Pengurus sepakat reformasi Yayasan TIFA akan dilakukan secara bertahap. Staf juga akan dikonsultasikan melalui pertemuan terbuka (town hall meeting) tentang langkah-langkah mendatang. Dengan begitu, staf memahami dan terlibat dalam proses perubahan ini.
Langkah-langkah yang kemudian dilakukan adalah: Pertama, menutup satu program dalam tahun anggaran 2016. Kemudian, staf diberi pilihan berhenti dengan insentif yang menarik (golden handshake). Saya berhasil mendapatkan dukungan dari OSF untuk menyusun skema insentif yang menarik bagi staf. Salah satu di antaranya adalah staf mendapatkan pesangon penuh walau mengundurkan diri. Ini tidak ada dalam Perjanjian Kerja Bersama ketika itu, staf tak akan mendapatkan pesangon bila mengundurkan diri.
Insentif ini sangat menarik untuk teman-teman staf yang memang sudah tidak betah bekerja dalam suasana kerja tidak nyaman, maupun mereka yang memiliki prospek bekerja di tempat lain. Dari 22 staf Yayasan TIFA ketika itu, 2 orang diberhentikan karena programnya berakhir, dan 17 orang memilih mengambil golden handshake. 3 orang staf diminta tetap tinggal paling tidak selama satu tahun untuk menjamin keberlanjutan. Mereka yang tinggal adalah Manajer Monitoring dan Evaluasi, Manajer Keuangan, dan Manajer Kantor.
Pada tahun anggaran 2017, Yayasan TIFA mengubah fokus programnya, merestrukturisasi Kantor Eksekutif, dan merekrut Direktur Eksekutif baru.
Perubahan besar Yayasan TIFA dapat terjadi karena beberapa hal.
Yang pertama dan terutama adalah komitmen dan kekompakan Badan Pengurus. Pada mulanya memang ada perbedaan pendapat dalam melihat ancaman maupun solusi terbaik untuk organisasi. Akan tetapi setelah beberapa pertemuan yang intensif, pendapat pengurus mengerucut pada satu pilihan, dengan beberapa langkah taktis yang lentur dengan perkembangan situasi. Ketika pilihan telah diambil, maka seluruh anggota Badan Pengurus terlibat dalam mengkomunikasikannya kepada staf, dan bersama-sama pula meluangkan waktu menjalankan langkah-langkah yang telah disepakati.
Yang kedua adalah persetujuan dari staf. Sejak awal, Badan Pengurus menyatakan hak-hak staf sebagai karyawan akan dihormati. Selain itu, Badan Pengurus juga bersedia memberikan referensi baik bagi staf yang membutuhkannya. Secara bergurau seorang staf mengatakan Badan Pengurus berhasil melakukan belah bambu alias “divide and rule”, tetapi menurut saya Pengurus berhasil meyakinkan staf bahwa Yayasan TIFA memang memerlukan perubahan bila tidak mau punah seperti dinosaurus. Sementara, golden handshake membantu staf masuk ke dalam masa transisi ke pekerjaan lainnya di luar TIFA.
Yang terakhir, dan bukan yang kurang penting, tentu saja dukungan dari mitra Yayasan TIFA. OSF bersedia menanggung seluruh ongkos perubahan ini. Mitra program dan penerima hibah memberi kepercayaan dan ruang bagi Yayasan TIFA untuk melakukan transisi programnya menjadi lebih terfokus, dengan orang-orang baru, dan aturan main baru.
Tanpa ketiga hal tersebut, perubahan radikal Yayasan TIFA tak dapat dilakukan dalam waktu tiga tahun. Waktu akan membuktikan apakah pilihan dalam satu momen sejarah organisasi ini adalah yang terbaik dari semua pilihan dan kendala yang ada.
PS: Tulisan ini dalam bentuk yang berbeda pernah dimuat dalam buku 20 Tahun Yayasan TIFA.