Selama menjadi Sekjen Transparency International (TI) Indonesia, selain dengan Nurina dari UNDP, saya juga sering bertemu dengan Joel Helmann dari Bank Dunia (World Bank/WB). Joel adalah profesor di Universitas Harvard yang menyambi menjadi pegawai WB di Indonesia. Posisinya ialah Task Team Leader (TTL) – padanannya di UNDP adalah Head of Unit – untuk isu tata kelola pemerintahan dan antikorupsi.

Saya sering berdiskusi dengan Joel mengenai berbagai isu korupsi dan meminta pendapatnya mengenai program antikorupsi di Indonesia. Joel juga pernah meminta bantuan saya untuk mengundang ornop antikorupsi Indonesia mendiskusikan rancangan kebijakan antikorupsi Bank Dunia. Joel tahu kalau Bank Dunia yang mengundang, banyak ornop Indonesia tak mau datang.

Saya terima permintaan Joel dengan syarat saya yang menentukan agenda dan peserta. Dia juga harus siap kalau dalam pertemuan itu dia habis dicerca para peserta. Dia setuju dengan syarat itu, dan pertemuan berlangsung di kantor TI Indonesia di Jalan Senayan Bawah. Dana untuk pertemuan itu disediakan oleh TI Indonesia, bukan Bank Dunia. Dengan begitu, TI tetap dapat mempertahankan independensinya.

Ketika saya menjadi Kepala Unit Democratic Governance di UNDP, Joel digantikan oleh Douglas Ramage, seorang pakar mengenai Islam Indonesia. Disertasi PhD Doug di University of Southern California kemudian diterbitkan Routledge dengan judul “Politics in Indonesia: Democracy, Islam and Politics of Tolerance” pada 1996. Pak Sudibyo Markus dari PP Muhamaddyah, seorang teman baik Doug, sering bergurau dan menyebut Doug sebagai agen Muhammadyah di Bank Dunia. Hubungan saya dengan Doug juga cukup baik. Kami sering saling mengundang dalam acara-acara yang diadakan masing-masing lembaga.

Pada awal 2011, Muhammad  Arief, Communication Officer WB yang baru saja pindah dari Jakarta ke Washington DC, mengontak dan menyatakan posisi Doug akan segera kosong. Ia membujuk saya mendaftar. Saya kemudian mendaftar karena menduga posisi yang lowong itu adalah posisi Governance and Anti-Corruption (GAC). Yang tidak saya ketahui, Joel dan Doug adalah TTL untuk GAC dan External Relations (EXT). Pada akhir 2010, posisi itu dibagi dua dan rekrutmen dilakukan secara bersamaan. Posisi GAC kemudian ditawarkan kepada Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Posisi EXT ditawarkan kepada saya.

Saya baru mengetahui hal ini menjelang penandatanganan kontrak kerja pada bulan Maret 2011. Pesan moral cerita ini ialah baca baik-baik iklan lowongan pekerjaan sebelum mendaftar! Jangan asal tubruk saja.

Tim EXT lengkap berkumpul di ruangan saya. Kalau tak salah ini ulang tahun Hana.

Country Director WB di Indonesia, Stefan Koeberle, ingin saya segera mulai bekerja pada bulan Maret itu. Namun, birokrasi WB di Washington DC memerlukan waktu beberapa bulan untuk memproses saya menjadi staf tetap. Mungkin Stefan membaca keraguan saya untuk bekerja dengan WB, sehingga dia meminta saya untuk menjadi konsultan jangka pendek terlebih dahulu sampai urusan birokrasi selesai. Surat penugasan saya dari kantor pusat WB baru keluar pada 1 Juni 2011. Saya juga diminta segera datang ke Kantor Pusat WB di Washington DC untuk orientasi.

Bertemu Sri Mulyani yang ketika itu menjadi Managing Director Bank Dunia, Juni 2011.

Tugas saya sebagai TTL EXT dapat dikelompokkan ke dalam 4 bagian: merencanakan dan melaksanakan strategi komunikasi eksternal WB di Indonesia; menjadi penasihat bagi manajemen senior di Indonesia dan kantor Wakil Presiden Asia Timur di Washington DC mengenai konteks dan resiko bagi program WB di Indonesia; membangun hubungan yang baik dengan para pemangku kepentingan WB di Indonesia; dan menjadi juru bicara kebijakan WB di Indonesia.

Dari Doug saya mewarisi tim EXT yang cukup solid. Ada tujuh staf program yang bekerja dalam tim EXT, dan dua staf pendukung yang dibagi bersama unit-unit lain. Tim komunikasi di Indonesia termasuk besar untuk ukuran kantor perwakilan WB, karena kantor WB di Indonesia adalah kantor terbesar di luar Washington DC.

Saat itu, saya melapor kepada dua orang: Country Director WB di Jakarta dan EXT Manager di kantor Wakil Presiden Asia Timur di Washington DC. Hubungan saya dengan Stefan Kouberle yang ketika itu menjabat Country Director sangat baik. Setiap bulan Stefan meminta saya datang ke kantornya untuk memberikan kabar terbaru tentang politik dan ekonomi Indonesia. Dia juga bersedia menjalankan rencana saya untuk reaching out ke organisasi masyarakat sipil Indonesia.

Acara Bakti Masyarakat Kantor Bank Dunia di Indonesia, Subang, Juni 2011.

Saya memformalkan satu kelompok penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh bisnis dan ornop Indonesia. Pembentukan kelompok informal ini dimulai oleh Doug. Saya membuatnya lebih terstruktur dengan menjadwalkan pertemuan rutin Stefan dengan mereka dalam suasana informal, biasanya dalam bentuk makan malam di tempat yang nyaman. Dalam forum itu, setiap orang dapat berbicara bebas mengenai persoalan-persoalan politik dan pembangunan ekonomi Indonesia. Saya biasanya menjadi moderator, dan menekankan mengenai Chatham House Rules, yakni setiap orang dapat berbicara bebas dan pendapat dalam diskusi itu tak akan dikutip dalam dokumen-dokumen resmi.

Pertemuan itu bertujuan agar manajemen senior WB di Indonesia mendapat masukan dari berbagai pihak, termasuk mereka yang kritis terhadap WB, bukan hanya dari mitra pemerintah dan kontraktor proyek WB.

Dalam kurun waktu itu, Stefan juga saya minta untuk berbicara di Universitas Muhammadyah Malang dan bertemu dengan Kyai Salahuddin Wahid di Pesantren Tebu Ireng. Selama di Tebu Ireng, kami sempat melihat fasilitas pendidikan di pesantren dan ziarah ke makam Gus Dur.

Tim Indonesia dalam pertemuan EXT se-Asia Timur di Hua Hin, 2011.

Tentu saja bekerja dengan WB, lembaga yang dianggap sebagai penganjur pembangunan ekonomi neoliberal dan penyebab krisis ekonomi di Indonesia, ada risikonya. Saya mulai dijauhi teman-teman ornop. Dalam satu pertemuan dengan INFID, Don Marut yang ketika itu menjadi Direktur Eksekutif INFID menyatakan secara terbuka, “Mas Rizal berada dalam posisi yang berseberangan dengan kami!” Saya menanggapinya dengan bergurau, “Tidak, kita tidak berseberangan. Kita duduk sejajar!” Kebetulan memang kami duduk di meja yang sama.

Berada di dalam organisasi sebesar WB, saya juga melihat organisasi ini bukan sebuah monolit. Banyak pendapat yang saling berbenturan di dalamnya, dan ia terus menyesuaikan diri dengan kritik terhadapnya. Banyak pula usaha telah dilakukan untuk mengubah Bank Dunia menjadi organisasi yang lebih progresif. Namun, sebagai birokrasi raksasa memang WB sukar berubah dalam orientasi ideologinya selama para pemegang saham terbesar, terutama Amerika Serikat, masih menganut paham pembangunanisme. Bank Dunia tidak mungkin akan mencapai misinya memberantas kemiskinan di dunia dengan cara yang dilakukannya saat ini. Bahkan programnya mungkin malahan menambah kesenjangan sosial dan memperparah kemiskinan.

Melihat keadaan seperti itu, saya yakin satu pribadi seperti saya tak mungkin dapat mengubah organisasi sebesar Bank Dunia. Terlebih lagi, saya kemudian harus menjadi juru bicara untuk  kebijakan pembangunan yang saya yakini keliru. Setelah enam bulan menjadi pegawai tetap Bank Dunia, saya mengatakan kepada Stefan saya tak dapat menjalankan tugas sebagai juru bicara kebijakan Bank Dunia di Indonesia. Saya mungkin tetap dapat menjadi penasihat yang kritis dan terus terang, namun karena tugas saya itu satu paket dengan tugas-tugas yang lain, saya merasa tidak cocok sebagai TTL EXT. Saya mengajukan surat pengunduran diri sebagai staf Bank Dunia pada akhir November, efektif mulai berlaku 30 hari kemudian, 31 Desember 2011.

Acara perpisahan dengan Tim EXT, 22 Desember 2011..

Namun, Stefan masih berusaha menahan saya. Kebetulan pula, Mas Amien sedang mencari STC untuk programnya bersama KPK. Saya kemudian pindah menjadi konsultan GAC yang diperbantukan untuk KPK. Tugas saya membantu Biro Penelitian dan Pengembangan KPK melakukan pemetaan korupsi politik dan memberi masukan bagi strategi pencegahan korupsi. Ini pekerjaan yang sangat saya sukai.

Saya melakukan pekerjaan itu sampai akhir 2012. Untuk melakukan penelitian dan pemetaan korupsi itu, saya dibantu oleh 2 orang teman baik yang merupakan anggota DPR RI. Seorang dari Fraksi PKS, dan seorang lagi dari Fraksi Golkar. Dengan bantuan mereka, asisten peneliti saya dapat masuk ke jaringan informal yang bekerja di koridor, kantin, dan masjid di Senayan. Hasil penelitian itu kemudian saya presentasikan di muka pimpinan lengkap KPK dan teman-teman dari Deputi Pencegahan Korupsi pada November 2012. Hasil kajian ini tidak dipublikasikan dan kini tersimpan di arsip KPK.

Acara keluarga EXT di Sentul, Mei 2011.

Sebetulnya saya senang sekali bekerja dengan tim EXT kantor WB di Indonesia. Kami adalah tim yang solid, sangat profesional, tapi sekaligus sangat informal. Hubungan kami tidak saja dalam pekerjaan, namun juga melibatkan keluarga dengan banyak acara makan bersama.

Ketika saya meninggalkan WB, mereka mengatakan pengganti saya membuat hidup mereka seperti di neraka, dan sampai hari ini mereka selalu menyalahkan saya untuk penderitaan itu! Tentu saja mereka terlalu melebih-lebihkan. Siapa orang yang pernah ke neraka dan kembali ke dunia untuk menceritakan pengalamannya?