Dari semua pekerjaan saya, PKBI dan Oxfam adalah organisasi tempat paling lama berlabuh. Ada kemiripan antara dua organisasi itu yang membuat saya betah.

Yang pertama, keduanya memiliki landasan ideologi yang kuat. Ketika istilah social justice warrior alias SJW belum memiliki konotasi buruk seperti sekarang, menjadi pejuang keadilan sosial adalah cita-cita banyak anak muda yang kemudian bergabung dengan PKBI dan Oxfam.

Yang kedua, suasana kerja yang penuh kekeluargaan. Bukan saja hubungan antarrekan kerja seperti keluarga, namun keluarga juga terlibat dalam berbagai acara organisasi. Sebelum kata work-life balance populer, kami sudah menjalankannya di PKBI. Ini juga kemudian saya bawa ketika bekerja untuk Oxfam. Suasana ini yang membuat kami semua susah move on walaupun tidak bekerja lagi dengan Oxfam.

Pra CIRCLE: pertemuan keluarga Oxfam di Padokan, 2000.

Ada beberapa sebab tim yang bekerja bersama saya di Oxfam pada tahun 1998-2002 susah move on. Kecuali beberapa teman yang lahir dan besar di Jogja, sebagian besar dari kami mengambil keputusan untuk bekerja dan tinggal di Jogja. Oxfam hanya sarana untuk tinggal di Jogja. Dalam satu pertemuan Oxfam, saya pernah ditanya mengapa saya bergabung dengan Oxfam. Sang penanya berharap saya akan menjelaskan mengenai keunggulan Oxfam dibandingkan dengan organisasi pembangunan internasional lainnya. Tapi tidak, saya jawab, “Because Oxfam is there!

Kalau waktu itu kantor Oxfam bukan di Jogja, mungkin sekali saya tak akan pernah mendaftar untuk menjadi pegawai Oxfam. Itu juga alasan Yohannes yang lahir di Manggarai, atau Sabastian yang lahir dan besar di Medan, untuk bergabung dengan Oxfam.

Ketika pengganti saya memindahkan kantor Oxfam kembali ke Jakarta pada 2005, beberapa teman memutuskan tidak turut serta. Beberapa lainnya, setelah beberapa saat, merasa Jakarta bukan tempat yang tepat untuk tinggal dan kemudian kembali ke Jogja. Seperti kata-kata yang tertera di dinding Teras Malioboro: “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan kenangan.”

Oleh karena itu kami para Exfam, begitu kami menyebut jebolan Oxfam, yang tinggal di Jogja selalu berkumpul bersama keluarga sebulan sekali. Teman-teman yang tinggal di luar kota, bahkan di luar negeri sekalipun, bila singgah di Jogja selalu kami pestakan. Itu hanya alasan untuk kumpul, makan enak, dan omong kosong. Dalam suasana seperti itulah gagasan untuk membuat warung kopi muncul. Membuat warung kopi kemudian menjadi obsesi kami. “Biar nggak laku, yang penting kita bisa ngumpul,” kata seorang teman.

Seorang teman lain punya gagasan yang cemerlang. “Bagaimana caranya kita bisa minum kopi dengan gratis? Kita buat usaha yang menguntungkan, kemudian keuntungannya kita pakai untuk minum kopi!” Sungguh brilian. Tapi usaha apa yang menguntungkan tanpa kerja keras?

Berbagai gagasan liar dan menantang itu, kemudian mengkristal menjadi Koperasi CIRCLE Indonesia. Sebagai layaknya sebuah koperasi, ia adalah organisasi yang mengumpulkan sumber daya anggotanya untuk tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. Karena sumber daya utama yang kami miliki adalah pengetahuan dan pengalaman bekerja pada organisasi pembangunan, maka itulah aset utama koperasi. Usaha yang dilakukan oleh koperasi adalah berbagi pengalaman itu melalui jasa konsultansi.

Ternyata ini juga bukan gagasan yang sama sekali baru. Perusahaan konsultan Schweizerische Revisionsgesellschaft lahir sebagai koperasi auditor keuangan pada 1912. Setelah merger dengan Price Waterhouse di Swiss pada 1990, cabangnya di Geneva masih dimiliki oleh koperasi karyawan. Price Waterhouse global belakangan merger dengan Coopers & Lybrand pada 1998, lantas bersalin nama menjadi PricewaterhouseCoopers.

Ketika kami mendaftarkan CIRCLE ke kantor Dinas Koperasi, petugas di sana cukup bingung. Kata dia, “Koperasi konsultan? Itu tak  ada dalam nomenklatur koperasi!” Kami kemudian didaftarkan sebagai koperasi serba usaha.

Koperasi CIRCLE Indonesia berdiri tanggal 26 Februari 2006. Empat bulan setelahnya, Jogja luluh lantak akibat gempa bumi. Oleh sebab itu, kami memusatkan perhatian pada upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa. Baru tiga tahun kemudian koperasi bisa beroperasi dan mulai memberikan pelayanan konsultansi, pelatihan, dan pendampingan.

Rapat Anggota Koperasi yang pertama di Hotel Jayakarta, 2007.

Sejak awal, kami tak mau menjadi besar. Volume pekerjaan kami sesuaikan dengan kebutuhan biaya operasional kantor plus perkiraan tabungan untuk membuat warung kopi. Beberapa tahun awal, sisa hasil usaha (SHU) koperasi ditahan dan tidak dibagikan, sebagai tabungan untuk membeli lahan serta membangun kantor. Kantor CIRCLE akhirnya selesai dibangun pada 2021, tanpa pinjaman bank atau hibah dari lembaga donor.

Kantor Koperasi CIRCLE dan Warung Kopi Sirkel de Koffie yang dibangun tanpa pinjaman bank, dan hibah dari donor. 2023.

Warung kopi “Sirkel de Koffie”, nama yang diusulkan olehPengurus agar terdengar kekinian, baru berdiri setelah kami punya kantor sendiri. Akhirnya, cita-cita untuk punya warung kopi tercapai setelah koperasi berdiri selama 15 tahun.

Rapat Anggota Koperasi CIRCLE 2022, setelah 2 tahun Rapat Anggota secara daring.

Kini warung kopi dan co-working space Sirkel itu menjadi tempat yang nyaman untuk kumpul anak-anak muda di utara Jogja. Namun keinginan kami untuk minum kopi gratis tidak terlaksana. Anggota koperasi tetap harus membayar, walaupun mendapat potongan!

Selamat ulang tahun ke-17, CIRCLE Indonesia!