Setelah meninggalkan UNDP dan kembali ke Jogja, saya berniat untuk pensiun dan melanjutkan studi strata-3 di program doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM).

Rencana studi itu sebelumnya telah saya diskusikan dengan Prof. Purwo Santoso dari Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, karena saya ingin sekali menulis disertasi mengenai rezim negara kesejahteraan di Indonesia. Ketika itu, UGM dan Universitas Oslo baru saja memulai kerja sama untuk penelitian mengenai kuasa, kesejahteraan, dan demokrasi (power, welfare and democracy) yang dipimpin Prof. Purwo Santoso dan Prof. Olle Tornquest. Tulisan berisi gagasan saya untuk disertasi itu kemudian diterbitkan Jurnal Analisis Sosial dengan judul “Demokrasi, Tata Pemerintahan, dan Kesejahteraan di Indonesia: Sebuah Kajian Awal” pada 2013.

Tulisan yang lebih ringkas dalam Bahasa Inggris terbit di platform digital para penggiat pembangunan antar bangsa Theory in Practice dengan judul “Democracy and good governance: Achieving development in Indonesia” pada 17 February 2014 http://theory-in-practice.net/?p=373.

Proposal disertasi yang tinggal jadi rancangan penelitian.

Sejak 2006, sebetulnya saya telah menjadi pengajar luar biasa di program studi Magister Kajian Amerika di Fakultas Pascasarjana UGM. Prof. Syafri Sairin, Kepala Program Studi Kajian Amerika yang saya kenal ketika kami sama-sama menjadi mahasiswa di Universitas Cornell, ingin membuat kajian Amerika di UGM tidak terlalu memusatkan diri kepada bidang humaniora saja, tetapi juga bidang-bidang ilmu sosial lainnya. Untuk itu ia mengundang para pengajar luar, baik akademisi maupun praktisi, untuk memperkaya kajian Amerika dengan wawasan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ia meminta saya untuk mengajar mata kuliah Kebijakan Sosial di Amerika Serikat. Bang Syafri, panggilan akrabnya, tahu saya telah menulis beberapa artikel populer mengenai kebijakan sosial dan punya minat besar terhadap kajian mengenai negara kesejahteraan.

Dalam kuliah Kebijakan Sosial di Amerika Serikat, saya menjelaskan naik turunnya upaya melepaskan pelayanan dasar, terutama pelayanan pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial dari ketergantungan kepada pasar (dekomodifikasi). Saya mengkontraskan kebijakan sosial Partai Republik dan Partai Demokrat sepanjang abad ke-20, dan menjelaskan tantangan yang dihadapi pemerintahan Presiden Clinton untuk menyediakan asuransi kesehatan bagi kelompok termiskin di Amerika Serikat. Kebijakan ini baru berhasil dijalankan Presiden Obama dalam periode kedua pemerintahannya, dan sering disebut sebagai Obamacare.

Bahan rujukan mata kuliah Kebijakan Sosial di Amerika Serikat, 2006-2008.

Saya diberi kebebasan sangat luas oleh Bang Syafri untuk mengajar apa saja, selama ada hubungannya dengan kajian Amerika. Setelah dua tahun mengajar Kebijakan Sosial di Amerika Serikat, saya mulai mengajar mata kuliah Imperialisme Amerika Serikat, yang judulnya diperhalus oleh pengelola program studi (prodi) menjadi Imperialisme dan Amerika.

Saya mulai mendalami topik kajian ini sejak saya tinggal di Hong Kong. Ketika itu, saya sering berdiskusi dengan Walden Bello dari Focus on the Global South mengenai konflik yang akan terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Kami melihat naiknya Tiongkok pada awal abad ke-21 agak mirip dengan naiknya Jerman yang mengancam hegemoni imperium Inggris pada awal abad ke-20. Konflik antarimperium inilah penyebab terjadinya perang dunia pertama dan kedua.

Maka, dalam mata kuliah Imperialisme Amerika Serikat saya membedah sejarah imperium Romawi, Tiongkok, Inggris, dan hal yang dapat dipelajari untuk memahami pilihan-pilihan strategis Amerika Serikat demi mempertahankan hegemoninya pada awal abad ke-21.

Untuk mata kuliah ini, saya memanfaatkan ledakan publikasi mengenai imperialisme Amerika Serikat  setelah serangan Amerika Serikat beserta sekutunya ke Irak dan Afganistan sebagai tanggapan terhadap peristiwa 11 September 2001. Setelah  kuliah pengantar mengenai pengertian imperialisme, sejarah imperialisme Romawi, imperialisme Tiongkok (dengan fokus pada Dinasti Ching), dan imperialisme Inggris, saya meminta setiap mahasiswa membahas satu buku mengenai imperialisme Amerika Serikat. Karena ada delapan mahasiswa dalam prodi ini, kelas kami membahas 8 buah buku. Buku-buku itu saya fotokopi sendiri, kemudian diberikan sebagai hadiah untuk mahasiswa peserta kelas. Hal itu saya lakukan karena kebetulan buku-buku itu belum ada di perpustakaan UGM.

Bahan rujukan mata kuliah Imperialisme Amerika, 2009.

Saya meniru metode perkuliahan seperti ini dari Ben Anderson. Ketika saya mengambil kelas Political Anthropology, dia hanya meminta masing-masing mahasiswa membahas satu buku dalam seminar di kelasnya. Bedanya, tentu saja, buku-buku dalam daftar bacaan itu bisa kami dapatkan di Perpustakaan Universitas Cornell.

Setelah kepala program studi berganti pada 2010, saya tak pernah lagi diundang mengajar di program studi Magister Kajian Amerika.

Pada 2006 pula, saya juga diminta seorang teman lama, Prof. Muhadjir Darwin, sesama penerima beasiswa BKKBN/USAID 1984, untuk mengajar mata kuliah perencanaan sosial di program studi Magister Studi Kebijakan yang baru dibuka tahun 2004. Saya diminta untuk mengajar dalam tim (co-teaching) dengan seorang dosen tetap UGM yang baru saja pulang menyelesaikan PhD di Amerika Serikat. Entah mengapa, saya tidak pernah bisa bertemu dengan dosen tersebut, yang rupanya sangat sibuk setiap kami membuat janji bertemu. Desain awal mata kuliah ini adalah dia mengajar kerangka teori perencanaan sosial, sedangkan saya mengajar praktik perencanaan sosial di pemerintah daerah dan ornop. Saya punya pengalaman menjadi penasihat Bappeda provinsi, kabupaten, dan kota, selain melaksanakan perencanaan partisipatif bersama penerima manfaat proyek-proyek ornop.

Namun, sampai saat terakhir saya tidak pernah melihat silabus yang ia ajarkan, walaupun saya telah mengirimkan bagian saya. Yang lebih aneh lagi, dia meminta saya mengajar di paruh pertama perkuliahan. Saya berbaik sangka saja, mungkin dia ingin mengajar mahasiswa berpikir induktif, dari pengalaman empirik menuju gagasan-gagasan besar perencanaan sosial.

Kegiatan mengajar bersama ini adalah pengalaman teraneh yang pernah saya alami selama  berada di perguruan tinggi. Namun kemudian saya mendengar dari banyak mahasiswa pascasarjana, UGM memang punya masalah koordinasi yang serius dalam team-teaching di banyak program studi.

Puncak acara ulang tahun ke 50 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Abaikan jabatan Sekjen TI Indonesia dalam latar belakang.

Pada bulan September 2010, almamater saya Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran,  berulang tahun ke-50.  Keluar dari tradisi yang selama ini ada dengan orasi ilmiah dari para akademisi, fakultas mengundang saya sebagai praktisi komunikasi untuk memberikan pidato Dies Natalis. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari “nepotisme” para petinggi fakultas yang kebetulan saya kenal dengan baik. Prof. Deddy Mulyana yang ketika itu menjadi dekan adalah adik kelas saya. Ketua Panitia Dies Natalis, Dr. Lili Karlinah, adalah teman seangkatan saya ketika masuk Fakultas Publisistik, sebelum berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi, pada 1974.

Terlepas dari nepotisme itu, saya melihat ini adalah kesempatan menyampaikan kepada publik kekhawatiran saya mengenai mulai surutnya ruang demokrasi di Indonesia. Saya baru saja menyampaikan kajian saya mengenai “Democratic Space in Indonesia” dalam pertemuan UNDP di Bangkok pada Agustus 2010. Dalam tulisan itu saya menulis mengenai ancaman pada konsolidasi demokrasi di Indonesia: tidak representatifnya partai politik, mahalnya pemilihan umum, lemahnya penegakan hukum, dan mengguritanya korupsi. Untuk pidato Dies Natalis itu, saya menambahkan perihal konsentrasi pemilikan media massa, terutama televisi, oleh para konglomerat yang merangkap ketua partai politik; serta praktisi komunikasi yang hanya menjadi tukang tanpa visi dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal yang terakhir itu adalah kritik terhadap almamater saya, sebuah center of excellence ilmu komunikasi di Indonesia.

Pidato dengan judul “Pendidikan Komunikasi yang Demokratis” itu saya sampaikan dalam puncak perayaan Dies Natalis Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang ke-50 tanggal 12 Oktober 2010.

Saya pada puncak karir akademis saya, 2010.

Ternyata, pensiun saya tak berlangsung lama. Pada akhir 2010, datang tawaran pekerjaan di Jakarta yang sukar saya tolak. Rancangan disertasi saya itu tak pernah jadi dituliskan. Bahkan saya juga tak pernah mendaftar menjadi mahasiswa S-3 di program studi Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada, walaupun Mas Purwo sangat mendukung dan selalu memberi semangat.

Untuk mengikuti program S-3 di UGM, ternyata saya harus mengikuti tes Bahasa Inggris, seperti TOEFL atau IELTS, dan tes potensi akademik (TPA). Terakhir saya ikut tes TOEFL pada tahun 1983, dan IELTS, syarat untuk kuliah di Inggris, pada 1994. Saya tak pernah punya waktu untuk ikut kedua tes itu sampai pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada 2020, dan tes itu dapat dilakukan secara daring.