Selama menjadi Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia, saya banyak berhubungan dengan team Governance United Nations Development Programme (UNDP). Kepala Unit Governance UNDP adalah Nurina Widagdo, yang sudah saya kenal sejak ia bekerja untuk INFID dan Bank Information Center (BIC), sebuah ornop advokasi yang berkedudukan di Washington DC. Kami kemudian sama-sama bekerja untuk Oxfam. Nurina sebagai Direktur Regional Asia Oxfam America yang berkedudukan di Phnom Penh, sedangkan saya Direktur Indonesia untuk Oxfam Inggris, kemudian sebagai Manajer Regional Oxfam Hong Kong untuk Asia Timur.
Pada pertengahan 2008, Nurina menyatakan akan meninggalkan Jakarta untuk posisi lain di Pasifik. Ia menganjurkan saya mendaftar untuk posisi Kepala Unit Governance UNDP di Jakarta yang akan segera kosong. Kebetulan setelah dua tahun bersama TI Indonesia, saya merasa sudah waktunya menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada teman-teman lain. Tim TI Indonesia sudah solid, dan keadaan keuangan TI juga cukup aman untuk beberapa tahun ke depan.
Saya mendaftar posisi tersebut, mengisi formulir data personal UN yang ribet, serta mengikuti tes dan wawancara. Saya sudah lupa siapa saja yang jadi pewawancara. Dalam panel itu pasti ada Elena Tischenko, Deputy Country Director yang kemudian akan menjadi atasan langsung saya, dan dua orang kepala unit lain. Mungkin sekali Kristanto Sinandang, Kepala Unit Disaster Management, dan Budhi Sayoko, Kepala Unit Environment. Terakhir, saya diwawancarai oleh Hakan Bjorkman, Country Director UNDP Indonesia.
Saya berhasil melalui proses seleksi itu dan diterima bekerja. Saya mulai bekerja pada 1 Januari 2009 agar dapat menyelesaikan tugas-tugas di TI Indonesia terlebih dahulu. Tentu saja UNDP bukan lembaga baru untuk saya. Selama bekerja dengan Kemitraan, yang ketika itu masih berupa proyek UNDP, saya dikontrak oleh UNDP. Begitu pula ketika saya bekerja dengan UNSFIR. Maka, saya tidak memerlukan waktu lama untuk memahami program UNDP di Indonesia.
Portofolio program Governance, kemudian saya ubah namanya menjadi Democratic Governance agar lebih mencerminkan program UNDP di Indonesia, cukup beragam. Antara lain, mendukung DPR RI meningkatkan kualitas legislasi, mendukung Mahkamah Agung dalam upaya reformasi sistem peradilan, serta menjadi koordinator para donor yang membantu perbaikan sistem pemilihan umum di Indonesia. UNDP juga bekerja dengan pemerintah daerah untuk memperkuat tata kelola pemerintahan dalam konteks desentralisasi kekuasaan di Indonesia.
Seingat saya, ketika itu program Democratic Governance di Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Anggaran yang saya kelola kurang lebih US$5 juta per tahun, sama besarnya dengan anggaran seluruh program UNDP di Filipina.
UNDP Indonesia ketika itu mengelola anggaran kurang lebih US$30 juta, sebagian besar untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami. Anggaran sebesar itu tak pernah lagi dimiliki UNDP Indonesia. Anggarannya kini mungkin hanya sepersepuluh dari itu.
Mitra utama UNDP ketika itu adalah Bappenas. Untuk program Democratic Governance, mitra saya di Bappenas adalah Ibu Siliwanti, Direktur Politik dan Komunikasi, dan Ibu Diani Sadiawati, Direktur Hukum dan Perundang-undangan. Mereka semua berada di bawah Deputi Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Pak Bambang Sutejo. Pak Bambang, seorang Mayor Jendral TNI purnawirawan, adalah ketua tim pengarah semua program yang saya kelola.
Karena juga bekerja dengan Sekretaris Jenderal DPR-RI, Mahkamah Agung, Komisi Pemilihan Umum, dan Kementerian Dalam Negeri, kami pun memiliki unit-unit kerja yang diperbantukan pada lembaga-lembaga tersebut.
Tim Democratic Governance ketika itu cukup besar. Ada 3 Manajer Program yang melapor langsung kepada saya: Irman Lanti, Leonard Simanjuntak, dan Siprianus Batesoro. Di bawah mereka ada beberapa program officer dan direktur proyek. Seingat saya ketika itu ada kurang lebih 20 orang yang bekerja di kantor UNDP Indonesia di Menara Thamrin, termasuk staf pendukung. Saya juga mewarisi dua orang penasihat senior dari Nurina: Profesor Sofian Effendi dan Mas Achmad Santosa. Selain itu ada kurang lebih 100 orang staf proyek yang tersebar di empat kantor proyek di Jakarta, Banda Aceh, dan Gunung Sitoli.
Dalam berbagai pertemuan regional atau global UNDP, teman-teman dari negara lain biasanya cukup takjub melihat skala program dan personel UNDP Indonesia. Pada banyak negara, tim Democratic Governance jumlahnya bisa dihitung dengan jari pada satu tangan. Banyak pula pekerjaan mereka hanya berupa riset kebijakan dan advokasi.
Tentu saja skala program itu dimungkinkan karena pada tahun-tahun itu Indonesia masih dianggap seksi sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Gelombang ketiga demokratisasi sedang berada pada puncaknya. Setelah itu, indeks demokrasi Indonesia terus turun, berbarengan dengan indeks persepsi korupsi yang ikut merosot. Keduanya berita buruk untuk para penggiat demokrasi dan antikorupsi.
UNDP dan juga lembaga-lembaga PBB lainnya sering dikritik karena birokratis dan sukar berubah. Berbagai inisiatif reformasi telah dilakukan, namun hasilnya tidak begitu menggembirakan. Dalam satu periode, Pemerintah Amerika Serikat pernah menahan iurannya untuk PBB karena persoalan ini.
Budaya birokrasi jumud ini menyebabkan orang-orang yang bertahan lama di dalam sistem itu adalah konformis. Yakni, mereka yang bersedia menerima nilai-nilai dan cara kerja birokratis. Tidak lama setelah bekerja, saya mulai bergesekan dengan atasan langsung saya, Elena. Elena adalah seorang Rusia yang besar dalam sistem birokrasi Uni Soviet. Dia sangat cocok dengan sistem birokrasi UNDP yang terpusat dan top-down. Saya besar di dunia ornop yang menekankan pada inisiatif individual dan inovasi yang sering menabrak aturan-aturan baku. Beberapa kali saya harus beradu pendapat dengannya. Sebagian besar dari perdebatan kami itu tidak substansial, hanya prosedural.
Puncaknya pada awal April 2010. Saya sedang cuti karena menghadiri pertemuan WWF Asia Pasifik di Hong Kong. Ketika itu saya telah menjadi anggota Badan Pengurus WWF Indonesia (akan saya ceritakan di bagian lain). Elena meminta saya membatalkan cuti dan menghadiri satu pertemuan dengan Bappenas di Jakarta pada keesokan harinya. Saya lupa apa persisnya pertemuan itu, namun pasti ada hubungannya dengan program desentralisasi yang dikelola Leo Simanjuntak.
Saya mengatakan pada Elena, tak mungkin saya kembali ke Indonesia karena sedang di luar negeri. Selain itu, saya percaya Leo dapat mengelola acara yang akan dihadiri Elena dan para petinggi Bappenas itu. Elena marah karena menurut dia seharusnya saya hadir mendampingi dia dalam acara tersebut, dan tersinggung karena saya tidak minta izinnya untuk pergi ke luar negeri. Saya mengatakan cuti saya ditandatangani olehnya, dan saya tak punya kewajiban memberitahukan kegiatan saat cuti. Saya hanya wajib memberikan nomor kontak bila perlu dihubungi dalam keadaan darurat.
Pembicaraan kami kemudian menjadi panas dan salah satu dari kami, mungkin sekali saya, menutup telepon sebelum lawannya selesai bicara.
Dua hari kemudian saya kembali ke Jakarta dan mengirimkan surat pengunduran diri. Saya tak bisa lagi bekerja sama dengan Elena. Saya mengakhiri pekerjaan di UNDP pada 30 Juli 2010, hanya bertahan 19 bulan.
Elena kemudian terus naik dalam birokrasi UNDP. Ia menjadi Country Director UNDP di Kamboja, dan kemudian menjadi salah satu kepala divisi di kantor pusat UNDP di New York sampai pensiun pada 2022. Dia memang orang yang dilahirkan untuk menjadi birokrat, dan saya tidak.
Ketika Elena pensiun pada akhir 2022, stafnya di New York meminta foto-foto Elena selama di Indonesia. Kantor Indonesia ternyata tak punya arsip sama sekali. Mungkin karena Elena jarang berfoto, mungkin pula karena banyak orang di Indonesia ingin melupakan dia.
Saya masih akan kembali ke UNDP pada 2016. Itu pun atas permintaan Nurina, dan diakhiri pertengkaran saya dengan Country Director UNDP. Tunggu cerita lengkapnya dalam blog yang akan datang.