Pada awal 2006, mungkin bulan Januari atau Februari, Inne Silviane yang ketika itu menjabat Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), mengajak saya bertemu. Kami berjanji bertemu di Pizza Hut Blok M Plaza, yang letaknya tak jauh dari Kantor PKBI di Jalan Hang Jebat. Siang itu, Inne datang bersama Chatarina Wahyurini, yang akrab dipanggil Rini. Inne dan Rini adalah generasi pertama staf PKBI yang direkrut dari fresh graduate universitas-universitas terbaik di Indonesia.

Sebelumnya, sampai dengan generasi saya yang masuk pada 1970-1980-an, staf PKBI memulai karirnya sebagai relawan atau staf magang. Ketika ada kebutuhan dan dana tersedia, relawan ditawari menjadi staf purnawaktu. Ketika itu ada istilah relawan adalah “staf yang tidak digaji”, sedangkan staf adalah “relawan yang digaji”. Ini menunjukkan tipisnya perbedaan antara relawan dan staf. Ideologi dan komitmen staf selalu lebih penting daripada profesionalisme.

Dalam ungkapan IPPF, Federasi Keluarga Berencana Internasional tempat PKBI berafiliasi, syarat menjadi relawan KB adalah “be brave and angry”. Marah pada situasi yang tak adil, terutama untuk perempuan, dan berani mengubah keadaan dengan menabrak konvensi sosial pada saat itu.

Sejak Soetjipto Wirosardjono alias Pak Tjip menjadi Ketua Pengurus Nasional PKBI pada 1979, kerelawanan saja dirasa tidak cukup. It is necessary, but not sufficient untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dalam konteks Indonesia yang telah berubah. Pada periode awal kepengurusan Pak Tjip, nilai-nilai organisasi seperti kerelawanan, profesionalisme, dan kemandirian mulai diperkenalkan. Ini kemudian terkristalisasi dalam visi keluarga bertanggung jawab yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, kemandirian ekonomi, solidaritas sosial, dan berorientasi ke masa depan. Nilai organisasi profesionalisme masuk ke dalam aspek pendidikan, dan elemen kerelawanan masuk ke dalam aspek solidaritas sosial.

Selama hampir delapan tahun, saya adalah penulis pidato Pak Tjip untuk acara-acara PKBI. Saya bisa melihat transformasi gagasan Pak Tjip mengenai keluarga bertanggung jawab itu.

Pada awal karir Inne dan Rini di PKBI tahun 1986, saya menjadi mentor mereka yang bertanggung jawab memperkenalkan ideologi dan sistem operasi manajemen PKBI. Setelah saya meninggalkan PKBI pada 1989, kami masih terus berhubungan. Beberapa kali Inne yang kemudian menjadi Direktur Program mengundang saya untuk mengisi berbagai pelatihan ataupun menjadi narasumber dalam acara PKBI.

Ir, Inne Silviane, dr. Ramona Sari, dan Dra. Chatarina Wahyurini. Tige perempuan hebat yang memimpin pelaksanaan program PKBI dalam kurun waktu 2000 – 2015. Ketiganya kini telah berpulang.

Dalam pertemuan di Pizza Hut itu, Inne dan Rini meminta saya menjadi Ketua Pengurus Nasional PKBI. Ketika itu saya menyatakan perlu magang dulu menjadi Pengurus Nasional paling tidak selama satu periode, agar dikenal oleh cabang-cabang PKBI di seluruh Indonesia. Organisasi PKBI memang disusun seperti sebuah Partai Politik. Pengurus Cabang dan Pengurus Daerah yang memiliki hak suara. Pengurus Nasional dipilih oleh utusan cabang dan daerah dalam Musyawarah Nasional atau Kongres PKBI. Selain itu, ada tradisi Ketua PKBI menjabat selama dua periode. Ketika itu Prof. Priyono Tjiptoheriyanto baru menjabat satu periode. Namun mereka meyakinkan saya bahwa Prof. Priyono tak akan diusulkan oleh cabang.

Ketika saya kembali ke Jogja, Reni yang menjadi Pengurus Daerah PKBI Yogyakarta menyatakan Pengurus Daerah akan memilih Dr. Sarsanto Sarwono sebagai Ketua PKBI. Saya mengenal Mas Sonny, nama kecil Dr. Sarsanto, sejak tahun 1980-an. Ketika itu, Mas Sonny bekerja sebagai dokter di Wisma Pancawarga, klinik milik PKBI di daerah Menteng.

Saya hampir melupakan pertemuan di Pizza Hut sampai pada Agustus 2006, Inne menghubungi saya kembali. Dia mengatakan nama saya diajukan 25 cabang sebagai calon Ketua PKBI. Selain saya, kandidat lainnya adalah Mas Sonny yang dicalonkan 60 Cabang, dan dr. Adnan Mahmud yang pernah menjadi Direktur Daerah dan Pengurus Daerah PKBI Sulawesi Selatan dicalonkan oleh 20 Cabang. Mas Priyono, petahana ketua, tidak dapat melampaui batas minimum pencalonan. Maka, hanya ada 3 orang calon Ketua. Saya diminta hadir dalam Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta pada Oktober 2006.

Setelah melalui sedikit drama, karena masih ada cabang yang ngotot mengusulkan Mas Priyono menjadi calon dan ada tekanan agar saya mundur dari pencalonan, pemungutan suara dilakukan pada hari terakhir Munas. Suasananya memang seperti Kongres Partai, oleh karena itu PKBI sering diplesetkan sebagai Partai Keluarga Berencana Indonesia.

Dalam pemungutan suara, saya mendapat suara jauh di atas Mas Sonny dan dr. Adnan. Saya tak tahu apa yang terjadi sebelum dan selama kongres, karena saya tak pernah melakukan kampanye ke Pengurus Cabang dan Pengurus Daerah. Mas Pedro, mantan Direktur Daerah PKBI Jawa Tengah yang ketika itu datang sebagai utusan Pengurus Daerah, menuduh ada permainan dari staf PKBI yang tidak memiliki hak suara untuk menggolkan saya sebagai Ketua.

Ulang tahun PKBI ke-50, 23 Desember 2007. Pada saat itu PKBI adalah ornop Indonesia tertua dan juga terbesar, dengan jumlah cabang yang tersebar di lebih dari 250 Kabupaten dan Kota.

Dalam penyampaian visi dan misi calon ketua, saya mengemukakan agenda untuk membuat PKBI relevan bagi abad ke-21. Salah satu jalannya adalah menyesuaikan organisasi PKBI dengan realitas baru. PKBI yang dibentuk sebagai organisasi yang tumbuh dari bawah, dengan cabang-cabang yang membentuk struktur pada tingkat daerah dan nasional, perlu mempertahankan tradisi demokratisnya. Namun, ketergantungan cabang yang sangat besar kepada pendanaan dari struktur di atasnya – serta dalam beberapa kasus kepada pemerintah daerah – memerlukan orientasi baru.

Dalam pemikiran saya, cabang hanya dapat dibentuk apabila memang memiliki anggota yang membayar iuran, serta memiliki kegiatan pelayanan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi sebagai rallying point bagi anggotanya. Sebetulnya ini bukan gagasan baru. Hal ini sudah diupayakan sejak tahun 1980-an. Secara resmi, inilah syarat-syarat pembentukan cabang PKBI: ada anggota, ada kepengurusan yang dipilih secara berkala, dan ada kegiatan.

Namun dalam kenyataannya, banyak cabang hanya ada di atas kertas dan hanya aktif menjelang atau selama Munas, karena suaranya diperlukan oleh Pengurus Daerah sebagai syarat mengikuti musyawarah dan untuk memilih Pengurus Nasional. Selain itu, perjalanan mengikuti Munas merupakan kesempatan bagi cabang dan daerah untuk meminta bantuan dana dari pemerintah daerah. Pada banyak cabang dan daerah, ketergantungan kepada pemerintah daerah bahkan diwujudkan dengan cara memilih Ketua Pengurus yang merupakan Ketua PKK atau istri Kepala Daerah. Hal ini tidak selalu buruk, semisal Pengurus Daerah NTT pernah dipimpin dr. Nafsiah Mboi yang merupakan isteri Gubernur. Namun, Ibu Naf memiliki kredensial yang tinggi sebagai ketua pengurus PKBI.

Dalam rangka penggalangan dana, PKBI bekerjasama dengan Bank Mandiri membuat Reksadana.

Keadaan keuangan PKBI sebetulnya cukup baik. Pada 2006, komposisi pendanaannya adalah 40% dari usaha sendiri (Klinik dan Wisma PKBI), 30% dari IPPF, dan 30% sisanya berasal dari sumber-sumber pemerintah, baik bantuan lembaga bilateral maupun APBN dan APBD. Keadaan keuangan ini menyebabkan PKBI memiliki cukup ruang untuk mempertahankan independensinya dalam menentukan kepengurusan maupun program. Tetapi, kemampuan PKBI Daerah dan PKBI Cabang tidaklah sama. Maka, diperlukan kebijakan afirmatif untuk membantu daerah-daerah yang masih lemah. Namun, diperlukan kriteria dan jadwal yang jelas untuk naik kelas.

Pengurus Harian Nasional (PHN) dan Direktur Eksekutif PKBI dalam retreat di Bogor, 2008. Sesuai dengan persyaratan AD/ART, ada 2 anggota pengurus di bawah usia 25 tahun (22 %), dan 5 orang perempuan,(56 %) dari jumlah keseluruhan anggota PHN.

Dalam Rapat Kerja Nasional pertama yang dihadiri Pengurus Daerah dari seluruh Indonesia, saya menjelaskan garis besar rencana reformasi organisasi PKBI kepengurusan saya. Saya juga menyatakan tidak akan bersedia dipilih untuk periode kedua. Ini perlu dikemukakan untuk menunjukkan saya tidak memiliki vested interest dalam melakukan reorganisasi perkumpulan.

Hari Remaja Internasional (International Youth Day) di Lapangan Monumen Nasional, 12 Agustus 2007. Keterlibatan kaum muda dalam PKBI merupakan keniscayaan. Mereka tidak saja terlibat dalam pelaksanaan program, tapi juga duduk dalam kepemimpinan nasional dan global.

Kebetulan saya didukung secara penuh oleh Pengurus Nasional PKBI. Selain Mas Sonny yang saya dapuk sebagai Wakil Ketua, saya minta Ami Syamsidar dan Deddy Sjarief menjadi Sekretaris dan Bendahara. Kami berempat telah saling kenal lebih dari 20 tahun, dan memulai keterlibatan kami sebagai relawan muda PKBI pada tahun 1970-1980-an. Pengurus lainnya adalah para profesional dalam berbagai bidang keahlian. Sesuai dengan persyaratan AD/ART PKBI, 20% kepengurusan haruslah relawan muda di bawah 25 tahun, dan paling sedikit 50% perempuan. Saya juga mengundang teman-teman yang pernah aktif dalam Perhimpunan Mahasiswa untuk Studi Kependudukan dan Sahabat Remaja, yang sekarang telah menjadi pakar di bidangnya masing-masing, untuk menjadi anggota Panitia Ahli. Panitia ahli adalah penentu standar pelayanan dan perlindungan program PKBI.

Selama empat tahun menjadi Ketua Pengurus Nasional, saya berusaha menjaga kemandirian PKBI baik dalam pendanaan maupun dalam menentukan kebijakan organisasi. Pada periode ini juga hubungan PKBI dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), lembaga publik yang bertanggung jawab akan pemenuhan dan perlindungan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia, berada dalam tingkat yang sangat baik. Kepala BKKBN Dr. Sugiri Syarief dan Sekretaris Utama BKKBN Dr. Sudibyo Alimuso, adalah kenalan lama saya. Kami sama-sama penerima beasiswa BKKBN/USAID pada 1984. Kami juga punya visi yang sama untuk merevitalisasi program KB nasional dengan membuatnya lebih inklusif dan inovatif dalam konteks desentralisasi dan keketatan anggaran pemerintah.

Selama empat tahun itu, saya juga punya kesempatan melakukan perjalanan ke beberapa daerah untuk mengamati program dan memberi semangat kepada para relawan PKBI di daerah. Saya pun aktif dalam berbagai kegiatan tingkat regional dan global IPPF. Dalam periode inilah disepakati deklarasi mengenai hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (IPPF Charter on Sexual and Reproductive Rights), yang merupakan panduan organisasi dan program IPPF setelah melalui konsultasi yang panjang pada tingkat asosiasi anggota Federasi Keluarga Berencana Internasional.

Kunjungan ke PKBI Daerah Riau, 2009.

Namun, upaya saya melakukan reorganisasi organisasi tidak begitu berhasil. PKBI masih memiliki semangat untuk menjadi organisasi kemasyarakatan, dengan anggota yang banyak dan berada di mana-mana, daripada berubah menjadi organisasi kader yang lebih mementingkan komitmen dan kinerja. Budaya organisasi memang sukar diubah dalam waktu empat tahun.

Menjelang serah terima jabatan Ketua PHN dari saya kepada mas Sonny dalam Musyawarah Nasional PKBI, 2010.

Sesuai janji, saya tidak mencalonkan diri kembali pada Munas 2010. Sesuai pula dengan rencana saya, Mas Sonny terpilih menjadi ketua yang baru. Saya sebetulnya ingin meniru Ikatan Dokter Indonesia (IDI), wakil ketua adalah seorang president-elect. Dengan begitu ada keberlanjutan, namun masa kepengurusan seseorang dibatasi cukup satu periode saja. Sayang sekali gagasan ini tidak berlanjut di kepengurusan selanjutnya.

Saya mendapat penghargaan sebagai relawan Keluarga Berencana yang berdedikasi dari Federasi Keluarga Berencana Internasional (IPPF) pada tahun 2012. Dalam foto saya bersama Dr. Naomi Saboni, Presiden IPPF dari Botswana, dan Dr. Kamaruzzaman Ali, Ketua IPPF regional Asia dan Pasifik dari Malaysia.

Rini, Inne, Mas Sonny, dan Mona (dr. Ramona Sari, sahabat saya dan relawan PKBI sejak tahun 80an) semua telah berpulang. Semoga jasa mereka membesarkan PKBI serta memberikan pelayanan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi kelompok yang terpinggirkan mendapat ganjaran dari Yang Maha Kuasa. Aamiin.