Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia dulu berkantor di lantai 9 Gedung Surya, Jalan MH Thamrin Kav. 9. Letaknya di sebelah kantor PBB, yang sekarang menjadi kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kemitraan berbagi lantai 9 itu dengan proyek UNDP lainnya, yakni United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR). Chief Technical Advisor UNSFIR adalah Dr. Satish Mishra, seorang warga negara Inggris keturunan India, yang telah saya kenal ketika saya menjadi Kepala Perwakilan Oxfam GB di Indonesia.
Saya pernah mengundang Satish Mishra dan Dewi Fortuna Anwar dalam satu forum Oxfam International di Bali pada 2000. Dalam forum itu kami mendiskusikan transisi ekonomi dan politik selama reformasi, serta prospeknya untuk konsolidasi demokrasi di Indonesia. Saya sangat terkesan dengan pemahaman Satish mengenai ekonomi-politik Indonesia dan insight yang dia berikan dalam diskusi itu.
Ketika bekerja di Kemitraan, saya sering bertemu dengan Satish di toilet lantai 9, karena kedua kantor kami berbagi toilet bersama. Pertemuan itu biasanya berlanjut dengan diskusi lebih lanjut di koridor. Satish mengumpulkan banyak sekali tokoh pemikir dalam timnya di UNSFIR, seperti Agus Widjojo, Adrianus Mooy, Nasir Tamara, dan Prabowo.
Prabowo saya kenal ketika kami masih mahasiswa di Universitas Padjadjaran, Bandung. Prabowo kemudian melanjutkan studinya dalam bidang ekonomi di Oxford University. Ia lama bekerja di United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN ESCAP) di Bangkok, sebelum kembali pulang ke Indonesia dan bergabung dengan UNSFIR.
Saya juga pernah diundang dalam satu simposium yang diselenggarakan UNSFIR di Jakarta pada Januari 2004. Ketika itu saya sudah bekerja di Oxfam Hong Kong. Saya diminta berbicara mengenai civil society. Prosiding simposium itu diterbitkan oleh UNSFIR dengan judul Lesson from Indonesian transition: Preparing the future of reform agenda.
Dalam banyak kesempatan, Satish selalu menawarkan tempat bila saya ingin menyumbangkan pemikiran untuk membangun Indonesia. UNSFIR memang didesain sebagai think-tank, dengan tujuan memberikan saran-saran kebijakan agar Indonesia tidak kembali terjebak dalam krisis ekonomi seperti 1998. Satish melihat Indonesia memerlukan kontrak sosial yang baru untuk membuat reformasi 1998 dapat berlanjut.
Ketika kembali dari Hong Kong dan tak ada yang dapat saya kerjakan di Yogyakarta, saya segera menghubungi Satish dan menanyakan apakah ada lowongan di UNSFIR. Saya ingat jawaban Satish, “There will always be job to be done at UNSFIR!”, selalu ada saja kerja-kerja yang perlu diselesaikan di UNSFIR. Dia meminta saya segera ke Jakarta, dan bergabung dengan UNSFIR.
Saya diminta memimpin kluster Kebijakan Sosial UNSFIR. Team leader kluster yang lainnya adalah Prabowo (kluster kebijakan ekonomi), Agus Widjojo (kluster kebijakan politik dan keamanan), Adrianus Mooy (kluster kebijakan keuangan dan fiskal). Dalam tim politik ketika itu ada Nasir Tamara, Frank Fuelner, Dimas Oky Nugroho, Ari Margiono dan Suzanty Sitorus. Dalam tim ekonomi ada Derry Habir (IPMI), Hermanto Siregar (IPB), Husein Sawit (IPB), Widjajanti Isdijoso (sekarang direktur SMERU), Zulfan Tajuddin (sekarang di Western Sydney University), dan Brasukra Sudjana (sekarang di Sekretariat ASEAN). Saya kemudian merekrut Wahyu Handoyo dan Atri Istiyani untuk membantu di kluster kebijakan sosial. Wahyu adalah mantan wartawan Kompas dan ahli komunikasi, sedangkan Atri yang mantan dosen adalah ahli metode kuantitatif.
Selain staf tetap UNSFIR, ada pula beberapa associate yang terlibat dalam berbagai penelitian UNSFIR. Yang saya ingat Prof. Ashutosh Varshney dari University of Michigan (Amerika Serikat), Prof. Anis Chowdhury dari Western Sydney University (Australia), Prof. Iyanatul Islam dari Griffith University (Australia), dan Roland Lindenthal yang sedang mengambil cuti dari Kementerian Kerja Sama Pembangunan Jerman (BMZ).
UNSFIR, bekerja sama dengan Bappenas dan BPS, kala itu telah menerbitkan laporan pembangunan manusia Indonesia (Human Development Report) 2001 yang berjudul Towards a New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia, dan sedang menyiapkan laporan pembangunan manusia Indonesia 2004. Laporan pembangunan manusia Indonesia 2004 kemudian diberi judul The Economics of Democracy: financing human development in Indonesia.
Sesuai dengan tradisi laporan pembangunan manusia yang diprakarsai Mahbub ul Haq dari UNDP, maka setiap edisi laporan pembangunan manusia membahas tema tertentu yang relevan. Laporan tahun 2001 menjelaskan hubungan yang erat antara pembangunan manusia, pertumbuhan ekonomi, dan demokrasi. Peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia bukan saja baik untuk dirinya sendiri, melainkan juga memberi landasan bagi pertumbuhan ekonomi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Laporan itu menyimpulkan perlu konsensus baru dari berbagai pihak, pemerintah pusat dan daerah, untuk membuat pembangunan manusia sebagai tujuan pembangunan Indonesia. IPM dianggap alat ukur lebih tepat bagi pembangunan satu bangsa, daripada produk dometik bruto (GDP) per kapita yang banyak digunakan oleh para ekonom sebelum reformasi.
Laporan pembangunan manusia 2004 menghitung dengan cermat berapa besar kebutuhan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia Indonesia dari kelompok menengah, ke kelompok negara-negara dengan IPM tinggi sebelum akhir Millenieum Development Goals (MDGs) pada 2015. Kesimpulan laporan itu menunjukkan penyediaan keamanan pangan, kesehatan dasar, pendidikan dasar, dan keamanan fisik yang merupakan hak-hak dasar warga negara, dapat dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia. Yang diperlukan adalah meningkatkan pengeluaran per tahun untuk empat kebutuhan tersebut dari 3% menjadi 5,80% dari GDP. Nilai anggaran tahunan yang dibutuhkan pada 2004 adalah Rp 103,7 Trilyun.
Saya lupa bagaimana proses formal dengan UNDP, tapi tampaknya saya telah mulai bekerja sebelum kontrak selesai dibuat. Kami juga kemudian masih bekerja beberapa bulan setelah pendanaan untuk UNSFIR berakhir pada bulan Desember 2005. Ini militansi staf lembaga antar-bangsa yang belum pernah saya temui di tempat lain.
Tugas saya sebagai team leader pada kluster kebijakan sosial adalah menuliskan kertas posisi (white paper) mengenai kebijakan sosial di Indonesia. Karena UNSFIR ingin proses penulisan rancangan kebijakan itu melibatkan sebanyak mungkin pihak, maka saya juga memfasilitasi jaringan kebijakan publik Indonesia (JAJAKI) yang merupakan jaringan kerja sama antara UNSFIR dengan beberapa pusat studi universitas, organisasi non pemerintah (ornop), dan lembaga pemikir independen. Dalam jaringan yang longgar itu ada Muhamadiyah, Lakpesdam NU, CSIS, INFID, IAIN Syarief Hidayatullah, Universitas Hasanuddin, Universitas Muhammadiyah Malang, Litbang Kompas, SCTV, dan banyak organisasi lainnya.
JAJAKI bisa berjalan karena dukungan tiga orang senior dari lembaga-lembaga besar: Dr. Sudibyo Markus dari Muhammadiyah, Dr. Hadisoesastro dari CSIS, dan Prof. Razak Thaha dari Universitas Hasanuddin. Selain itu JAJAKI dihidupkan pula oleh para penggiat ornop seperti Binny Buchori (INFID), Darmaningtyas (sekarang di Perguruan Taman Siswa), Fakhrulsyah Mega (GAPRI), Nawir Sikki (P3SD, Padang), dan Pahir Halim (Foker LSM Makassar). Mereka semua memberikan legitimasi terhadap proses dan keluaran dari JAJAKI. Sayang sekali, JAJAKI juga kemudian perlahan kehilangan energi setelah UNSFIR berakhir.
Dalam proses penulisan rancangan kebijakan sosial yang ditulis UNSFIR dan JAJAKI, kami menyelenggarakan satu seminar di Hotel Bidakara pada 7-8 September 2004. Di tengah-tengah diskusi di hari kedua, saya mendapatkan SMS yang mengabarkan Cak Munir meninggal dalam perjalanan ke Belanda. Saya sudah lupa siapa yang mengabarkan berita duka itu. Mungkin sekali almarhum Saafroedin Bahar yang ketika itu menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Keesokan harinya kami melanjutkan diskusi terbatas di kantor surat kabar Kompas, yang kemudian dituliskan oleh Maria Hartiningsih dan Ninuk Pambudy dalam satu suplemen khusus sebanyak empat halaman. Dalam publikasi itu ada opini saya mengenai kontrak sosial baru untuk Indonesia. Di tengah-tengah diskusi, kami mendengar suara ledakan sangat keras. Kami menduga itu adalah ledakan bom. Hari itu bom mobil meledak di Kedutaan Australia di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, pada 9 September 2004. Indonesia sedang memasuki satu masa yang penuh kekerasan sebagai dampak dari perang terhadap terornya Amerika Serikat dan proses pergantian kekuasaan di Indonesia yang tidak begitu mulus dari Presiden Megawati Sukarnoputri kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Proses penulisan kebijakan sosial itu memberi kesempatan saya berbicara dalam berbagai forum dan menulis buah pikiran dalam berbagai tulisan opini surat kabar dan artikel jurnal. Dalam periode itu, saya juga diminta Saafroedin Bahar untuk membantunya menyusun indikator-indikator pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Secara intensif saya bekerja dengan Pak Saaf, Pak Anshari Thayib dan Ibu Ruswiati Suryasaputra, ketiganya komisioner Komnas HAM, untuk menggunakan pendekatan kapabilitas (capability approach) dari Amartya Sen dan konsep pembangunan manusia (human development) dari UNDP untuk mengembangkan indikator pemenuhan hak ekosob.
Sayang sekali setelah UNSFIR berakhir pada 2005, pekerjaan ini tak ada lagi yang meneruskan. Rencana publikasi kumpulan tulisan kami mengenai topik ini juga kemudian kandas.
Menjelang pemilihan oresiden 2004, team UNSFIR sering berdiskusi dengan The Bogor House of Enlightment Institute (lebih dikenal sebagai Brighten Institute) yang dipimpin oleh Dr. Joyo Winoto dari Institut Pertanian Bogor. Brighten Institute merupakan think tank untuk calon Presiden SBY. Hubungan ini tampaknya dibangun karena koneksi IPB: para pendiri Brighten Intitute adalah dosen IPB, begitu pula beberapa peneliti UNSFIR. Namun, mungkin pula hubungan ini dibangun melalui Pak Agus Widjojo yang tinggal bertetangga dengan SBY di Cikeas.
Salah satu agenda UNSFIR dalam diskusi-diskusi itu adalah memberi masukan bagi platform politik calon-calon presiden dengan rancangan-rancangan kebijakan yang berdasarkan riset. Sayangnya, calon presiden lainnya tidak begitu reseptif dengan masukan dari satu lembaga antarbangsa seperti UNSFIR. Hanya tim sukses SBY melalui Brighten Institute yang sangat terbuka terhadap masukan dari team UNSFIR.
Berdasarkan masukan dari UNSFIR dan banyak pihak lain, Brighten Institute kemudian menyiapkan dokumen visi dan misi pasangan SBY-Jusuf Kalla yang berjudul “Membangun Indonesia yang Aman, Adil dan Sejahtera”.
Salah satu masukan UNSFIR yang kemudian diterapkan dalam pemerintahan SBY adalah perlunya unit kerja yang mengkoordinasikan pelaksanaan platform politik presiden. Sebuah unit “dapur kebijakan” seperti The West Wing di Gedung Putih, atau The Policy Unit di Kantor Perdana Menteri Inggris. Gagasan ini kemudian diwujudkan dalam bentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian Pembangunan (UKP3) di masa pemerintahan Presiden SBY yang pertama.
Dalam proses penyusunan organisasi UKP3, saya diminta Andi Mallarangeng yang ketika itu menjadi staf khusus Presiden SBY untuk bergabung di sana. Saya berkonsultasi dengan Reni, yang mengatakan saya tak akan cocok berada di lingkungan Istana. Saya kemudian dengan halus menolak permintaan itu.
Andi Mallarangeng, saya memanggilnya Anto, yang telah saya kenal sejak di Kemitraan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia mengatakan, “Ketika semua orang ingin mendekat, Anda malahan menjauh!”
Ini adalah satu kesempatan emas bagi saya bila ingin berada dekat dengan pusat kekuasaan. Ketika itu beberapa teman yang pernah bekerja bersama saya di berbagai platform memang menjadi staf khusus Presiden SBY. Selain Anto, ada pula Pungki (Agus Purnomo), Daniel Sparingga, dan Denny Indrayana. Namun, keputusan itu tak pernah saya sesali. Mungkin saya memang ingin tetap berada di pinggiran.
Dalam hal ini saya bersyukur mengikuti intuisi Reni yang merasakan UKP3 bukan tempat yang tepat. Siapa yang tahu saya akan berakhir di mana bila berada dalam pusat kekuasaan ketika itu. Mungkin berada di Penjara Sukamiskin sebagai tumbal politik dalam perebutan sumber daya publik secara curang.
Ternyata memang UKP3 tak dapat menjalankan fungsinya dalam masa pemerintahan Presiden SBY yang pertama. Ada konflik antara Kepala UKP3, Dr. Marsilam Simanjuntak, dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Konflik ini telah berlangsung sejak masa pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, ketika Marsilam sebagai Jaksa Agung hendak membubarkan Partai Golongan Karya. Barulah dalam pemerintahan SBY yang kedua (2009-2014), ketika itu UKP3 telah berganti nama menjadi Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan dipimpin Dr. Kuntoro Mangkusubroto, fungsi “dapur kebijakan” kantor presiden dapat dijalankan.
UNSFIR sebagai proyek UNDP berakhir pada 31 Desember 2005. Rancangan awal sebetulnya fungsi UNSFIR sebagai think-tank dan seluruh kumpulan pengetahuan (knowledge depository)-nya akan diambil alih BAPPENAS. Namun hal itu tak terjadi. BAPPENAS tampaknya keberatan untuk mengongkosi unit baru “semewah” UNSFIR melalui APBN. Begitu pula tak ada lagi donor yang bersedia mendanai terus berjalannya fungsi think-tank dalam sistem pemerintahan Indonesia. Mungkin mereka beranggapan fungsi itu telah dijalankan UKP3.
Satish dan beberapa mantan staf UNSFIR kemudian mendirikan perusahaan konsultan Strategic Asia untuk tetap melanjutkan pekerjaan UNSFIR melakukan konsultansi kebijakan, dan memperluas pelayanannya ke negara-negara lain di Asia. Untuk mendanai pendirian Strategic Asia, Satish menjual aset pribadi yang dimilikinya di Inggris. Bahkan ia memutuskan untuk menikah dan tinggal di Indonesia.
Saya memutuskan untuk tidak bergabung dengan Strategic Asia, dan pamit pensiun pulang ke Jogja. Ini sepuluh tahun terlambat dari rencana semula untuk pensiun pada usia 40 tahun. Namun, ini adalah pensiun saya yang pertama. Masih ada beberapa lainnya di masa yang akan datang.