Ketika saya mulai mencari pekerjaan pada Januari 2003, Oxfam Hong Kong (HK) sudah beberapa lama mencari manajer untuk programnya di Asia Timur.

Oxfam Hong Kong pada mulanya adalah unit penggalangan dana Oxfam Great Britain (GB) di Inggris. Bersamaan dengan proses penyerahan Hong Kong kepada Tiongkok, Oxfam HK kemudian menjadi lembaga mandiri dengan Badan Pengurus (Board) berisi tokoh-tokoh masyarakat Hong Kong.

Program Oxfam HK yang terbesar ada di daratan Tiongkok, baru kemudian negara-negara lain di Asia Timur. Ketika itu, Oxfam HK memiliki program di Vietnam, Myanmar, Kambodia, Laos, Indonesia, Filipina, dan Timor Leste. Oxfam HK juga memiliki program kerja sama dengan Oxfam lainnya seperti Oxfam GB dan Oxfam United States (US) di Afrika dan Amerika Latin.

Saya ditawari posisi Program Manager untuk Asia Timur setelah diwawancarai tim seleksi di Hong Kong pada Januari 2003. Saya mulai bekerja pada Maret 2003, setelah menyelesaikan tugas-tugas di Kemitraan. Ketika itu, Hong Kong baru saja terkena serangan virus SARS, sehingga mobilitas di sana agak terhambat.

Saya di Victoria Park ketika protokol kesehatan mengenai SARS masih diberlakukan. Juni 2003.

Saya menawarkan pada Bunga yang ketika itu telah kuliah tahun pertama di UGM untuk ikut pindah, dan kuliah di salah satu universitas di Hong Kong. Namun, ia menolak. Maka, kami meneruskan pola ulang-alik kami di Jakarta. Reni dan Bunga tetap tinggal di Yogyakarta. Saya pulang setiap 3 bulan sekali, atau bila ada kesempatan tugas ke Indonesia. Kemudian setiap liburan sekolah, Reni dan Bunga akan mengunjungi saya di Hong Kong.

Saya memutuskan tinggal di Lamma, sebuah pulau kecil di lepas pantai daratan Kowloon, 30 menit dengan feri dari Pelabuhan Hong Kong. Lamma adalah pulau tanpa kendaraan bermotor (non-motorised island). Kendaraan bermotor yang diizinkan melalui jalan-jalan sempitnya hanyalah pemadam kebakaran dan ambulan. Itupun kendaraan yang kecil seperti Suzuki Carry.

Bangunan di Lamma pun dibatasi tidak boleh lebih tinggi dari 3 lantai, tidak seperti di Kowloon ataupun di Pulau Hong Kong (Xiang Kang) yang penuh pencakar langit. Oleh karena itu, Lamma banyak disukai para ekspatriat yang bekerja di Hong Kong. Suasananya seperti tinggal di pedesaan, dan 30 menit kemudian kami sudah berada di kota metropolitan yang padat dan bergerak cepat.

Kantor Oxfam Hong Kong berada di North Point di Pulau Hong Kong. Karena sistem transportasi publik di Hong Kong sangat terintegrasi dan tepat waktu, saya dapat memperkirakan jumlah menit yang diperlukan waktu untuk tiba di kantor. Bahkan kemudian setelah lebih berpengalaman, saya dapat memilih duduk di gerbong yang tepat agar transfer antarjalur MRT bisa lebih cepat.

Dalam tim Asia Timur, ada dua Program Officer yang bekerja bersama saya. Titos Escueta bertanggung jawab untuk program di Asia daratan (Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam), sedangkan Dora Ngan untuk program di Asia kepulauan (Indonesia, Filipina dan Timor Leste). Selain itu, ada dua Country Director yang melapor pada saya: Steve Thorne di Vietnam dan Frank Elvey di Timor Leste. Secara keseluruhan, ada sekitar 30 orang dalam tim Asia Timur, termasuk beberapa konsultan.

Rapat staf OHK. Berdiri dari kiri: Hazel, manager program OHK di Tiongkok, saya, Lot, direktur kebijakan dan advokasi. Paling kanan membelakangi kamera Mayling, direktur program OHK.

Sesuai dengan kebiasaan perusahaan multinasional  dan organisasi antarbangsa di Hong Kong, saya pun diberi nama Tionghoa oleh teman-teman di Oxfam HK. Nama Tionghoa saya adalah Ma Zhao-ren dalam bahasa Mandarin (Putonghoa), atau Ma Siu Yan dalam dialek Kanton. Ma adalah nama keluarga yang umum dipakai suku Hui, orang Tionghoa yang beragama Islam. Nama ini diambil dari nama belakang saya, Malik. Ma berarti pula kuda, menunjukkan asal suku Hui yang merupakan suku penggembala kuda di Gansu dan Xinjiang. Zhao-ren terdiri dari dua suku kata: Zhao berarti trilyun, atau bisa berarti pula sangat banyak. Ren berarti manusia atau lelaki diambil dari nama pertama saya Rizal yang dalam Bahasa Arab berarti laki-laki. Namun dalam filsafat konfusius Ren berarti Humanness (kemanusiaan) yang merupakan tujuan ideal seorang manusia. Jadi nama Tionghoa saya bisa diartikan sebagai “penuh kemanusiaan” atau gentleman. Nama ini tercantum dalam kartu nama saya yang di satu sisinya ditulis dalam aksara Cina.

Kartu nama saya pada Oxfam Hong Kong.

Program Oxfam HK, sejalan dengan proses integrasi Oxfam Internasional yang ketika itu sedang berlangsung, bertumpu pada lima strategi global: pemberantasan kemiskinan, ekonomi berkelanjutan, bantuan kemanusiaan, pembangunan kapasitas masyarakat sipil untuk demokrasi, dan  keadilan gender. Pelaksanaan program disesuaikan dengan analisis situasi di setiap negara maupun wilayah. Dalam masa itu, Oxfam Hong Kong memusatkan bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi Myanmar dan Korea Utara. Namun, program terbesar dalam portfolio Asia Timur ketika itu ada di Vietnam dan Timor Leste.

Dalam periode itu, saya terpaksa selama enam minggu berkantor di Hanoi, Vietnam. Ketika itu, Country Director Vietnam sedang cuti tahunan. Tetapi, ada masalah kecurangan (fraud) dari satu staf Oxfam HK di Vietnam yang perlu ditangani. Ternyata masalah hukum di Vietnam cukup rumit karena undang-undang tenaga kerjanya sangat memihak para pekerja. Walaupun telah terbukti terjadi kecurangan, staf tersebut tak dapat diberhentikan dengan alasan tersebut. Akhirnya, masalahnya diselesaikan di luar pengadilan.

Baru kemudian saya mengetahui bahwa undang-undang tenaga kerja di Indonesia ternyata lebih melindungi pekerja daripada undang-undang di negara sosialis seperti Vietnam. Tentu saja ini terjadi sebelum Undang-undang Cipta Kerja, yang memihak pengusaha namun merugikan pekerja dan lingkungan hidup, dibuat pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Selama berada di Vietnam, saya punya kesempatan melakukan perjalanan ke berbagai lokasi proyek Oxfam di sana. Sebagian besar program Oxfam HK berlokasi di perbatasan dengan Kamboja dan Laos, yang infrastruktur jalannya sangat terbatas. Saya harus naik sepeda motor ke sana. Biasanya, mitra Oxfam setempat yang menjadi pengemudi. Namun di Ha Tinh, saya selalu dikawal Sekretaris Partai Komunis Vietnam setempat. Bila malam hari, ia banyak bercerita mengenai pengalamannya selama Perang Vietnam, penderitaan mereka selama perang tersebut, dan keberhasilan mereka mengalahkan Amerika Serikat.

Perpisahan saya dengan Tim OHK di Vietnam. Steve Thorne, country director Vietnam, duduk di sebelah kanan saya. Paling kanan Oanh, manager program OHK di Vietnam. Kami pernah sama-sama bekerja di Oxfam GB.

Karena Oxfam HK banyak bekerja dengan kelompok minoritas di Vietnam, saya juga mulai memahami masalah integrasi nasional di Vietnam yang secara budaya sama menantangnya dengan Indonesia. Tapi, di sana diperumit sejarah ekonomi dan politik yang berbeda antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Sejarah ini menjangkau cakupan yang panjang selama ribuan tahun.

Vietnam Utara adalah diaspora Tiongkok dan pernah menjadi provinsi Kekaisaran Han dan Tang. Vietnam Tengah dan Selatan adalah wilayah kerajaan Champa yang berada dalam pengarah kebudayaan India dan beragama Buddha. Pengaruh kolonial Perancis, yang bersama Inggris sesuka hati membuat batas wilayah mereka di Indocina, membuat masalah jadi semakin kompleks.

Pembacaan sejarah ekonomi-politik wilayah Indocina ini membangun minat saya mempelajari pula sejarah ekologi kawasan daerah aliran sungai Mekong ini. Saya sempat merencanakan meneruskan studi saya dengan menulis disertasi mengenai kawasan itu.

Dalam satu pertemuan antar-Oxfam yang bekerja di Laos, saya pernah ditinggalkan pesawat yang berangkat 30 menit lebih cepat dari jadwal. Tempat pertemuan kami di Pakse berada tak jauh dari bandar udara. Oleh karena itu, saya berangkat kurang lebih 1 jam sebelum jadwal keberangkatan. Ketika kami tiba di bandara, tampak pesawat telah meluncur di landasan dan terbang. Padahal, saya harus meninggalkan Viangchan, ibukota Laos, keesokan harinya. Maka, saya terpaksa menyewa mobil untuk tiba di Viangchan hari itu juga. Ini pengalaman yang tak terlupakan, karena selama hampir 12 jam saya melakukan perjalanan menyusuri sungai Mekong melalui pedalaman Laos, yang mengingatkan saya pada Sulawesi Tenggara era 1980-an.

Saya juga punya kesempatan berkunjung ke Tiongkok sebanyak empat kali selama setahun tinggal di Hong Kong. Pengurusan visa ke Tiongkok sangat mudah dilakukan. Saya hanya perlu menghubungi agen perjalanan dan membayar ongkosnya. Visa untuk masuk ke daratan Tiongkok pun langsung jadi pada hari itu juga. Perjalanan ke Tiongkok itu dua kali saya lakukan untuk pertemuan internal Oxfam di Beijing dan Xian, dan dua kali lagi untuk perjalanan wisata. Perjalananan wisata yang pertama bersama Reni dan Bunga mengunjungi Beijing dan sekitarnya. Perjalanan kedua bersama Yanti dan Ferny, rekan kerja di Oxfam GB, yang tiba-tiba datang menggruduk ke Hong Kong dan minta diantar ke Kunming, ibu kota provinsi Yunnan di Tiongkok Barat Daya.

Hong Kong memiliki diaspora Indonesia cukup besar. Sebagian besar adalah pekerja migran di sektor rumah tangga. Mereka biasanya berkumpul di sekitar Victoria Park pada hari minggu, hari libur mereka yang dimandatkan oleh undang-undang tenaga kerja di Hong Kong. Para pekerja migran Filipina, dan Sri Langka memiliki tempat berkumpul mereka sendiri di tempat lain.

Oxfam HK membantu para pekerja migran ini mengorganisasikan diri, dan memperjuangkan hak-hak mereka. Saya sering bertemu dengan Nurul yang Ketika itu menjadi organisator lembaga pekerja migran Indonesia, walaupun itu bukan termasuk portfolio kerja saya. Posisi Nurul ini kemudian digantikan oleh Lily Purba, teman lama saya mantan staf Oxfam GB di Indonesia dan sesama alumni UEA. Namun Ketika Lily datang ke Hong Kong saya telah Kembali ke Indonesia.

Saya bersama para pekerja migran Indonesia yang terlibat dalam Clean Cloth Campaign, kampanye agar perusahaan garment memenuhi hak-hak pekerja dan menjaga lingkungan hidup. Paling kiri dalam foto ini, Nurul yang merupakan organisator pekerja migran Indonesia di Hong Kong.

Selama saya berada di sana, selain Yanti Lacsana dan Ferny Hapsari, mbak Nursyahbani Katjasungkana juga sempat datang dan bertemu dengan saya di Hong Kong. Selain itu, Suraiya Kamaruzzaman yang saya kenal sejak di Flower Aceh, ketika itu juga sedang kuliah Strata-2 mengenai human rights di Hong Kong University.

Selama bekerja dengan Oxfam Hong Kong, saya punya kesempatan mengunjungi semua negara tempat kami bekerja, kecuali Myanmar. Sebetulnya saya merencanakan pergi ke Myanmar pada Agustus 2004, namun saya memutuskan berhenti pada bulan April 2004 karena ada kejadian luar biasa di Indonesia.

Saya dan Mansour Fakih berencana untuk melakukan ibadah haji bersama Nena dan Reni pada musim haji 2004. Mansour dan Nena ketika itu mendaftar di Yogyakarta. Karena kesibukan kerja saya di Hong Kong, kami terlambat mendaftar sehingga kuota haji untuk kota Yogyakarta tahun 2004 sudah terpenuhi. Beruntung kami masih dapat mendaftar dengan menggunakan kuota jamaah haji DKI Jakarta Raya. Tahun itu, 72.000 jamaah haji Indonesia ternyata tak dapat berangkat karena pendaftar melebihi kuota. Mansour dan Nena termasuk di antara belasan ribu calon jamaah haji di Yogyakarta yang batal berangkat. Namun, saya, Reni dan Bunga termasuk rombongan jamaah haji yang berangkat pada musim haji itu.

Ketika kami sedang berada di Madinah, setelah selesai menjalankan ibadah haji di Arafah, saya mendengar kabar Mansour terkena stroke yang kedua dan dirawat di RS Bethesda Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, tanggal 24 Februari 2004, saya mendapat kabar Mansour meninggal dunia.

Mansour adalah tokoh pemersatu dan motor penggerak organisasi INSIST yang kami dirikan pada 1997. Saya menduga akan ada krisis sepeninggal Mansour, sehingga pada hari itu juga saya memutuskan kembali ke Indonesia untuk membantu INSIST mengarungi masa-masa yang sulit itu.

Sekembali dari ibadah haji, saya mengajukan surat pengunduran diri kepada Oxfam HK. Kepada Mayling Chan, direktur program yang merupakan atasan saya, saya kemukakan alasan formal karena Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden yang pertama secara langsung pada 2004, saya ingin berada di sana untuk turut serta membangun Indonesia baru yang demokratis. Kepada Lot Felizco, direktur kebijakan dan advokasi Oxfam HK, yang juga mengenal Mansour dengan dekat karena pernah sama-sama bekerja dengan Oxfam GB, saya kemukakan alasan sebenarnya. Saya ingin menyelamatkan legacy Mansour dalam bentuk organisasi INSIST.

Saya sebetulnya terikat kontrak untuk bekerja selama 3 tahun dengan Oxfam HK, namun atas bantuan Mayling dan Lot, saya tidak dikenakan penalti karena melanggar kontrak kerja. Bahkan, saya mendapatkan semua hak-hak saya sebagai pekerja ketika meninggalkan Oxfam HK.

Perpisahan saya dengan Tim Asia Timur. Saya, Dora, Titos dan Teddy. Kami semua kebetulan tinggal di pulau Lamma. April 2004.

Sebetulnya suasana kerja bersama Oxfam HK sangat menyenangkan buat saya. Saya bekerja dengan tim yang kuat dan penuh idealisme. Begitu pula saya mulai terbiasa dengan kehidupan di pulau Lamma yang tenang, namun terhubung dengan dunia luas karena kecanggihan jaringan internet dan transportasi publik. Saya masih harus menunggu beberapa bulan sampai semua pekerjaan selesai, sebelum dapat pulang ke Indonesia.

Ketika saya tiba di Indonesia pada Mei 2004, INSIST telah berkembang menjadi satu entitas lain yang berbeda sama sekali dengan yang saya bayangkan. Teman-teman yang terlibat dalam perubahan itu lupa mengajak saya, salah seorang pendiri INSIST, dalam pembicaraan mengenai masa depan lembaga tersebut. Seiring dengan waktu, saya semakin terpinggirkan dan tidak diperlukan.

Itulah yang kemudian terjadi, saya kembali pulang dari Hong Kong. Tanpa pekerjaan, dan ditinggalkan oleh teman-teman sendiri.