Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia) adalah suatu anomali. Sebelumnya, tidak ada lembaga yang mengumpulkan para pemangku kepentingan dengan hak suara setara, tanpa dikemudikan kepentingan donor. Dia hanya mungkin terbentuk dalam pemerintahan Gus Dur yang visioner dan menabrak semua pakem yang ada.

Kemitraan adalah lembaga banyak pihak (multi-stakeholders) yang berusaha mengumpulkan para pemangku kepentingan dalam satu tujuan bersama secara setara. Ketika didirikan pada 2000, dalam Badan Pengarah ada dua menteri anggota kabinet, perwakilan organisasi non-pemerintah, organisasi bisnis, media, dan perguruan tinggi. Semua dengan hak suara yang sama. Bahkan para donor yang mengongkosi eksperimen ini sepakat mereka tak boleh memegang kemudi. Reformasi tata pemerintahan di Indonesia harus dikemudikan aktor-aktor Indonesia yang berada dalam wadah  Kemitraan.

Walaupun kemudian pelembagaan Kemitraan menghadapi kendala peraturan perundang-undangan mengenai organisasi kemasyarakatan, dan gagasan-gagasan reformasi telah dikorupsi oleh kepentingan lama/Orde Baru, sampai sekarang Kemitraan masih menjadi garda depan pembaruan tata pemerintahan di Indonesia. Sekarang tak ada lagi menteri yang dapat dan bersedia duduk menjadi anggota Dewan Eksekutif, tapi pada satu periode, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono duduk di Badan Pengarah (Steering Committee) sebagai wakil pemerintah. Ketika itu mereka adalah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) dan Menteri Keuangan dalam kabinet Presiden Megawati.

Rapat Badan Pengarah Kemitraan. 2004. (Kredit foto: Novita).

Saya dihubungi Mbak Erna Witoelar, ketika itu Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah sekaligus Ketua Badan Pengarah Kemitraan, pada pertengahan 2001. Kemitraan membutuhkan Chief Operation Officer (COO) yang akan membangun dan memimpin sistem operasi sebagai sebuah organisasi pemberi hibah.

Sampai saat itu, Kemitraan masih berupa proyek United Nations Development Programme (UNDP), sehingga pengelolaannya menggunakan sistem manajemen UNDP. Namun dalam upaya melembagakan Kemitraan sebagai entitas Indonesia, perlu dibangun sistem manajemen yang tepat sekaligus sejalan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Mbak Erna meminta saya mendaftar menjadi COO.

Setelah melalui proses seleksi cukup ketat, saya terpilih menjadi COO Kemitraan yang pertama, dan memulai kerja di Jakarta setelah kontrak dengan Oxfam berakhir pada Januari 2002.

Saya kembali ke ibu kota setelah meninggalkan Jakarta selama 12 tahun. Sesuai dengan kesepakatan kami sebelumnya, Reni dan Bunga tetap tinggal di Yogyakarta. Saya akan bergabung dengan kelompok PJKA (Pergi Jumat Kembali Ahad): sekumpulan orang yang memutuskan bekerja di Jakarta, namun mempertahankan kehidupan keluarganya di Yogyakarta.

Direktur Eksekutif (Chief Executive Officer/CEO) Kemitraan ketika saya memulai tugas sebagai COO adalah Ibu Sri Oerip, yang pernah menjadi CEO PT Unilever Indonesia. Namun, Ibu Sri Oerip meninggalkan Kemitraan pada Maret 2002. Proses rekrutmen CEO ternyata berjalan cukup lama. CEO yang baru, Dr. HS Dillon, baru bergabung pada November 2002. Sehingga selama 7 bulan posisi CEO kosong, saya dibiarkan mencari jalan sendiri.

Dr. HS Dillon dengan staf Kemitraan di Lantai 9 Gedung Surya. Saya ternyata tak memiliki foto2 ketika saya bekerja di Kemitraan. (Kredit foto: Ike Bambang).

Ketika itu, Kemitraan sedang terlibat dalam berbagai kegiatan penting seperti amandemen Undang-undang Dasar, reformasi polisi, dan penyusunan Rancangan Undang-undang Antikorupsi. Selain itu, Kemitraan juga mengelola hibah untuk berbagai organisasi yang melaksanakan praktik baik tata pemerintahan. Hibah itu diterima unit kerja pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah, dan organisasi bisnis. Pada saat itu, Kemitraan memiliki trust fund sebanyak US$25 juta yang disumbangkan Pemerintah Inggris, Belanda, dan Jepang. Ada pula sedikit sumbangan dari Bank Dunia, UNDP, dan beberapa lembaga antarbangsa lainnya.

Sebagai COO, saya memimpin rapat persetujuan hibah yang disiapkan para Program Manager dan Penasihat Kemitraan. Ketika itu, program Kemitraan terbagi dalam beberapa kluster: desentralisasi dan reformasi pemerintahan daerah, reformasi hukum dan lembaga peradilan, antikorupsi, serta penerapan tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance). Untuk setiap kluster ada Program Manager yang merupakan staf purnawaktu Kemitraan dan sekelompok penasihat.

Tim penasihat ini adalah para pakar bidang tata pemerintahan dan bekerja secara paruh waktu. Beberapa yang saya ingat: Andi Alfian Mallarangeng, Setya Arinanto, Bambang Widjojanto, Mas Ahmad Santosa, Sita Aripurnami, Nana Edriana Noerdin, Alexander Irwan, dan Daniel Sparingga. Ada juga beberapa ekspatriat seperti Peter van Tuijl dari Belanda yang menjadi penasihat reformasi polisi, dan Richard Holloway dari Inggris sebagai penasihat program antikorupsi. Dalam proses memfasilitasi amandemen konstitusi, ada beberapa anak muda ahli hukum tata negara yang terlibat, antara lain Saldi Isra dari Universitas Andalas dan Denny Indrayana dari Universitas Gadjah Mada. Denny ketika itu sedang menyelesaikan disertasi doktornya di University of Melbourne.

Kegiatan antikorupsi Kemitraan. Kemitraan berperan penting dalam proses penyusunan Undang2 antikorupsi, dan mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal kelahirannya. Richard Holloway, penasihat antikorupsi Kemitraan dan mantan Oxfam, duduk di depan paling kanan. (Kredit foto: Ike Bambang).

Kemitraan menerima banyak permintaan hibah dalam setiap siklus penerimaan proposal. Beberapa di antaranya tak berhubungan sama sekali dengan pembaruan tata pemerintahan. Misalnya, proposal untuk penggemukan sapi dan pembangunan pompa bensin.

Dalam masa itu, saya mendapat pengaduan dari staf salah satu pemerintah daerah. Mereka telah membayar konsultan untuk menyusun proposal dengan jaminan pasti diterima. Namun, ternyata  proposal itu ditolak Kemitraan. Darinya saya juga mendapat informasi salah seorang Program Manager Kemitraan memiliki perusahaan konsultan yang membantu calon penerima hibah dengan menarik bayaran.

Saya segera meminta investigasi tertutup terhadap tuduhan tersebut. Kami memang menemukan perusahaan konsultan itu di daerah Tebet. Namun, keterlibatan si Program Manager dalam perusahaan itu maupun tuduhan ia menerima komisi terhadap setiap proposal yang berhasil mendapatkan hibah tak dapat dibuktikan.

Dalam pengelolaan hibah ini, Kemitraan pernah pula disomasi dan dituntut ke Pengadilan oleh pihak yang proposalnya ditolak. Saya dan Bambang Widjojanto sempat dua kali bertemu dengan pimpinan lembaga tersebut untuk menjelaskan kriteria dan proses persetujuan hibah, serta alasan proposalnya ditolak. Namun, ia tetap tidak puas dengan penjelasan kami dan memutuskan mendaftarkan perkara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Karena saat itu Kemitraan masih menjadi proyek UNDP, berdasarkan perjanjian Pemerintah Indonesia dengan PBB, lembaga-lembaga yang berada di bawah PBB mendapatkan kekebalan diplomatik dan bukan merupakan subyek hukum Indonesia. Sehingga, kasus itu tak dapat diteruskan.

Kasus-kasus itu saya jadikan pelajaran untuk memperkuat sistem pengelolaan hibah Kemitraan, termasuk di antaranya dengan menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dalam organisasi.

Ketika CEO yang baru, Dr. HS Dillon – saya memanggilnya Bang Lali dan telah mengenalnya ketika ia memimpin Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Kemiskinan – memulai tugasnya pada November 2002, saya mengatakan padanya dalam memimpin Kemitraan dia akan berurusan dengan banyak “burung merak”. Bang Lali menjawab sambil tertawa lebar, “Aku adalah burung merak yang paling besar!”

Dalam kesempatan briefing kami yang pertama itu, Bang Lali mengatakan sesuatu yang kemudian sering saya ulang di tempat lain, “Rizal, you know the rule of number two? You will do all the works, and I will take all credits!”. Karena saya bukan burung merak doyan pamer dan lebih merasa sebagai burung elang yang biasa terbang sendirian, saya jawab, “I am fine with it!

Terlepas dari sifat flamboyannya, Bang Lali adalah mentor yang baik untuk saya. Hubungan kami juga tetap baik sampai ia wafat pada 2019. Ketika Bang Lali kemudian menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Pemberantasan Kemiskinan pada masa pemerintahan Presiden SBY yang kedua, dia sering mengundang saya ke kantornya di Jalan Juanda hanya untuk bincang-bincang atau makan siang. Tentu saja saya lebih banyak mendengarkan curahan hatinya daripada mengajaknya berdebat mengenai kebijakan pemerintahan SBY.

Namun, saya harus mengecewakan Bang Lali ketika saya meninggalkan Kemitraan beberapa bulan kemudian. Kepergian saya dari Kemitraan adalah pertaruhan dan eksperimen saya dengan manajemen organisasi.

Dalam proses rekrutmen untuk CEO Kemitraan, ada 2 calon yang paling kuat, yakni Dillon dan Risa Bhinekawati yang ketika itu adalah Vice President Ericsson Indonesia. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing: Dillon punya pengalaman panjang dalam birokrasi pemerintahan, sedangkan Risa dalam dunia bisnis. Mereka juga berbeda dari segi pendidikan (Dillon adalah Doktor dalam ekonomi pertanian dari Amerika Serikat; Risa memegang Master of Business Administration dari Australia), usia (Dillon akhir 50-an; Risa awal 30-an tahun), dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).

Badan Pengarah Kemitraan memerlukan waktu panjang untuk mengambil keputusan. Akhirnya keputusan diambil dengan pemungutan suara, dan Dillon menang tipis. Selesai pemungutan suara, seorang anggota Badan Pengarah mengatakan alangkah baiknya bila kedua calon itu dapat diterima karena keduanya saling melengkapi.

Saya yang hadir dalam rapat itu, juga melihat keduanya sebagai “Tim Impian“ (dream team) karena mereka saling melengkapi dengan baik. Seperti panci dengan tutupnya. Tapi pertanyaan menggantung di akhir rapat itu: posisi apa yang akan ditawarkan pada Risa?

Selesai rapat saya berbicara dengan beberapa anggota Badan Pengarah dan menyarankan agar menawarkan posisi COO pada Risa. Bila Risa menerima, saya akan mengundurkan diri. Bila tidak,  saya akan meneruskan tugas sebagai COO. Risa kemudian menerima tawaran itu.

Maka, saya tidak memperpanjang kontrak sebagai COO pada Januari 2003. Mbak Erna yang mengajak saya ke Kemitraan namun juga pendukung utama Risa sebagai CEO sempat bertanya, apa yang akan saya kerjakan setelah itu? Saya katakan, saya tetap dapat menjadi penasihat Kemitraan bila tak menemukan pekerjaan lain.

Saya kemudian kembali bekerja dengan Oxfam. Kali ini dengan Oxfam Hong Kong untuk mengelola program mereka di Asia Timur.

Ternyata bukan tim impian yang terbentuk setelah saya meninggalkan Kemitraan, melainkan mimpi buruk untuk Risa. Rupanya dua burung merak yang besar memang sebaiknya tidak berada dalam satu kandang. Risa meninggalkan Kemitraan pada akhir 2003 setelah 10 bulan menjadi COO, dan Dillon membiarkan posisi itu kosong untuk beberapa lama.