Pada 1994, Mansour Faqih yang telah saya kenal sejak awal tahun 1980-an, memindahkan kantor Oxfam dari Jakarta ke Yogyakarta. Ketika itu Mansour menjadi Kepala Perwakilan (Chief Representative) Oxfam United Kingdom/Ireland (Oxfam UK/I, kemudian menjadi Oxfam Great Britain ketika Oxfam Ireland memisahkan diri).
Oxfam memang ornop internasional yang paling sering pindah kantor, sesuai dengan kepentingan dan selera pimpinannya. Oxfam memulai kegiatannya di Indonesia pada tahun 1967, dengan kantor di Bogor. Kemudian Richard Holloway yang menjadi Kepala Perwakilan memindahkan kantor Oxfam ke Semarang pada awal 1980-an. Richard Manning yang menggantikan Richard Holoway memindahkan kantor ke Jakarta pada akhir 1980-an. Mansour yang menggantikan Richard Manning pada 1993 kemudian memindahkan kantor Oxfam ke Yogyakarta. Ketika itu jumlah jangkauan program maupun jumlah staf Oxfam masih kecil, sehingga pemindahan mudah dilakukan.
Hanya saya pimpinan Oxfam di Indonesia yang tidak memindahkan kantor ke kota lain. Pengganti saya David McDonald kemudian memindahkan kantor Oxfam kembali ke Jakarta pada 2005.
Saya mulai kenal Oxfam ketika kuliah di Inggris pada 1994. Toko Oxfam ada di mana-mana. Sebagai mahasiswa dengan beasiswa terbatas, membeli barang-barang bekas dari toko Oxfam merupakan pilihan yang masuk akal. Saya membeli semua baju dan jaket musim dingin dari Oxfam. Ketika saya meninggalkan Inggris, semua baju dan barang-barang yang tidak terpakai saya tinggalkan di toko Oxfam pula agar dapat digunakan orang lain.
Baru kemudian saya mengetahui bahwa Oxfam tidak hanya melakukan penggalangan dana melalui toko-tokonya. Mereka juga memberikan bantuan pembangunan ke negara-negara lain dan menerbitkan banyak publikasi mengenai isu-isu pembangunan.
Sejak kantor Oxfam berada di Yogyakarta, tepatnya Jalan Cemoro Jajar, beberapa kali saya bertemu Mansour. Kami membicarakan rancangan mendirikan sebuah lembaga yang memusatkan diri pada pengembangan gagasan dan praktik pembangunan yang transformatif. Lembaga itu kemudian kami dirikan dengan beberapa teman lain pada 1997, dan diberi nama Institute for Social Tranformation (INSIST).
Mansour ketika itu telah memutuskan akan meninggalkan Oxfam dan mendedikasikan waktunya untuk INSIST. Ketika masa jabatannya berakhir pada 1997, Mansour menganjurkan saya mendaftar menjadi calon kepala perwakilan. Kebetulan pada akhir 1997, kontrak saya dengan YUDP pun berakhir, sehingga saya segera mendaftar ketika peluang itu dibuka.
Saat itu, Oxfam membuat proses rekrutmen tanpa preseden. Tim seleksi adalah staf Oxfam di Indonesia yang akan bekerja sama dengan Kepala Perwakilan baru. Mereka yang melakukan seleksi dan membuat short list. Dua nama yang mereka usulkan kemudian diwawancarai oleh Kantor Pusat Oxfam di Oxford. Dua nama yang diajukan tim seleksi adalah Sarah Whitmore, yang ketika itu menjadi Koordinator Volunteer in Asia (VIA) di Indonesia, dan saya. Kebetulan Sarah dan saya telah saling mengenal cukup lama. Pada 1989 kami juga pernah bertetangga di Jalan M, Kebon Baru, Tebet, sebelum saya pindah ke Kendari.
Maka, kami berdua kemudian pergi bersama-sama untuk mengikuti seleksi tahap akhir di Oxford. Selama 18 jam kami duduk bersebelahan di pesawat, dan bersepakat akan tetap berteman dan bekerja sama, terlepas dari siapa yang terpilih.
Dalam wawancara akhir, tim seleksi kemudian memilih saya. Saat berjalan ke penginapan, kami bergurau mengenai alasan Sarah tidak dipilih: karena ia “terlalu baik dan murah hati”. Saya tampaknya dianggap lebih cocok karena punya pengalaman memecat orang dan lebih “tegaan” kepada mitra. Sarah dan saya tetap berteman sampai sekarang.
Saya menjadi kepala perwakilan Oxfam ketika krisis ekonomi telah mulai melanda Indonesia. Pada saat itu Oxfam menjadi salah satu anggota INGI (International NGO Forum on IGGI, yang kemudian menjadi INFID, International NGO forum on Indonesian Development). Ini adalah platform yang dibuat untuk mengkritisi para donor pembangunan Indonesia dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian berganti nama menjadi Consultative Group on Indonesia pada 1992.
Tugas pertama saya sebagai Kepala Perwakilan Oxfam adalah menghadiri pertemuan INFID di Bonn, Jerman, awal Mei 1998. Ketika itu dalam diskusi-diskusi kami telah memperkirakan rezim Suharto akan berakhir, meski entah kapan waktunya. Dua minggu kemudian, setelah kami pulang ke Indonesia, Suharto mundur. Masa transisi yang penuh ketidakpastian dan kekerasan dimulai.
Sebagai ornop internasional, Oxfam tak dapat secara langsung terlibat dalam proses transisi itu. Keterlibatan kami yang utama adalah dalam kegiatan advokasi melalui INFID. Namun, beberapa staf Oxfam turut serta dalam pertemuan besar warga Yogyakarta pada 20 Mei 1998. Oxfam pun memberi hibah kepada Suara Ibu Peduli (SIP) melalui Yayasan Kalyana Mitra, dan kepada Urban Poor Consortium (UPC) untuk membantu para mahasiswa yang sedang menduduki Gedung DPR. Karena Oxfam tak dapat memberikan bantuan langsung kepada SIP dan UPC, hibah itu diberikan dalam bentuk kontrak konsultasi jangka pendek untuk Sita Aripurnami dan Wardah Hafidz.
Pada awal reformasi, Indonesia banyak belajar dari Afrika Selatan. Terutama dalam cara mengelola masa transisi yang tanpa kekerasan, serta pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Pada 2001, saya memfasilitasi kunjungan beberapa wakil masyarakat sipil Indonesia ke Afrika Selatan bekerja sama dengan Ford Foundation dan Institute for Democratic Alternative in South Africa (IDASA). Peserta kunjungan itu adalah Edy Ikhsan dari Yayasan Pusaka Indonesia, Medan; Hetifah Syaifudian dari Yayasan Akatiga, Bandung; Dianto Bachriadi dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Nur Hasyim dari Rifka Annisa, Yogyakarta; dan Wilarsa Budiharga dari Remdec.
Fasilitator kunjungan kami dari IDASA bernama Ebrahim Fakir. Satu sore, Ebrahim mengajak saya bertemu Samir Amin, salah satu pemikir kiri dari the Monthly Review di New York, yang sedang berbicara dalam pertemuan sayap pemuda Partai African National Congress (ANC), partainya Nelson Mandela. Ebrahim adalah anggota Partai ANC. Saya mendengar adanya serangan ke World Trade Center di New York dari Samir Amin dalam pertemuan itu. Hari itu tanggal 11 September 2001.
Selama 4 tahun saya menjadi Kepala Perwakilan, program Oxfam di Indonesia berpusat pada tiga hak, yaitu hak untuk berpenghidupan yang berkelanjutan (right to sustainable livelihood), hak untuk mendapatkan bantuan dalam situasi darurat kemanusiaan (right to humanitarian assistance), dan hak untuk didengarkan (dalam lingo Oxfam disebut sebagai right to be heard). Yang terakhir ini mewadahi semua program advokasi Oxfam di Indonesia.
Oxfam lahir pada perang dunia kedua sebagai organisasi yang menanggapi situasi krisis kemanusiaan di Yunani pada 1942. Maka, program utama Oxfam adalah tanggap darurat (emergency response) yang memobilisasi sumber daya bagi para pengungsi atau masyarakat yang terdampak.
Baru kemudian, Oxfam melihat banyak masalah konflik disebabkan persoalan struktur sosial-ekonomi yang ada. Oleh karena itu, Oxfam mengembangkan program pemberantasan kemiskinan sebagai tindakan mencegah konflik terjadi. Setelah itu, Oxfam mulai melihat perubahan pada tingkat komunitas tak akan terjadi tanpa perubahan kebijakan. Maka, mulai dekade 1990-an, Oxfam memperkuat program advokasinya yang dirumuskan sebagai hak untuk menyampaikan pendapat.
Sejak awal Oxfam memulai kegiatannya di Indonesia pada 1967, pusat perhatiannya ialah upaya membantu mitra memecahkan masalah-masalah kemiskinan dalam skala akar rumput. Oleh karena itu, skala program di Indonesia termasuk kecil dibandingkan dengan kantor-kantor perwakilan lainnya.
Oxfam memusatkan perhatiannya bekerja sama dengan mitra di Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Selain itu ada pula hibah untuk eksperimen pertanian organik di Jawa dan membangun kesiapsiagaan di Gunung Merapi. Dalam program kebebasan menyampaikan pendapat, kami juga bekerja sama dengan mitra yang bekerja dengan serikat buruh independen dan serikat petani. Oxfam juga terlibat dalam isu-isu reformasi agraria dengan memberikan hibah kepada KPA.
Pada awal 2001, Dr. HS Dillon yang ketika itu menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional menghubungi saya. Saya mengenal HS Dillon, yang saya panggil Bang Lali, melalui jalur penggiat Hak Asasi Manusia dan alumni Cornell. Bang Lali pernah menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) zaman Soeharto, dan dia mendapat gelar PhD dalam ekonomi pertanian dari Cornell.
Bang Lali meminta saya memfasilitasi pertemuan antara lembaganya dengan ornop Indonesia yang bekerja dalam isu kemiskinan. Saat itu, Bang Lali masih belum punya kantor dan anak buah. Saya kemudian mengorganisasikan satu pertemuan di Yogyakarta yang dihadiri sekitar 20 orang penggiat ornop Indonesia yang bekerja dalam isu pemberantasan kemiskinan.
Bang Lali datang dengan penasihatnya, Dr. Budiono. Dalam diskusi tersebut, Bang Lali mendengarkan apa yang dilakukan ornop dan mengundang partisipasi ornop membantu badan yang dipimpinnya untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Namun, badan yang dipimpinnya itu berumur pendek. Ketika Gus Dur dilengserkan oleh MPR, Presiden Megawati membubarkan lembaga tersebut.
Walaupun begitu, Oxfam dengan mitra yang hadir dalam pertemuan itu melanjutkan upaya kami mempengaruhi strategi pemberantasan kemiskinan pemerintah. Sebagai wahananya, dibentuklah Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI). Pemikiran GAPRI kemudian diakomodasikan oleh Bappenas yang sedang menyusun rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Untuk pertama kalinya, RPJM 2004-2009 menyatakan bebas dari kemiskinan adalah hak warga negara. Oleh karena itu, Pemerintah memiliki kewajiban untuk mempromosikan, melindungi dan memenuhi hak warga negara tersebut.
Selama menjadi Kepala Perwakilan, saya membatasi agar program Oxfam di Indonesia tidak lebih dari satu juta poundsterling (enam miliar rupiah dalam nilai tukar pada Desember 1997), agar ada ruang untuk membangun kemitraan dengan ornop-ornop yang bekerja dalam isu yang sama. Ketika konflik di Maluku mulai membesar,dan dalam periode jeda kemanusiaan di Aceh pada 2000, ada desakan sangat besar dari kantor pusat untuk memperbesar program di Indonesia dengan bantuan tanggap darurat.
Dalam Oxfam, divisi tanggap darurat (Humanitarian Response) dan divisi pemberantasan kemiskinan (Sustainable Livelihood) merupakan dua silo besar yang memiliki sumber daya dan cara kerja berbeda. Ketika saya mulai bekerja dengan Oxfam, sejak awal saya dan teman-teman di Indonesia melihat cara kerja tanggap darurat Oxfam tak dapat diterapkan di Indonesia. Cara kerja itu adalah memobilisasi sumberdaya dengan cepat, dan menghabiskannya juga dengan cepat. Cara itu mungkin tepat untuk situasi antara hidup dan mati seperti krisis skala besar di Afrika.
Namun analisis kami di Indonesia, walaupun ada kejadian konflik yang berlangsung secara tiba-tiba dalam masa transisi sesudah 1998, ancaman terhadap masyarakat Indonesia bersifat terus-menerus, berulang, dan dalam skala kecil. Maka, tanggapannya seharusnya juga bersifat terus-menerus dan membangun kapasitas lokal untuk mampu mencegah ancaman berubah menjadi bencana. Saya ingat betul dalam satu perdebatan di kantor pusat di Oxford saya mengkritik pembagian antara “development” dan “emergency response” dalam struktur organisasi Oxfam. Saya mengatakan dalam rapat itu, “Development is emergency response!”.
Konsep inilah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tim tanggap darurat Oxfam di Indonesia menjadi konsep pengelolaan bencana berbasiskan masyarakat (community-based disaster management). Konsep ini telah menjadi arus utama dalam pengelolaan bencana di Indonesia pada saat ini.
Staf dan mitra Oxfam kemudian mendirikan Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) di tahun 2003. Mereka juga yang terlibat dalam penyusunan undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana serta pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2008.
Tentu saja skala dan kerusakan akibat tsunami di Aceh pada akhir 2004 telah mengubah cara pandang mengenai bencana, dan juga mengubah organisasi Oxfam di Indonesia. Menyelamatkan hidup dan membangun kehidupan dengan cepat dan lebih baik, menomorduakan upaya membangun kapasitas mitra dan menegakkan tata kelola.
Oxfam yang telah lebih dahulu berada di Aceh sejak jeda kemanusiaan tahun 2000 mendapat keuntungan dapat dengan cepat memobilisasi sumber daya untuk tanggap darurat. Namun kemudian Oxfam, dan juga banyak lembaga internasional lainnya, mendapat nama buruk karena korupsi dan staf yang tidak menjunjung kode etik dalam penanggulangan bencana. Itu harga yang harus dibayar untuk tidak membangun kapasitas ornop penanggulangan bencana di Indonesia, dan dana tanggap-darurat yang hampir tak terbatas.
Saya telah meninggalkan Oxfam ketika tsunami terjadi. Saya memutuskan tidak memperpanjang kontrak saya pada 2002, setelah 4 tahun memimpin Oxfam di Indonesia. Ini adalah masa terlama saya bekerja pada satu organisasi secara terus-menerus. Saya memang tercatat bekerja di PKBI selama 8 tahun, namun sebetulnya saya bekerja dalam dua masa yang lamanya 3 tahun, diselang 2 tahun masa sekolah di Amerika Serikat. Sampai akhir karir saya, saya tak pernah bekerja di satu organisasi lebih dari 3 tahun kecuali bersama Oxfam.
Saya masih akan kembali ke Oxfam, namun berbasis di Hong Kong, pada 2003. Sebelum itu, Jakarta memanggil saya, dan saya menjawab dengan penuh semangat.
Menarik kisahnya Pak. Pantas YSIK pernah kerja bareng dgn Oxfam Hk ternyata krn ada Pak Rizal. Jd setelah itu sempat ke oxfam di Jkt, Pak?
Beberapa tahun kemudian (2012?) pernah diminta Oxfam untuk menjadi konsultan paruh waktu. Saat itulah baru mengunjungi lagi kantor Oxfam di Jakarta. Salam.