Hari minggu lalu teman-teman alumni SMPN 13 Bandung lulusan 1970, angkatan saya, mengadakan reuni. Penyelenggaranya para alumni di Jabodetabek, dan teman-teman dari Bandung datang dengan satu bis kecil. Saya yang kebetulan ada di Jakarta ikut hadir, walaupun datang terlambat. Tak banyak yang hadir, mungkin sekitar 30an. Berimbang antara penduduk Jakarta dan Bandung.
Setelah 52 tahun lulus dari SMP, teman-teman masih mengingat saya sebagai “budak bangor” dan “tukang bolos”. Tapi ada juga yang mengingat saya sebagai “murid kesayangan bu Tejo”, dan “jago sejarah”. Bu Tejo adalah guru Bahasa Inggris yang dianggap “killer” oleh murid-murid yang lain. Entah mengapa, dia sayang sekali pada saya. Bukan saja karena nilai Bahasa Inggris saya yang selalu baik, namun juga karena dia tampaknya memahami kesulitan saya menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan sekolah ketika itu. Saya memang hanya masuk kelas dalam pelajaran bahasa Inggris dan sejarah saja, dua pelajaran yang saya sukai. Lainnya, saya bolos atau hanya hadir ketika ada ulangan.
Perlakuan guru yang lain terhadap saya yang lasak bila berada di kelas memang agak keterlaluan. Pak Sumirat, guru pelajaran Kewarganegaraan, pernah mengadu kepala saya dengan kepala Budi Santosa di muka kelas. Mungkin kami bergurau agak kurangajar, kami berebut kapur tulis yang kami pergunakan untuk saling melempar di kelas. Pada jaman ini mungkin pak Sumirat sudah diadukan orang tua murid ke Komnas HAM. Ketika itu saya hanya membalas dendam dengan menulis graffiti di WC sekolah yang mempertanyakan kesehatan mentalnya. Saya menulis “Sumirat Gelo!” Grafiti itu sempat menimbulkan kehebohan. Walaupun anonim, namun pelakunya mudah ditebak. Sebagian guru ingin menghukum saya, namun pak Hasanudin, guru Bahasa Indonesia, punya solusi yang brilian untuk kenakalan saya. Saya dihukum untuk menjadi redaksi majalah dinding sekolah.
Ada lagi guru Ilmu Ukur, pak Masripin, biasanya bila ada anak-anak yang gaduh dia melempar mereka dengan kapur. Namun pernah satu waktu dia melempar saya dengan penggaris segitiga yang ujungnya tajam. Murid-murid SMP tahun 70an pasti tahu mistar segitiga dari kayu yang dipergunakan guru ilmu ukur untuk menggambar sudut di papan tulis. Untung saja penggaris itu tidak mengenai saya. Pak Masripin sendiri tampak terkejut setelah ia melemparkan penggaris itu mengarah ke kepala saya. Sebagai permintaan maaf, ia mengusir saya dari kelas sehingga saya dapat beristirahat lebih awal dibandingkan dengan teman-teman lain.
Bonding saya dengan Budi Santosa memang lebih erat dibandingkan dengan teman yang lain. Bukan saja karena kepala kami pernah diadukan oleh pak Sumirat, namun kami pernah mengalami petualangan yang seru setelah lulus SMP tahun 1970.
Setelah ujian SMP, kami punya waktu jeda cukup panjang sebelum mulai sekolah lagi di SMA. Ketika itu bulan Ramadhan. Saya dan Budi punya rencana untuk pergi ke Bali dengan hitch hiking, menumpang kendaraan yang lewat. Ketika itu umur kami 15 tahun, dan kedua orang tua kami tidak mengijinkan kami pergi.
Satu pagi setelah sahur, saya menjemput Budi yang rumahnya di Kompleks PDK, kurang lebih satu kilometer dari rumah saya di kompleks Gubernuran. Kemudian kami berjalan kaki sampai Kiaracondong. Jangan bayangkan kota Bandung ramai seperti sekarang. Ketika itu kami harus berjalan menyusur jalan-jalan gelap di tepi sawah. Mulai dari jalan Raya Timur (sekarang Jalan Jendral Ahmad Yani) mudah bagi kami mendapatkan tumpangan mobil, umumnya truk, yang mengarah ke Timur.
Hari itu kami berhasil mencapai kota Semarang. Malamnya kami menginap di masjid, dan ikut buka puasa dan sahur bersama penduduk setempat. Itu yang kami lakukan selama perjalanan, menginap di masjid. Selama bulan puasa itu banyak orang yang berbaik hati memberi kami makan.
Hari kedua kami sampai di Solo. Saya ingat betul tumpangan pertama dari Semarang seorang bapak yang mengemudikan jip. Ia seorang diri, dan mau memberi kami tumpangan sampai Boyolali. Dia bertanya apakah orang tua kami mengijinkan kami pergi? Tentu saja kami jawab mengijinkan. Sepanjang jalan berulang kali dia terdengar berucap dengan getun “Lha kok tegel ya?”, kok orangtua kami tega mengijinkan kami pergi. Dia tak tahu kami lari dari rumah.
Di Solo kami singgah beberapa hari dan menginap di rumah Bambang Aryomo, sahabat pena saya. Saya kenal Bambang dan adiknya ketika SMP se-Solo melakukan muhibah kebudayaan ke Bandung tahun 1969. Kemudian kami menjadi sahabat pena yang cukup rajin saling bertukar kabar kehidupan remaja di Bandung dan Solo. Bambang seumur dengan kami, dan juga baru lulus dari SMPN 1 Solo. Bambang kemudian bekerja di Kementrian Dalam Negeri dan pensiun pada tahun 2010.
Kebetulan bibi Bambang, ibu Suprapti, menikah dengan Mayor Jendral Soeprapto yang ketika itu menjadi Panglima Daerah Militer (Pangdam) Udayana. Ibu Bambang kemudian memberi surat pengantar agar kami dapat tinggal di Rumah Dinas Pangdam selama berada di Bali. Surat pengantar itu diawali dengan “Iki cah-cah Pramuka mBandung agek pengembaraan”. Ibu Suprapti Soeprapto, bibi Bambang itu, memang aktif di Gerakan Pramuka.
Kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang truk, Sebagian besar adalah truk tebu. Ketika itu masih banyak pabrik gula yang beroperasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kini Sebagian besar pabrik gula itu telah tutup.
Hari itu kami tiba di Bajulmati menjelang malam. Walaupun truk yang kami tumpangi meneruskan perjalanan ke Banyuwangi, supirnya meminta kami turun. Dia rupanya tak mau membawa penumpang melewati Hutan Baluran. Malam itu kami menginap lagi di masjid, namun diajak mandi dan makan di rumah salah seorang pengurus masjid. Keesokan harinya kami berangkat pagi-pagi, dan sore itu menjelang magrib tiba di Negara. Walaupun sudah tiba di pulau Bali, kami masih dapat menemukan masjid dan menginap semalam di Negara.
Kami tiba di Denpasar setelah 3 hari dua malam dari Solo. Kami langsung ke rumah jabatan Pangdam yang terletak di dalam kompleks perwira Angkatan Darat di jalan Jendral Sudirman. Rumahnya tidak berbeda dengan rumah-rumah lain di kompleks itu. Sangat berbeda dengan rumah Pangdam Siliwangi yang kami tahu di Jalan Wastukencana Bandung. Rumah pangdam Siliwangi memiliki taman yang luas, dan berada di atas bukit seperti sebuah kastil.
Kami diterima oleh ajudan, dan diberi kamar di belakang dekat dapur, mungkin dulunya itu kamar pembantu. Sore itu jendral Soeprapto dan ibu datang menengok kami ke belakang. Mereka sangat ramah, walaupun kami tetap di belakang tidak dipindahkan ke kamar tamu di rumah utama. Memangnya kami siapa?
Selama seminggu itu kami bebas keluar masuk kompleks tentara itu, dan diberi pinjam dua sepeda. Sehingga kami dapat mengunjungi tempat-tempat wisata sekitar Denpasar dengan naik sepeda. Satu sore, ajudan pangdam, hanya ada satu ajudan dan satu sopir untuk Pangdam Udayana ketika itu, tidak delapan orang seperti Ferdy Sambo, meminta kami berpakaian pramuka dan pergi ke rumah utama. Tentu saja kami tidak membawa baju pramuka, Tapi kami tetap diminta datang ke rumah utama, rupanya ibu Suprapti sebagai andalan daerah Gerakan Pramuka Bali ketika itu sedang menerima tamu pandu dari Korea. Kami dengan kikuk diperkenalkan sebagai anggota penggalang yang sedang mengembara dalam liburan sekolah.
Menjelang kepulangan kami, Jendral Soeprapto dan ibu Suprapti mengajak kami jalan-jalan sore dengan mobil dinas. Kami diajak putar-putar kota, dan makan malam bersama mereka di satu restoran. Mungkin di pantai Kuta. Kuta ketika itu masih sepi sekali. Malam itu kami diberi uang untuk ongkos pulang sampai Bandung. Jendral Soeprapto dengan tegas mengatakan agar kami tidak lagi menumpang truk.
Jendral Soeprapto setelah purnawirawan menjadi Gubernur DKI Jakarta Raya, dan kemudian Sekretaris Jendral Departemen Dalam Negeri.
Keesokan paginya kami diantar ajudan ke terminal bus antar kota. Kami tak dapat mengelak dan terpaksa membeli karcis bus Denpasar-Gilimanuk. Dari Ketapang, kami menumpang truk lagi.
Saya sudah lupa berapa hari lama perjalanan pulang ke Bandung. Kami tidak singgah di Solo lagi, namun dari Surabaya melalui Bojonegoro menuju Purwodadi dan Semarang. Kami tiba di Bandung sebelum Hari Raya.
Kami tak tahu rupanya ada kehebohan setelah kami pergi, karena ibu Budi datang ke rumah saya dan menyalahkan ibu saya. Saya dianggap orang yang mengajak Budi lari dari rumah. Tentu saja ini adalah rencana kami berdua. Saya sudah lupa apa hukuman yang diberikan orang tua saya karena kelakuan saya itu. Namun ini bukanlah pertama kalinya saya lari dari rumah. Mereka tampaknya santai saja. Kalaupun mereka khawatir, mereka pasti tak akan menampakkannya. Mereka tak mau memberikan piala untuk kenakalan saya itu.