Pada pertengahan 1993, mungkin bulan Juli, teman saya Francess Cosstick datang berkunjung ke Jogja.


Kami berteman cukup lama. Kami berkenalan ketika saya ketua Perhimpunan Mahasiswa untuk Studi Kependudukan dan Francess bekerja untuk World Education di Indonesia pada 1979. Kami kemudian bekerja sama dalam menerjemahkan dan mengadaptasi modul pelatihan andragogi, pendidikan untuk orang dewasa, dan mengujicobakannya dalam Latihan untuk pelatih (training of trainers) untuk ornop Indonesia di Sumedang pada 1980. Kami masih berhubungan setelah Francess kembali ke Kanada dan bekerja untuk CIDA di sana.

Saya bersama mbak Erna, Francess Cosstick, dan Ann Hawkins di Mont Ste Marie, 1984.


Bahkan dalam konferensi Environmental Manpower Development in Indonesia (EMDI) pada 1984, kami bertemu di Mont Ste-Marie, Quebec, tempat pertemuan itu berlangsung. Saya datang dari Ithaca ke konferensi itu untuk bertemu dengan Mbak Erna Witoelar, Mas Anton Soedjarwo, dan Pungki yang datang mewakili WALHI.


Tahun 1993 itu, Francess bekerja dengan kantor UNICEF di Bangkok, dan dalam tugasnya ke Indonesia sengaja berkunjung ke Jogja untuk bertemu saya. Hari itu saya mengajaknya makan siang bertiga bersama Bunga yang baru dijemput dari sekolah. Dalam percakapan ketika makan siang itu, Francess bertanya mengenai studi saya di Cornell. Saya menjawab lugas, “I dropped out!”.


Francess tidak melanjutkan topik pembicaraan itu, namun saya melihat perubahan di wajah Bunga. Matanya terlihat kecewa ketika ia mendengar ayah yang dikaguminya ternyata seorang pecundang putus sekolah. Dia tak mengatakan apa-apa, namun saya dapat merasakan kekecewaannya.


Malam itu juga, saya bertekad untuk menyelesaikan sekolah untuk Bunga.


Saya segera mencari informasi mengenai beasiswa untuk sekolah pascasarjana. Ketika itu Kedutaan Besar Inggris baru saja mengumumkan aplikasi untuk The British Chevening Award, hibah untuk kuliah di Inggris paling lama 12 bulan. Waktu yang cukup untuk menyelesaikan program Master di Universitas di Inggris. Saya segera melengkapi persyaratan dan mengirimkan berkas pendaftaran ke Kedubes Inggris di Jakarta.


Ketika hasilnya diumumkan sebulan kemudian, saya termasuk salah seorang dari 70 orang penerima Chevening tahun akademik 1994-1995. Saya segera mengurus pendaftaran sekolah sendiri. Pilihan pertama saya adalah University of Sussex di Brighton, namun program Master yang saya inginkan (Master of Philosophy in Development) berlangsung selama 2 tahun sehingga tidak dapat dibiayai beasiswa Chevening. Maka saya mendaftar ke School of Development Studies (sekarang School of International Development) di University of East Anglia (UEA) di Norwich. Dekan pertama sekolah itu adalah Andre Gunder-Frank, sang penganjur teori ketergantungan. Program studi pembangunan (development studies) mereka juga dikenal baik di dunia.

Kampus UEA yang dikenal sebagai “Ziggurat” di Norwich.


Saya diterima untuk program Master in Development Studies di UEA, namun diharuskan mengambil kelas statistik sebelum program studi dimulai pada Agustus 1994.

Saya bersama Martina Napitupulu (IKIP Medan) dan Agus (Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto), dua mahasiswa Indonesia yang mengambil program studi Lingkungan Hidup (ENV).


Belajar dari pengalaman belajar di Cornell, saya telah menetapkan topik tesis Master (di Inggris disebut disertasi) jauh hari sebelum berangkat. Saya juga telah mengumpulkan semua data sekunder yang mendukung topik tersebut.


Topik pilihan saya adalah masalah yang selalu jadi perhatian sejak mahasiswa dulu: Teori Malthus tentang hubungan antara lingkungan alam, produksi pangan, dan kesejahteraan penduduk. Saya memusatkan perhatian pada kebijakan swasembada pangan untuk melihat hubungan antara variabel fenomena alam El Niño, produksi beras, dan pilihan kebijakan yang dapat diambil Pemerintah Indonesia.

Saya di kamar asrama di UEA.


Ketika berangkat ke Inggris pada Agustus 1994, saya membawa semua data produksi beras Indonesia selama 10 tahun terakhir. Saya juga meminta Pak Udin, pustakawan PKBI, untuk mengumpulkan kliping surat kabar mengenai fenomena El Niño dan swasembada pangan selama 1994.


Kurikulum program Master di UEA sangat ketat, berbeda dengan Cornell yang sangat lentur. Saya harus mengambil 3 mata kuliah pada semester pertama dan 2 mata kuliah pada semester kedua. Semua mata kuliah telah ditentukan, dengan kewajiban penulisan makalah serta ujian tertulis di akhir semester. Karena saya telah memilih topik penelitian sebelum mengambil kuliah, maka seluruh makalah yang saya tulis ada hubungannya dengan topik tersebut.


Dengan begitu, pada akhir semester kedua, Mei 1995, saya telah menyelesaikan tiga bab tesis. Bab 1 saya tulis sebelum memulai kuliah, bab 2 adalah perbaikan dari makalah kelas teori pembangunan, dan bab 3 adalah makalah untuk kelas metodologi.

Saya bersama Prof. Frank Ellis dalam acara peringatan 50 tahun UEA, 2013. Ketika itu Frank telah Emeritus.


Kebetulan pembimbing tesis saya, Profesor Frank Ellis, seorang ahli ekonomi pertanian yang pernah lama menjadi konsultan BULOG di Indonesia. Ia sangat membantu saya untuk mempertajam masalah penelitian, serta memberikan data-data tambahan mengenai pasar beras dunia dan kebijakan pangan di negara-negara lain. Selain itu, saya juga berkonsultasi dengan Profesor Piers Blaikie tentang fenomena El Niño. Profesor Blaikie adalah seorang sarjana ilmu bumi, namun lebih dikenal dunia sebagai ahli ekologi politik.

Saya bersama Prof, Piers Blaikie dalam acara peringatan 50 tahun UEA, 2013. Ketika itu Piers telah Emeritus.


Pada Juni 1995, sepuluh bulan sejak kedatangan di UEA, saya menyerahkan draft disertasi Master. Pada hari itu teman-teman seangkatan saya mengatakan bahwa saya adalah “orang paling tidak populer di UEA!”. Saya orang pertama yang menyerahkan disertasinya di program studi Master in Development Studies pada tahun akademik itu.

Saya bersama teman-teman satu angkatan di program Development Studies (DEV) merayakan selesainya disertasi saya. Juli, 1995.


Sementara menunggu disertasi di-review oleh 2 orang external examiner, saya melakukan perjalanan keliling Wales dan kemudian naik kereta api ke Edinburgh di Skotlandia.


Pada pertengahan Juli 1995, hasil review keluar. Saya lulus tanpa perlu memperbaiki disertasi, walaupun nilainya kurang untuk mendapatkan predikat With Distinction. Sebelum beasiswa yang 12 bulan habis dipergunakan, saya telah pulang kembali ke Indonesia tanpa menunggu wisuda pada Agustus 1995.


Ijazah saya kemudian dikirimkan melalui pos. Saya hanya perlu ijazah itu untuk membuktikan pada Bunga bahwa ayahnya bukan pecundang!