Pada akhir 1990, menjelang kepindahan dari Bandung ke Ujung Pandang, saya dikontrak USAID untuk memfasilitasi pertemuan mitra mereka di Jakarta. Pertemuan itu dihadiri 30-an perwakilan ornop mitra USAID dari seluruh Indonesia. Pertemuan itu bertujuan mendapatkan masukan dari ornop Indonesia mengenai repositioning program USAID setelah runtuhnya tembok Berlin pada 1989. Saat itu terjadi guncangan besar yang akan bermuara pada berakhirnya Perang Dingin dan bubarnya Uni Soviet setahun kemudian pada 1991.


Dari hasil konsultasi di berbagai belahan dunia ini, USAID memformulasikan program Democracy and Governance dengan penekanan pada pelibatan organisasi masyarakat sipil untuk melanggengkan sistem politik yang demokratis. Program itu diluncurkan pada awal pemerintahan Presiden Clinton di tahun 1993.


Dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Presiden (sekarang Hotel Pullman) di Jakarta, saya berkenalan dengan Florentino Sarmento dan Gilman dos Santos, mitra USAID dari Timor Timur (sekarang negara Timor Leste). Florentino dan Gilman adalah penggiat ETADEP, ornop yang bekerja di Timor Timur. Ornop ini merupakan pelembagaan program pertanian yang didanai USAID, East Timor Agricultural Development Project (ETADEP). Saat itu mereka merupakan satu-satunya ornop asal Timor Timur yang diberi ruang untuk bekerja dalam sempitnya ruang demokrasi ketika itu.


Dalam perkenalan itu, saya mengatakan Timor Timur adalah satu-satunya provinsi Indonesia yang belum pernah saya datangi. Florentino dan Gilman mengundang saya untuk datang setiap saat bila mau. Sambil bergurau, saya menyatakan mereka harus membuat alasan yang masuk akal agar saya diizinkan masuk penguasa militer di sana. Pada saat itu memang tidak mudah bagi orang luar untuk masuk ke Timor Timur.


Pada 1992, setahun setelah peristiwa Santa Cruz, Pemerintah Indonesia agak melonggarkan pembatasan untuk masuk ke Timor Timur sebagai bagian dari upaya memperbaiki citra Indonesia di luar negeri. Saya diajak Sari Hasanuddin, Program Officer CIDA, untuk menemaninya dalam kunjungan kerja ke Timor Timur. Sari meminta bantuan saya memfasilitasi sebuah lokakarya mengenai perencanaan program partisipatif dan memberikan saran-saran untuk perbaikan kinerja program di sana.

Makan siang bersama teman-teman staf ETADEP, 1992. Gilman paling kiri, dan Florentino ke tiga dari kiri.


Mitra terbesar CIDA di Timor Timur adalah ETADEP. Selain itu, CIDA juga membantu Gereja Katolik dalam berbagai proyek. Ada sekolah kejuruan teknik di Fatumaka yang dipimpin Romo Locateli, program pertanian yang dikelola Romo Andreas di Los Palos, dan rumah penampungan anak-anak korban perang di Venilale. Dalam perjalanan yang difasilitasi ETADEP itu, saya dan Sari melakukan perjalanan tanpa hambatan berarti ke Baucau, Fatumaka, Venilale, dan Los Palos. Walaupun, kami harus melalui banyak pos tentara, terutama di Los Palos yang masih dikategorikan sebagai daerah “merah”.


Dalam perjalanan itu saya punya kesempatan mengamati kehidupan masyarakat Timor Timur dan berbicara dengan banyak orang. Tidak semuanya mau terbuka karena situasi keamanan saat itu, namun saya dapat menangkap ketidakpuasan masyarakat di sana, termasuk mereka yang pada awalnya menyambut integrasi dengan Indonesia. Mereka tidak pernah membayangkan integrasi dengan Indonesia sebagai pendudukan tentara atau penjajahan. Mereka membayangkan integrasi secara gradual dengan tetap mempertahankan otonomi Timor Timur dengan sejarah dan budayanya yang khas, serta memberi kesempatan kepada warga Timor Timur mengatur diri sendiri.


Situasi keluarga Gilman mewakili tragedi yang dihadapi banyak keluarga di Timor Leste. Bapak Gilman, tokoh partai UDT, meninggal dalam perang saudara antara Fretilin dan UDT pada 1975. Namun, Gilman adalah ipar Xanana Gusmao yang merupakan komandan Falintil, sayap militer partai Fretilin. Istri Gilman adalah saudara perempuan Xanana. Ketika kemudian Xanana tertangkap pada 1992, Gilman dan isterinya sempat ditahan Kopassus karena hubungan kekeluargaan itu. Bahkan, istrinya mendapat perlakuan buruk di penjara. Walaupun kemudian mereka dilepaskan tanpa pengadilan, kejadian ini tentu saja menghilangkan sedikit simpati Gilman, bila pernah ada, kepada Pemerintah Indonesia.


Banyak keluarga Timor Timur yang tercerai-berai karena perbedaan pandangan politik maupun situasi ekonomi dan keamanan selama pendudukan Indonesia di sana. Isteri Florentino dan mertuanya memilih menjadi pengungsi di Portugal. Namun Florentino tetap tinggal di Timor Timur, dan berusaha bekerja dalam ruang yang tersedia. Ini dibantu dengan keterampilan sosialnya yang tinggi dan hubungan eratnya dengan Jose Abilio Soares, Gubernur Provinsi Timor Timur.


Dalam perjalanan ke Timor Timur itu, jari tangan saya cedera tertimpa batu besar ketika membantu susteran di Maubisse memperbaiki sumber mata air mereka. Karena pernah bekerja di CARE, saya dianggap ahli mengenai masalah sistem pengadaan air bersih. Saat itu, Florentino menganjurkan saya berobat ke Puskesmas di Dili agar luka dapat segera diobati. Tapi karena keesokan paginya kami akan ke Venilale, dan saya dengar ada suster Filipina cantik di sana, saya mengatakan biar diobati di Venilale saja. Keesokan harinya bukan suster Marlene yang mengobati saya, karena ia tidak berada di tempat, melainkan seorang suster Italia tua. Ia memarahi saya karena luka terlambat ditangani dan sudah infeksi.


Kejadian itu selalu menjadi bahan gurauan setiap saat saya bertemu dengan Florentino.


Pada akhir 1993, Florentino meminta saya datang lagi ke Timor Timur. Kali ini untuk waktu lebih lama. Pada saat itu kontrak saya dengan PT Indesca baru saja berakhir, namun saya sedang kursus Bahasa Inggris di British Council untuk persiapan studi ke Inggris. Baru pada awal 1994 saya dapat memenuhi permintaan Florentino.


Florentino ketika itu meminta saya membantu East Timor Water Supply and Sanitation Project (ETWSSP). ETWSSP adalah proyek bantuan Pemerintah Australia untuk membangun sarana air bersih dan sanitasi di dua kabupaten pilot, yaitu Dili dan Kovalima. Proyek ini memiliki satu unit yang melakukan pengembangan masyarakat (community development). Sesuai dengan desain proyek, unit ini akan dikembangkan menjadi ornop sendiri dengan keahlian menyediakan air bersih pedesaan. Model pelembagaan tim proyek ini seperti yang pernah terjadi dengan ETADEP.

Perpisahan dengan teman-teman staf Bia Hula, Juni 1994. Isbael duduk tampak muka.


Tugas saya adalah menjadi konsultan manajemen dan membantu Isabel Ximenes, pimpinan tim pengembangan masyarakat, menyiapkan timnya menjadi ornop mandiri. Nama untuk ornop itu adalah Bia Hula, yang berarti air suci atau air sakti. Bia Hula diambil dari bahasa Bunak atau Bunaq, yang penuturnya berada di perbatasan Timor Timur dan NTT. Bahasa ini ternyata tidak termasuk rumpun bahasa Austronesia seperti bahasa Tetun yang dipergunakan mayoritas penduduk Timor Timur, melainkan termasuk dalam rumpun bahasa Papua.


Selama enam bulan saya membantu Isabel mengembangkan sistem dan perangkat manajemen ornop yang tepat untuk Bia Hula, melakukan pelatihan, dan menjadi mentor dalam pemecahan masalah-masalah manajemen mereka sehari-hari.


Dalam krisis kemanusiaan setelah referendum 1999 sampai kemerdekaan Timor Leste pada 2002, teman-teman Bia Hula memainkan peran dalam penyediaan air bersih di kamp pengungsian, maupun kemudian rehabilitasi sistem air bersih di Timor Leste.

Bunga dan Reni di Maubisse, April 1994.


Selama bekerja di Timor Timur, saya tinggal di Hotel Turismo. Reni dan Bunga datang menengok selama dua minggu. Kami bertiga sempat melakukan perjalanan ke Maubisse, Liquiçá, Maubara, Ermera, dan menginap di base camp ETADEP di Raemate di lembah sungai Loes.

Bunga dan Reni di Dili, April 1994.


Tinggal di Timor Timur, walaupun sesaat, adalah pengalaman menarik untuk Reni dan Bunga. Misalnya mereka mulai terbiasa dengan pedagang kaki lima yang berambut cepak di sekitar Hotel Turismo. Ada tukang rujak yang mengaku dari Jawa Barat tapi tidak bisa berbahasa Sunda, dan juga rujaknya kurang enak. Kami menengarai mereka intel tentara. Yang mengherankan, sampai ke pelosok di Maubara kami menemukan mbak-mbak dari Jawa berjualan jamu. Tampaknya mereka adalah betul-betul penjual jamu gendong.

Bunga di base camp ETADEP di Raemate. April 1994.


Setelah kemerdekaan, saya beberapa kali datang ke Timor Leste dan bertemu dengan Florentino yang ketika itu bekerja dengan Catholic Relief Service (CRS). Gilman kemudian menjadi anggota parlemen dari UDT, dan saya dengar meninggal karena serangan jantung pada 2019. Isabel Ximenes pernah menjadi Sekretaris Negara, sebuah jabatan politik setingkat Menteri, untuk urusan seni dan budaya.