Yogyakarta Urban Development Project (YUDP) adalah program kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Swiss. Proyek ini bertujuan meningkatkan investasi dalam infrastruktur perkotaan di wilayah perkotaan Yogyakarta secara terintegrasi. Pemerintah Swiss menyediakan bantuan teknis melalui Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) yang dilaksanakan oleh Electrowatts Engineering, perusahaan konsultan dari Swiss.


Ini adalah perusahaan sama yang mempekerjakan 11 insinyur Inggris yang membangun lapangan squash di Kendari. Rupanya biaya tenaga kerja di Swiss sangat mahal, sehingga mereka harus mempekerjakan konsultan dari negara lain. Hampir semua insinyur ekspatriat di YUDP adalah orang Belanda. Selain itu, Electrowatts juga bekerja sama dengan perusahaan konsultan Indonesia. Salah satunya adalah PT Indesca, walaupun mitra utama mereka dalam YUDP adalah PT Hasfarm.


Keterlibatan Indesca juga satu kebetulan yang berbelit. Dari Swiss, ia harus melalui Jerman dan Negeri Belanda.


Ada tiga komponen dalam bantuan teknis Electrowatts untuk YUDP: pengembangan kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia, serta pengembangan instrumen atau alat-alat pendukung fungsi-fungsi pembangunan kota (perencanaan, pelaksanaan, operasi dan perawatan, serta monitoring dan evaluasi).


Untuk mengembangkan sumber daya manusia, Electrowatts bekerja sama dengan Institute for Housing and Urban Development Studies (IHS, didirikan lembaga pengembangan tata kota Bouwcentrum) di kota Rotterdam. Staf IHS yang bertanggung jawab untuk kerja sama itu adalah Dr. Florian Steinberg dari Jerman. Ketika IHS memerlukan seseorang yang akan ditempatkan di Yogyakarta untuk menjalankan program pengembangan sumber daya manusia, Florian menghubungi teman sekolahnya, Nena Soeprapto, yang adalah pendiri PT Indesca. Selanjutnya adalah sejarah.


Secara resmi saya bekerja untuk PT Indesca dan ditempatkan di YUDP. Tapi, pengaturan ini hanya bertahan setahun. Setelah jeda dengan penugasan saya di Timor Timur, dan melanjutkan sekolah di Inggris (akan saya ceritakan di bagian lain), saya kembali ke YUDP sebagai staf proyek yang langsung dipekerjakan oleh Electrowatts.

Saya, Frank van Passen, dan Dian Priyomustiko mewakil YUDP dalam satu rapat dengan Pemerintah Daerah Propinsi Yogyakarta. Dian menggantikan saya sebagai Koordinator Pelatihan ketika saya meninggalkan YUDP pada 1994. Foto ini diambil pada tahun 1996 setelah saya kembali bergabung dengan YUDP fase 3 (1995-1998).

Tugas saya pada awalnya adalah koordinator pelatihan, serupa dengan pekerjaan di SRDP. Menyusun rencana, mencari sumber daya, melaksanakan, serta melakukan pemantauan dan evaluasi pelatihan. Perbedaannya, para peserta pelatihan tidak hanya staf Bappeda, namun juga staf dari Bagian Organisasi dan Tata Laksana, dan Dinas Pekerjaan Umum. Peserta datang dari Pemerintah Provinsi Yogyakarta serta Pemerintah Kota Madya Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman.


Pelatihan juga lebih banyak dilakukan dengan coaching dan mentoring, daripada menyelenggarakan pelatihan di kelas. Coaching dan mentoring terutama dilakukan untuk memperkenalkan dan mempraktikkan instrumen manajemen infrastruktur perkotaan.


Salah satu produk dari YUDP tahap satu (1990-1992) adalah Rencana Jangka Menengah (RJM) pembangunan infrastruktur perkotaan di 3 Kabupaten dan Kota wilayah aglomerasi perkotaan Yogyakarta. Tugas bantuan teknis pada tahap kedua (1992-1995) adalah mengimplementasikan rencana tersebut, termasuk membantu Pemerintah Daerah mendapatkan pendanaan.


Jumlah total rencana pembangunan infrastruktur tersebut seingat saya lebih kurang US$200 juta dollar. Komitmen didapat dari Pemerintah Jepang, yang mendanai pembangunan Instalasi Pengolahan Air Bersih (IPAL) di Sewon, dan dari Pemerintah Swiss untuk pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Piyungan. Keduanya berada di Kabupaten Bantul.

Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Sewon, Kabupaten Bantul. Foto diambil 4 September 2022.

Kontur Yogyakarta yang menurun dari utara ke selatan menyebabkan terjadi pembagian fungsi kota secara alamiah antara ketiga pemerintah daerah: Sleman adalah wilayah konservasi, Kota Yogyakarta sebagai pusat pelayanan, dan Bantul wilayah pengolahan limbah. Namun, tentu saja hal ini lebih mudah dibicarakan atau ditulis di atas dokumen perencanaan daripada dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, sebagai daerah otonom, setiap pemerintah daerah ingin memiliki juga pusat-pusat pelayanan yang memberikan penghasilan dalam bentuk pajak dan retribusi.


Masalah membangun mekanisme koordinasi ini merupakan tugas saya ketika kembali bekerja di YUDP sebagai konsultan pengembangan kelembagaan pada 1995. Pada saat itu, rancangannya adalah membangun lembaga koordinasi untuk wilayah perkotaan Yogyakarta yang diberi nama Badan Kerja Sama Kartomantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul).


Sebagai Daerah Istimewa, Yogyakarta sebetulnya memiliki potensi untuk mengatasi hambatan sektoral maupun spasial. Namun, belum terbentuknya undang-undang yang memerinci keistimewaan Yogyakarta itu menyebabkan koordinasi banyak tergantung pada kemauan politik para Bupati dan Walikota. Bisa dibilang kemauan politik tersebut belum ada saat itu, dan Gubernur, ketika itu dijabat oleh KGPAA Paku Alam VIII, tidak melihatnya sebagai sesuatu yang penting.


Contoh klasik yang sering saya kemukakan adalah terminal bus antarkota. Seharusnya cukup dipusatkan di satu tempat saja, ketika itu direncanakan di Giwangan, dan dikembangkan sistem transportasi perkotaan yang bermuara pada terminal tersebut. Namun, itu tak pernah bisa berjalan karena konsep Trans Jogja belum terpikirkan. Masalah saat itu adalah cara pembagian pendapatan dari terminal, bukan keinginan untuk membangun sistem yang akan berlanjut siapapun walikota atau bupatinya.


Walaupun TPA Piyungan dan IPAL Sewon kemudian dibangun sebagai fasilitas bersama, masalah pengelolaannya sampai sekarang masih belum tuntas. Padahal ini 25 tahun setelah dibangun!


Krisis sampah di Yogyakarta adalah masalah akut yang selalu berulang. Yang disalahkan selalu warga Piyungan yang menutup jalan masuk ke TPA. Mereka kehilangan kesabaran karena tak ada perbaikan pengelolaan TPA yang telah mengganggu hajat hidup mereka. Padahal, ada masalah sistemik yang harus dibenahi.


Dalam rancangan awal, pemisahan sampah harus dimulai dari rumah tangga, dan upaya daur ulang maupun pengomposan sampah organik dilakukan pada tingkat komunitas. Dengan demikian, volume sampah yang sampai di Piyungan dapat dikurangi sampai dua pertiga.


Namun, sistem pengelolaan sampah ini tidak pernah berjalan dengan baik. Bantul adalah contoh buruk tidak berjalannya sistem pengelolaan sampah. Orang membuang sampah di sembarang tempat karena tak ada pengangkutan sampah di lingkungannya. Karena itu, banyak ruas jalan kemudian digunakan sebagai tempat sampah liar.


Begitu pun penataan jalan Malioboro yang dirancang sebagai jalur pedestrian, sampai saat ini masih juga belum selesai. Semuanya dilakukan dengan coba dan salah (trial and error) tergantung pada selera siapa yang berkuasa. Saat ini yang kita lihat adalah sepotong jalan yang rapi dan ramai, namun tanpa roh sama sekali. Padahal contoh-contoh keberhasilan mengubah pusat kota yang hijau dan rendah karbon, dan tetap inklusif, sudah cukup banyak. Tak perlu lagi mengulang dari nol!

Rumah kontrakan kami di Jalan Cepit Baru, Kabupaten Sleman. Anak lelaki dalam foto adalah Ridwan sepupu Bunga yang datang dari Bandung. 1993.

Ketika pindah dari Ujung Pandang, kami mengontrak rumah di wilayah Cepit, dekat Jembatan Merah di atas sungai Gajah Wong, di Kabupaten Sleman. Ketika itu wilayah yang dilalui sistem irigasi Selokan Mataram itu masih sepi dan banyak lahan persawahan. Sekarang, wilayah itu sudah penuh sesak dengan perumahan mewah dan mal terbesar di Yogyakarta.

Bunga dengan teman-teman SDnya di muka rumah Timoho Asri III. Ketika itu mereka semua telah kelas 1 SMP tersebar di sekolah yang berbeda. September 1997.


Kemudian pada tahun 1994, kami pindah ke Timoho di Kota Madya Yogyakarta. Saya dipinjami rumah oleh adik sepupu yang berinvestasi dengan membeli rumah di Yogyakarta. Maka, uang yang dihemat dari tak membayar kontrak rumah dapat digunakan untuk membeli sebidang tanah.


Saya membeli lahan di Padokan, Kabupaten Bantul, yang sesuai dengan tata ruang kota merupakan wilayah pengembangan permukiman di barat daya Yogyakarta. Kami mulai membangun fondasi rumah pada 1996. Proses ini dilanjutkan sedikit demi sedikit, tergantung pada kesediaan dana. Baru pada 1998, setelah lebih dari dua tahun dibangun, rumah itu rampung dan siap ditempati.

Setelah terhenti selama lebih setahun, pembangunan rumah di Padokan dilanjutkan kembali pada bulan September 1997. Hal itu terjadi berkat Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tanpa bunga dari Bank Insyaf dan Bank Ery, kakak-kakak yang tinggal di Bandung.


Ini adalah rumah pertama kami setelah 13 kali pindah kontrakan sejak mulai menikah. Kami pindahan pada Oktober 1998, diantar para tetangga dari Timoho yang menyewa 2 metro mini. Kenduri bersama para tetangga di Padokan dilakukan pada malam harinya.

Kenduri bersama tetangga di rumah Padokan. Oktober 1998.


Serasa memulai hidup baru setelah 16 tahun pernikahan.

Teman-teman YUDP berkunjung ke rumah Padokan. Ketika itu saya telah meninggalkan YUDP untuk kedua kalinya. Februari 1999.