Ujung Pandang, kini kembali bernama Makassar, adalah kota pilihan pertama saya ketika memutuskan menjadi dosen di luar Jawa pada 1981. Perputaran nasib yang mengherankan membawa saya ke kota ini 9 tahun kemudian.


Sulawesi Regional Development Project (SRDP) adalah proyek kerja sama Pemerintah Indonesia dan Kanada untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui perencanaan dan pelaksanaan pembangunan terintegrasi (integrated regional development planning and implementation). Proyek ini dilaksanakan di 4 provinsi di Pulau Sulawesi. Intervensi proyek ini ialah memperkuat kelembagaan perencanaan di kabupaten dan provinsi, serta memberi insentif berupa block grant kepada rencana pembangunan kecamatan dengan prinsip-prinsip perencanaan pembangunan yang baik. Konsep block grant untuk kecamatan ini kemudian berkembang menjadi program Kecamatan Development Project (KDP) yang didanai Bank Dunia mulai 1998.


Saya sudah mengenal SRDP sejak tinggal di Kendari. Dua konsultan SRDP, Brian Fawcett tinggal di Kendari dan Noel Millson di Baubau, sudah sering bertemu dalam perjalanan saya mengunjungi proyek-proyek CARE di Sulawesi Tenggara. Kebetulan pendanaan kami sama-sama dari CIDA, sedangkan wilayah kerja kami berimpit di Kabupaten Kendari dan Kabupaten Buton. Selain itu, paling tidak ketika itu, semua aktor pembangunan di Sulawesi Tenggara saling kenal karena jumlah kami sedikit.

Saya bersama Harry Cummings, Direktur Proyek SRDP dan Profesor di School of Environmental Design and Rural Development di University of Guelph, Ontario, Canada. Foto ini diambil pada November 1990 ketika saya berkunjung ke Guelph untuk orientasi proyek SRDP.

Yang membujuk saya menerima pekerjaan ini adalah Greg Rooney, teman yang telah saya kenal di Jakarta. Greg sebelumnya adalah Kepala Perwakilan Canadian Universities Service Overseas (CUSO), sebuah organisasi non-pemerintah (ornop) Kanada yang mengirimkan relawan ke lembaga-lembaga pembangunan di Indonesia. Greg, yang ketika itu menjadi Koordinator Pelatihan, tidak memperpanjang kontraknya dengan SRDP.


Maka, ketika hubungan saya dengan CARE menjadi buruk karena isu standar ganda yang diterapkan untuk staf Indonesia, saya segera menerima tawaran Greg itu. Proses rekrutmen berlangsung sangat cepat, mungkin hanya seminggu. Saya melamar, kemudian bertemu Gary Hansen, Project Team Leader SRDP di Jakarta. Besoknya saya dikabari diterima dan dapat segera pindah ke Ujung Pandang. Baru sebulan kemudian, pada 28 September 1990, saya pindah pekerjaan.


Ketika saya bergabung dengan proyek ini, SRDP baru saja memasuki fase kedua, dengan pendanaan anyar sebesar 33 juta dolar Kanada untuk 5 tahun (1990-1995). Berdasarkan evaluasi pada fase pertama yang menekankan pada aspek pembangunan wilayah (regional development), fase kedua menekankan pelaksanaan perencanaan dari bawah (bottom-up planning) serta pelibatan ornop dan perempuan.


Yang menarik buat saya, tak ada perbedaan di antara para konsultan yang berkewarganegaraan Kanada maupun Indonesia. Memang para konsultan Indonesia dibatasi standar Bappenas untuk mendapatkan gaji yang persis sama dengan konsultan ekspatriat. Namun, gaji yang ditawarkan SRDP masih dua kali lipat dari gaji saya di CARE International Indonesia. Selain itu, saya mendapat fasilitas yang persis sama dengan semua rekan kerja berkebangsaan Kanada.

Peresmian kantor SRDP di Jalan Dr. Sutomo nomor 10, Ujung Pandang. Desember 1990.


Namun, bukan semata-mata gaji dan fasilitas yang menjadi faktor penarik. Saat itu, Reni dan Bunga bersedia bergabung bila saya kembali ke Sulawesi. Ketika kami pindah dari Kendari, Reni tidak bersedia tinggal di Bandung dan kembali ke pekerjaan lamanya di Jakarta. Saat saya menerima pekerjaan di SRDP, Bunga baru saja masuk sekolah dasar. Maka, mereka menunggu satu caturwulan sebelum pindah ke Ujung Pandang. Mereka baru bergabung pada bulan November 1990.

Saya bukan saja mewarisi pekerjaan dari Greg Rooney, melainkan juga semua fasilitas yang dia terima, termasuk rumah dan mobil dinas. Lebih dari itu, saya juga melanjutkan mempekerjakan Maria, asisten rumah tangga Greg, dan memelihara Daisy, anjing kampung yang diadopsi Greg.

Bunga bermain dengan Daisy. Setelah Daisy dibawa Gregg ke Samarinda, saya mengadopsi seekor anjing kampung dan diberi nama si Munding (Kerbau). Munding meninggal tertabrak mobil ketika saya sedang dalam perjalanan dinas setahun kemudian.

Setahun kemudian, Maria dan Daisy bergabung dengan Greg di Samarinda. Maria kemudian pensiun di tanah kelahirannya di Toraja. Sedangkan Daisy menjalani petualangan yang lebih menarik. Ketika Greg meninggalkan Indonesia, Daisy diadopsi keluarga Jepang yang bekerja di Samarinda. Beberapa tahun kemudian saya mendengar kabar dari Greg, Daisy meninggal di Jepang dan dikuburkan dengan penuh kehormatan di sana.


Tugas saya sebagai koordinator pelatihan adalah memperkuat kapasitas Bappeda di empat provinsi dan enam kabupaten pilot (Bone dan Enrekang di Sulawesi Selatan; Kendari dan Buton di Sulawesi Tenggara; Donggala di Sulawesi Tengah; dan Boolang-Mongondouw di Sulawesi Utara). Untuk itu, saya bekerja sama dengan Pusdiklat Depdagri serta empat universitas yang ada di Sulawesi: Universitas Hasanuddin, Universitas Halu Oleo, Universitas Tadulako dan Universitas Sam Ratulangi.


Mitra utama saya adalah Pusdiklat Wilayah 4 di Sudiang, di pinggiran kota Ujung Pandang. Bahkan saya disediakan ruangan kerja di sana. Hubungan saya dengan Pak Thamrin Tantu, Kepala Pusdiklat, juga sangat baik Namun, Pak Thamrin meninggal karena serangan jantung di usia relatif muda menjelang kepindahan saya dari Ujung Pandang pada 1992.

Pelatihan Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan (TMPP) kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Universitas Hasanuddin dan SRDP (Proyek Pembangunan Wilayah Sulawesi/PPWS). Maret 1992.


Seorang mitra yang kemudian menjadi sahabat sampai sekarang adalah Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin, Dr. Rusdian Lubis. Rusdian kemudian bekerja di Bappedal, Bank Dunia, Freeport-McMoRan, dan pensiun sebagai Kepala Badan Arbitrase Bank Pembangunan Asia (Chair of Compliance Review Panel).

Pekerjaan saya kemudian dibantu Emma Kolopita (sebelumnya Emma Wibowo) yang pernah menjadi Kepala Pusat Pelatihan Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) di Solo. Mbak Emma sebetulnya senior saya. Ia seangkatan dengan Mbak Tarie, mentor saya di Pusat Pelatihan PKBI. Namun, chemistry di antara kami berlangsung baik. Mbak Emma saya tugasi lebih banyak berhubungan dengan Pusdiklat Pemerintah, sedangkan saya mengelola hubungan dengan universitas dan lembaga-lembaga pelatihan swasta. Hubungan Mbak Emma dengan pengganti saya, Gabe Ferrazi, tampaknya tidak begitu baik. Ia berhenti dari SRDP tidak lama setelah saya meninggalkan Ujung Pandang.


Agenda pelatihan kami sebetulnya cukup sibuk. Setelah menjajaki kebutuhan pelatihan, kami memusatkan perhatian untuk meningkatkan kapasitas Bappeda provinsi dan kabupaten. Kompetensi utama yang ingin kami tingkatkan adalah perencanaan dari bawah, sebagaimana diamanatkan sistem perencanaan Indonesia (Pedoman Penyusunan dan Pengendalian Perencanaan Daerah/P5D).
Sebelumnya, pelaksanaan Musrenbang dianggap telah mewakili partisipasi masyarakat dalam perencanaan . Partisipasi dianggap selesai Ketika peserta mengisi daftar hadir. Saya kemudian memperkenalkan teknik-teknik penilaian pedesaan partisipatif (participative rural assessment/PRA) bekerja sama dengan Dr. Kedi Suradisastra dari Pusat Sosial Ekonomi Pertanian di Bogor. Kang Kedi dengan timnya beberapa kali datang ke Sulawesi untuk melaksanakan pelatihan dan melakukan mentoring bagi staf Bappeda yang mempraktikkan PRA dalam siklus perencanaan tahunan mereka.


Selain itu, kami juga berupaya mempengaruhi kurikulum penjenjangan yang wajib diikuti para perencana di tingkat kabupaten dengan materi yang lebih berorientasi pada pembangunan dari bawah. Dalam masalah ini kami tidak begitu berhasil, karena ketika itu perencana pembangunan masih belum menjadi jabatan fungsional. Jadi, tak ada insentif bagi staf Bappeda untuk melakukan perencanaan pembangunan dengan baik. Setiap saat mereka dapat dipindahkan ke dinas yang ada di kabupaten, atau ke tempat lain. Bagaimanapun juga dalam sistem kepegawaian ketika itu, jabatan struktural sebagai kepala seksi atau kepala bagian lebih memberikan ganjaran dibandingkan menjadi perencana pembangunan.


Masalah kapasitas dan fasilitas memang satu hal yang akut pada pemerintah daerah ketika itu. Salah satu contoh yang sering saya kutip adalah pengamatan di Bappeda Kabupaten Bolaang Mangondouw. Ketika itu, tercatat ada 42 pegawai Bappeda. Di area kantor Bappeda, di luar ruangan Kepala Bappeda hanya ada 20 meja. Selama seminggu saya bekerja di kantor Bappeda itu, saya tak pernah melihat deretan meja tersebut penuh. Kita dapat saja menduga mereka memang sibuk dengan tugas-tugas lapangan. Namun, Bappeda saat itu tidak memiliki cukup anggaran untuk perjalanan dinas. Sehingga mungkin saja mereka berada di luar kantor namun tidak sedang melakukan pekerjaan utamanya.


Sementara itu, mitra kami di Kabupaten Buton, pernah membatalkan keikutsertaannya dalam pelatihan karena harus mengurus kapal-kapal mertuanya yang ditangkap di Probolinggo. Ketika itu memang banyak terjadi penyelundupan dari dan ke Singapura. Para pemilik kapal barang (phinisi) di Sulawesi Tenggara biasanya membawa rotan atau kayu gelondongan ke Singapura. Kemudian dari sana mereka membawa sepeda motor, barang-barang elektronik, dan baju bekas (dikenal sebagai RB di Kendari). Tak heran, ada banyak sekali sepeda motor bodong berkeliaran di Sulawesi Tenggara. Seorang pemilik kapal pernah bercerita bahwa bila dia mengirimkan 20 kapal ke Singapura, dan 10 di antaranya tertangkap, ia masih meraup untung.


Saya melihat sendiri bagaimana anggaran perjalanan dinas yang sedikit itu harus dialokasikan untuk entertainment staf yang datang dari provinsi atau dari Jakarta. Karena tak ada anggaran untuk entertainment, maka Ketua Bappeda akan membuat Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) untuk membayar hotel dan makan tamu mereka itu. Padahal, mereka telah mendapatkan uang perjalanan dari instansi asalnya.


Menurut seorang staf Bappeda Sulawesi Utara, bila ada staf dari Kementerian Dalam Negeri datang, pemerintah daerah harus menanggung tiket, hotel, dan makan mereka. Dengan begitu, uang perjalanan yang diterima staf pusat itu utuh mereka terima sebagai tambahan penghasilan.


Pekerjaan saya dan Mbak Emma, meningkatkan kapasitas staf di garda depan, kemudian memang seperti memberikan plester pada penyakit kanker. Pelatihan yang bagaimana baiknya pun tak akan memberikan dampak tanpa perubahan sistem kerja dan budaya organisasi di pemerintahan. Insight dari pengalaman di Sulawesi ini kemudian saya pergunakan ketika mulai menangani masalah korupsi dan reformasi birokrasi setelah 1998.

Pelatihan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kerjasama antara SRDP dengan Biro Pusat Statistik (BPS). Ini adalah bagian dari peningkatan kapasitas staf Bappeda di Sulawesi mengenai perencanaan pembangunan ekonomi regional. Mei 1992.


Selama tinggal di Ujung Pandang saya tetap menjalin hubungan dengan teman-teman penggiat ornop di sana. Saya juga berusaha melibatkan ornop dalam pelaksanaan kegiatan SRDP, terutama dalam meningkatkan kualitas Musrenbang. Ornop yang sering saya libatkan adalah teman-teman dari Lembaga Pengkajian Pedesaan Pantai dan Masyarakat (LP3M ). Hubungan dengan Bung Sufri Laude dan isterinya, Nina Basira, kemudian masih berlanjut setelah kami pindah ke Yogyakarta.


Saya juga melanjutkan komunikasi dengan teman-teman jaringan WALHI. Teman-teman dari Sekretariat WALHI (sekarang disebut Eksekutif Nasional) bila berada di Ujung Pandang pasti singgah di rumah kami. Yang saya ingat Zulkarnain, Dina, dan Ade pernah singgah di rumah. Selain mereka, beberapa kawan lama dari Yayasan Mandiri, Zukri Saad, dan Toni “Pangcu”, juga pernah singgah dan menginap di rumah.

Saya hadir sebagai penggembira dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) kelima WALHI di Asrama Haji Sudiang, Kabupaten Maros, pada September 1992. Ada kejadian yang mengundang tawa ketika salah satu pembicara kunci, Dr. Rizal Ramli, diperkenalkan sebagai Rizal Malik oleh moderator yang berasal dari WALHI di Sulawesi Selatan. Rizal Ramli boleh jadi tokoh nasional ketika itu, tapi pada aras lokal rupanya nama Rizal Malik lebih dikenal orang!


Dua tahun di Ujung Pandang menjadi titik-balik dalam hidup saya untuk dua alasan. Yang pertama, ekonomi keluarga semakin membaik sejak kami tinggal di Ujung Pandang. Semua hutang-hutang saya untuk mengongkosi perjalanan Reni dan Bunga ke Ithaca dapat dilunasi. Selain itu, saya dan Reni punya banyak waktu bersama-sama, kemewahan yang sebelumnya jarang kami miliki.


Kami mulai mendiskusikan tujuan hidup kami. Jelaslah bagi saya bahwa selama ini keluarga kami terlalu berpusat pada diri saya: mimpi dan petualangan hidup di daerah baru dan menantang. Kami memutuskan untuk mengubah pusat hidup kami pada Bunga. Memberikan masa depan yang lebih baik, dan memberi pendidikan yang terbaik untuk menyiapkan masa depan itu kemudian menjadi tujuan hidup kami berdua.


Ketika itu Bunga baru berumur tujuh tahun. Namun dia telah mengalami sekolah di tiga taman kanak-kanak dan dua sekolah dasar di tiga kota yang berbeda: Jakarta, Kendari, dan Ujung Pandang. Sebagai anak tunggal yang sering berpindah-pindah sekolah dan tempat tinggal, tampaknya Bunga tak pernah punya sahabat dekat.

Kami di teras rumah kami di Jalan Lamadukelleng nomor 32 Ujung Pandang. Kini rumah kolonial itu telah dihancurkan dan berganti dengan rumah modern terbuat dari beton, besi dan gelas. Bentuknya sekarang seperti sebuah UFO salah mendarat.


Tinggal menetap di satu tempat merupakan pilihan terbaik. Tapi kapan, dan di mana?


Saya merencanakan untuk “pensiun” pada umur 40 tahun. Pensiun maksudnya tidak bekerja secara penuh waktu sehingga punya waktu lebih banyak untuk keluarga dan menekuni kegemaran saya. Pada saat itu keinginan saya adalah menjadi petani anggrek seperti Mochtar Lubis.


Kami kemudian juga memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta, bukan di Ujung Pandang atau di Bandung. Kami pikir untuk pendidikan Bunga, Jogja adalah kota yang tepat.


Untuk itu, saya menulis surat kepada dua teman yang memimpin perusahaan konsultan: Ismid Hadad dan Henny Buftheim. Saya mengatakan punya rencana bekerja sebagai konsultan paruh waktu bila ada kesempatan. Saya mengatakan bersedia menerima kontrak-kontrak jangka pendek, maksimal 100 hari kerja selama setahun.


Kesempatan itu datang lebih cepat dua tahun daripada rencana saya. Pada pertengahan 1992, PT Indesca, perusahaan konsultan yang didirikan oleh Henny Buftheim dan kawan-kawannya, menawarkan pekerjaan di Yogyakarta. Walaupun SRDP menawarkan perpanjangan kontrak untuk dua tahun kedua ketika kontrak berakhir pada September 1992, saya memutuskan menerima tawaran PT Indesca walaupun gaji dan fasilitasnya lebih kecil dari SRDP. Tinggal di Jogja mengkompensasi semua kekurangan itu.

Perpisahan dengan staf dan keluarga SRDP di rumah John Duff di Jalan Jenderal Sudirman Ujungpandang. Oktober 1992.


Keputusan saya meninggalkan SRDP itu tepat dan di waktu yang tepat pula. Tak sampai dua tahun kemudian, Pemerintah Indonesia menutup SRDP sebelum jangka waktu proyek berakhir, karena ada laporan internal University of Guelph yang “bocor”. Laporan itu diminta Komisi Etik University of Guelph untuk mengevaluasi keterlibatan universitas tersebut dalam proyek-proyek pembangunan di Indonesia. Saya tak pernah membaca laporan itu, namun kabarnya konsultan independen yang melakukan evaluasi menyatakan University of Guelph, secara langsung maupun tidak, terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Laporan itu merekomendasikan universitas tidak memberikan legitimasi kepada kediktatoran militer di Indonesia dan menghentikan keterlibatannya dalam proyek SRDP.


Tentu saja Pemerintah Indonesia marah ketika mengetahui soal laporan itu dan mengambil tindakan sebelum dipermalukan di forum internasional. Wacana yang dikembangkan pemerintahan Orde Baru, tentu saja, tak ada kediktatoran militer dan pelanggaran HAM di Indonesia! Indonesia baik-baik saja dipimpin Jenderal Besar Soeharto selama 32 tahun!