Kendari bagi saya seperti Banda Neira buat Hatta, dan Ende untuk Soekarno. Mereka dibuang pemerintah kolonial, sedangkan saya mengasingkan diri untuk dapat melihat persoalan Indonesia dari pinggiran.
Berada di pinggiran adalah sebuah kemewahan. Saya dapat melihat banyak persoalan dengan lensa lebih jernih, dan punya banyak waktu untuk melakukan itu.
Kendari pada 1989 adalah ibu kota provinsi yang setengah tertidur.
Menurut saya, seharusnya ibu kota provinsi berada di Baubau, kota pelabuhan tua yang ramai karena berada di jalur rempah dunia. Kesultanan Buton yang berpusat di Baubau wilayahnya meliputi Sulawesi Tenggara, dan pengaruhnya meluas ke kepulauan Maluku sebelah barat dan Nusa Tenggara.
Namun, ada satu kecelakaan sejarah. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang membuat lapangan terbang di sebuah desa nelayan kecil di teluk Kendari, membuat Kendari memiliki nilai strategis. Kendari kemudian dipilih sebagai ibu kota ketika Sulawesi Tenggara memisahkan diri dari provinsi Sulawesi Selatan pada 1964.
Ketika saya tiba di Kendari pada Juli 1989, kota itu hanya memiliki satu jalan raya yang menghubungkan Pelabuhan (kota lama di Kandai) dengan pusat pemerintahan provinsi di Mandonga dan pemukiman baru di Wua-Wua. Jalan dari Wua-Wua, tempat kami kemudian tinggal, terus berlanjut ke bandara yang jaraknya 20 km dari kota. Saat itu, hanya ada 70 km jalan aspal yang layak di seluruh provinsi. Padahal, provinsi ini adalah penghasil aspal Buton yang terkenal itu.
Jalan raya di dalam kota diapit teluk dan perbukitan. Ketika baru tiba, saya mendengar gurauan bila hendak membeli tanah di Kendari cukup diukur panjangnya di jalan raya saja. Kemudian pembeli dapat membuat patok sendiri “sekuat ia berlari” ke atas perbukitan di belakang jalan raya. Itu menunjukkan betapa rendahnya nilai lahan dan kepadatan penduduk di Kendari.
CARE telah memiliki proyek-proyek pengadaan air bersih di pedesaan Sulawesi Tenggara sejak awal dasawarsa 1980-an. Proyek-proyek itu dikelola dari kantor perwakilan di Makassar. Ketika CARE mendapatkan pendanaan program baru dari CIDA pada 1988, kantor-kantor proyek di Kendari dan Palu ditingkatkan menjadi kantor perwakilan yang memiliki kewenangan mengelola program dan sumber daya.
Saya datang sebagai Kepala Perwakilan (Chief Representative) – lebih tepat sebetulnya manajer program – yang baru dengan mandat mengembangkan portofolio program agar jadi lebih beragam. Pengadaan air bersih diintegrasikan dengan pendidikan sanitasi lingkungan dan reforestasi untuk menjaga sumber-sumber mata air.
Pendekatan baru yang terintegrasi ini membutuhkan tambahan keterampilan maupun perubahan cara kerja para petugas lapangan. Mereka yang sebelumnya bekerja dengan menekankan aspek engineering proyek air bersih di pedesaan, kemudian harus bekerja dengan lebih memperhatikan persiapan sosial, pelatihan dan pengorganisasian masyarakat, serta konservasi lingkungan hidup.
Upaya pertama yang saya lakukan adalah menjajaki kebutuhan pelatihan dengan kunjungan ke lokasi-lokasi proyek bersama para petugas lapangan. Perjalanan ke lokasi di Kabupaten Kendari dan Kolaka hanya dapat dilakukan dengan sepeda motor. Saya harus melalui jalan-jalan tanah yang berlumpur ketika hujan. Sedangkan lokasi proyek di Pulau Muna dan Buton hanya dapat dicapai dengan perahu cepat (speedboat). CARE memiliki satu perahu cepat yang digunakan untuk transportasi staf dan pengangkutan material pembangunan instalasi air bersih.
Perjalanan dari Kendari ke Raha, ibu kota Kabupaten Muna, dan Baubau, ibu kota Kabupaten Buton, dapat ditempuh dengan kapal motor penumpang. Ini adalah phinisi yang dimodifikasi menjadi kapal penumpang. Saya masih ingat nama-nama kapal yang melalui jalur ini: I Lologading, dan I Mallombasi. Keduanya adalah nama kecil dari Sultan Hasanuddin dari Gowa.
Perjalanan dimulai sore hari, baik dari Kendari maupun Baubau. Kemudian, kapal dari dua kota ini akan bertemu di Raha pada tengah malam. Kota Raha yang sepi menjadi ramai menjelang dan setelah tengah malam, saat kapal penumpang bertemu di pelabuhan. Ketika kapal motor cepat yang berangkat pada pagi hari diperkenalkan, seluruh ekonomi Raha yang bertumpu pada pelabuhan menjadi mati.
Saya pernah melakukan perjalanan dari Kendari ke Baubau melalui darat menggunakan mobil dinas. Ketika itu, hanya ada kapal feri yang menghubungkan Tinanggea di ujung daratan pulau Sulawesi ke Tampo di ujung utara pulau Muna. Kemudian dari Tampo disambung 4 jam perjalanan melalui hutan jati, perkebunan jambu mete, dan pegunungan kapur (karst) ke Waraa di ujung tenggara pulau Muna. Semakin ke selatan, iklim semakin kering dan lahan semakin gersang serta jarang pepohonan. Ketika itu Gubernur Alala sedang menggalakkan penanaman pohon jambu mete melalui Gerakan Desa Makmur Merata (Gersamata). Sulawesi Tenggara kemudian akan menjadi Propinsi penghasil jambu mete terbesar.
Dari Waraa ke kota Baubau di pulau Buton, jip harus dinaikan ke atas pincara, rakit yang dibuat dari dua perahu motor dengan hamparan papan untuk alas mobil. Satu petualangan yang menegangkan karena banyak kejadian mobil jatuh ke laut. Sampai saat ini, pincara masih banyak digunakan untuk penyeberangan sungai di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Bila hendak ke lokasi-lokasi proyek di Kepulauan Tukang Besi – Wangi-Wangi (Wanci), Kaledupa, Tomia dan Binongko – dan di Pulau Kabaena, dari Baubau saya harus naik kapal motor penumpang selama semalam lagi. Kapal penumpang ini mengangkut pula bahan kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) untuk pulau-pulau yang pada saat itu masih terpencil.
Sulawesi Tenggara ketika itu memiliki suasana seperti wilayah perbatasan (frontier town). Jauh dari mana-mana, termasuk dari jangkauan manajemen dan penegakan hukum. Hal pertama yang harus saya lakukan sebagai manajer baru adalah menegakkan integritas dan melawan korupsi. Proyek air bersih, seperti juga proyek infrastruktur lainnya, melibatkan banyak pengadaan material untuk instalasi mata air, perpipaan, keran, dan kamar mandi umum. CARE membantu masyarakat dengan perencanaan dan material. Sedangkan masyarakat menyediakan tenaga kerja dan perawatan setelah instalasi selesai.
Beberapa bulan pertama, saya memperkenalkan cara kerja dan standar manajemen program yang baru melalui pelatihan-pelatihan kepada para petugas lapangan. Saya katakan bahwa dalam waktu tiga bulan saya akan memantau kinerja teman-teman di lapangan, terutama soal integritas. Bila masih ada yang menyelewengkan pembelian material maupun menggunakannya untuk kepentingan pribadi, saya tak segan memberikan sanksi pemecatan. Itulah yang terpaksa saya lakukan dalam enam bulan pertama saya di Kendari. Tiga staf lapangan harus diberhentikan.
Mereka adalah orang-orang lapangan yang keras, kadang-kadang menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, dan punya harga diri tinggi. Peristiwa pemberhentian itu saya lakukan sendiri. Saya meminta mereka datang ke kantor di Kendari, kemudian saya ajak berbicara satu-satu. Saya kemukakan semua data yang saya miliki dan menyatakan CARE tak dapat lagi mempekerjakan mereka. Namun, saya berjanji akan menjaga nama baik mereka dan memberikan semua haknya sebagai karyawan yang berhenti dengan sukarela. Semua berakhir dengan baik, walaupun saya telah meminta staf yang lain agar segera masuk ke dalam ruangan saya bila mendengar ada keributan.
Memberikan umpan balik secara personal dan terus terang kemudian menjadi gaya manajemen saya. Selama 40 tahun saya bekerja, separuhnya dalam posisi manajemen, saya tak pernah marah kepada anggota tim di muka umum. Kecuali satu kali, ketika kecerobohan seseorang dapat merugikan orang banyak.
Saya juga selalu berusaha membangun kerja sama tim yang solid, yang saya pelajari dari Mbak Tarie di PKBI. Upaya mempersiapkan pengganti (succession plan), belajar dari Lao Tse, pun menjadi pola standar manajemen saya. Yang lainnya adalah menerapkan kesetaraan gender, yang merupakan ideologi PKBI, di mana pun saya bekerja.
Boleh dikatakan, Kendari adalah tempat saya mengujicobakan prinsip-prinsip manajemen dan pengembangan masyarakat yang sebelumnya dipelajari melalui buku, diskusi, dan seminar.
Tahun 1989, hanya ada satu ornop internasional lain bekerja di Sulawesi Tenggara, yakni Family Health International. Kepala perwakilannya seorang berkebangsaan Amerika Serikat yang datang dengan keluarganya. Ia membangun kolam renang di halaman rumahnya. Beberapa kali ia mengajak saya dan keluarga untuk datang dan berenang di rumahnya. Ketika itu belum ada kolam renang umum di Kendari.
Selain itu, ada 11 orang insinyur asal Inggris yang bekerja untuk perusahaan Swiss, Electrowatts Engineering. Mereka melakukan studi pendahuluan (feasibility study) untuk proyek infrastruktur besar, yakni bendungan dan sistem irigasi persawahan, di Rawa Aopa. Para insinyur ini punya banyak waktu di Kendari, sehingga mereka membangun sebuah lapangan squash di kantornya. Saya mulai belajar squash di sana. Selama bertahun-tahun hanya ada dua lapangan squash di seluruh Indonesia. Satu di Hotel Borobudur di Jakarta, dan satu di Kendari.
Ketika saya tiba di Kendari, hanya ada satu ornop lokal yang didirikan oleh para alumni Universitas Halu Oleo. Saya beberapa kali diminta jadi narasumber dalam diskusi mereka, atau mereka datang ke kantor CARE untuk berkonsultasi.
Dua orang penggiatnya kemudian berhubungan lama dengan saya: Laode Ida yang pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Hugua yang pernah menjadi Bupati Wakatobi dan sekarang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP). Keduanya pernah mencalonkan diri menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara pada waktu yang berbeda, namun tidak berhasil terpilih.
Ketika saya meninggalkan Kendari setahun kemudian, ornop itu telah pecah menjadi beberapa ornop karena konflik internal.
Reni dan Bunga bergabung dengan saya pada akhir 1989. Kami mengontrak rumah di Lorong PLN di Wua-Wua. Disebut Lorong PLN karena rumah kontrakan kami berada di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang beroperasi selama 24 jam. Pada beberapa malam pertama di sana, kami hampir tak dapat tidur karena bisingnya suara PLTD. Namun kemudian kami dapat menyesuaikan diri dan tidur dengan nyenyak.
Pada pertengahan 1990, setelah satu tahun bekerja di Kendari, saya mendapat tawaran menjadi Kepala Perwakilan CARE di Jawa Barat. Ketika itu, kantor Jawa Barat adalah kantor lapangan terakhir yang masih dipimpin oleh seorang ekspatriat. Tugas saya antara lain adalah memfasilitasi proses Indonesianisasi yang baru dimulai CARE International di Indonesia. Rancangannya, dalam waktu beberapa tahun akan terbentuk CARE Indonesia yang otonom sebagai anggota federasi CARE International.
Saya menerima tawaran tersebut, namun saat itu ternyata ada standar ganda yang berlaku di banyak ornop internasional. Dengan jabatan dan tanggung jawab sama dengan Gary Filipii, yang saya gantikan sebagai Kepala Perwakilan Jawa Barat, fasilitas yang saya terima berbeda. Standar ganda ini kemudian akan terus menerus saya tentang di semua lembaga internasional tempat saya bekerja.
Setelah hampir sebulan di Bandung, saya mengajukan surat pengunduran diri kepada CARE International. Saya menjadi Kepala Perwakilan CARE Jawa Barat hanya 52 hari!
CARE International karena alasan lain – bukan karena kepindahan saya – kemudian menghentikan proses Indonesianisasi yang telah dimulai. Yayasan CARE Peduli sebagai organisasi otonom yang menjadi anggota Federasi CARE International baru terbentuk pada 2018, dua puluh tahun setelah gagasan ini dimulai.
Saya kemudian kembali ke Sulawesi dan bekerja di Sulawesi Regional Development Project (SRDP), sebuah proyek kerja sama Pemerintah Indonesia dan Kanada yang dilaksanakan University of Guelph. Kantor proyek ini berada di Ujung Pandang – sebelum 1971 bernama Makassar, dan pada 2000 kembali berganti nama menjadi Makassar.
Keren, Rizal.
Catatan yg bisa jadi pembelajaran dan pencapaian.
Terima kasih, Lin. Kita sama2 belajar dari CARE, dan organisasi juga tentunya belajar dari stafnya. Salam.