Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) keempat dilaksanakan di Sawangan, Depok, pada 1-4 Juni 1989. Tradisi membuat PNLH pada awal Juni dimaksudkan agar para peserta dapat merayakan Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni bersama-sama.
Pertemuan Nasional didahului dengan Simposium “Peranan Media Komunikasi dalam Advokasi Masalah Lingkungan Hidup” yang diikuti seluruh peserta PNLH. Narasumbernya adalah para pakar dan praktisi media massa, seperti Ishadi (Direktur TVRI), Tuti Adhitama (Pemimpin Redaksi majalah Eksekutif), Nasir Tamara (mantan wartawan Tempo dan Sinar Harapan), Bens Leo (penyiar radio Amigos sekaligus redaktur musik dan hiburan majalah Gadis), Sys NS (penyiar radio Prambors dan Managing Editor tabloid Bintang Indonesia), Eros Jarot (musisi), Amir Effendi Siregar (Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan Penerbitan Yogya/LP3Y) dan saya. Amir Effendi Siregar dan saya adalah narasumber dari partisipan WALHI.
Saya menyampaikan makalah berjudul “Strategi Advokasi Lingkungan Hidup di Indonesia”. Dalam makalah itu, saya menulis mengenai kendala media massa dalam menyalurkan kepentingan masyarakat (public interest) karena lingkungan politik Indonesia yang membatasi kebebasan pers. Kemudian saya menguraikan cara media massa dapat menyiasati keterbatasan itu dalam upaya mempengaruhi kebijakan lingkungan hidup. Secara terperinci, saya menjelaskan model daur hidup kebijakan (policy cycle model) yang terdiri dari 5 tahapan: penyusunan agenda, formulasi dan pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pemantauan dan reformasi kebijakan, serta pembatalan kebijakan.
Saya menulis agar WALHI tidak terlalu memusatkan perhatian pada penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah. Melainkan, memusatkan perhatian pula pada penyusunan agenda (agenda setting) dan pemantauan pelaksanaan kebijakan. Saya juga menyarankan WALHI memprioritaskan tiga hal: (1) memperkuat basis informasi lingkungan hidup yang ada pada ornop partisipan; (2) menyusun prioritas isu lingkungan hidup yang akan diadvokasikan dalam jangka tiga tahun mendatang; dan (3) membangun kerja sama dengan kelompok kepentingan lain (serikat buruh, organisasi tani, dan organisasi massa lainnya). Ketika itu saya belum mengenal konsep masyarakat sipil (civil society) sehingga tidak menggunakan istilah organisasi masyarakat sipil (OMS).
Membaca kembali makalah yang saya tulis 34 tahun lalu itu, saya melihat kerangka koalisi advokasi (advocacy coalition framework) masih relevan digunakan untuk konteks Indonesia sekarang. Walaupun, saya punya kritik besar pada daur kebijakan publik yang saya gunakan sebagai alat analisis dahulu.
Ketua Panitia Simposium dan PNLH adalah Agus Pratama Sari, yang ketika itu masih mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI). Agus kemudian turut serta mendirikan Yayasan Pelangi dan mendapatkan PhD dalam bidang energi dan sumberdaya (Energy and Resources) dari UC-Berkeley. Agus kini dikenal sebagai pakar energi, perubahan iklim, dan pendanaan hijau (green financing) di Indonesia.
Saya dimasukkan sebagai salah satu narasumber simposium itu tentu saja agar menambah visibilitas saya sebagai calon Direktur Eksekutif WALHI di kalangan peserta PNLH. Namun, sepulang dari Sintra, saya telah berbicara dengan Mbak Erna dan Pungki untuk menyatakan tidak akan mencalonkan diri menjadi Direktur Eksekutif (DE) WALHI. Tentu saja, Mbak Erna sangat kecewa dan marah. Namun, mereka masih berharap saya dapat diyakinkan dan mengubah keputusan tersebut.
Oleh karena itu, masa pencalonan DE WALHI dilakukan sampai saat menjelang pemilihan di hari terakhir sebelum penutupan PNLH. Selama PNLH, banyak teman-teman partisipan WALHI yang terus berusaha membujuk saya mencalonkan diri sebagai DE.
Menjelang PNLH berakhir, yang mencalonkan diri menjadi DE WALHI adalah Zulkarnain MS dari Yayasan Mandiri. Staf WALHI yang tidak begitu suka dengan gaya bullying Zul, kemudian mencalonkan Dodo Sambodo. Sampai saat terakhir pencalonan hanya mereka berdua yang mencalonkan diri. Dalam pemungutan suara, Zul menang dengan margin yang cukup besar.
Zul ternyata memang orang yang tepat untuk menjadi ujung tombak advokasi WALHI pada masa-masa setelah PNLH 4. WALHI semakin keras mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah. Untuk pertama kalinya, WALHI menuntut Pemerintah (Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur Sumatra Utara) dan PT Inti Indorayon Utama dalam kasus pencemaran dan perusakan lingkungan Danau Toba. Gugatan itu kemudian kalah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Agustus 1989. Namun Pengadilan mengakui legal standing WALHI dalam perkara lingkungan hidup, walaupun bukan masyarakat yang langsung terdampak. Hal ini kemudian menjadi rujukan hukum (jurisprudence).
Kini PT Inti Indorayon Utama telah berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, dan perusakan ekosistem Danau Toba masih berlanjut terus sampai sekarang!
Sepulang dari Sintra, saya mulai mencari kesempatan kerja di luar Jakarta. Ketika itu ada dua dari 27 provinsi di Indonesia yang belum saya datangi: Sulawesi Tenggara dan Timor Timur (kini telah merdeka dan menjadi Timor Leste).
Kebetulan pada saat itu CARE International mencari manajer program untuk Sulawesi Tenggara. Saya segera melamar dan diterima. Staf CARE yang mewawancarai saya sempat ragu apakah saya betul-betul bersedia ditempatkan di Kendari. Melihat CV saya yang sama sekali tidak punya pengalaman lapangan, bahkan lebih banyak bekerja dalam isu-isu nasional dan internasional, ia sempat mengkonfirmasikan kembali dalam proses wawancara bahwa posisi ini berada di Kendari, bukan di Jakarta. Saya meyakinkan dia bahwa satu-satunya alasan saya melamar adalah karena posisi itu di Kendari, dan bukan di tempat lain.
Saya mengajukan surat pengunduran diri kepada PKBI pada Mei 1989, dan masih bekerja sampai akhir Juni 1989. Walaupun begitu, saya tetap bersedia menyelesaikan semua tugas-tugas untuk Panitia Studi Masa Depan PKBI. Hasil akhir Studi Masa Depan baru disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional PKBI pada Desember 1989.
Saya tetap hadir di PNLH sampai penutupan. Malam itu, saya dimarahi teman-teman dari seluruh Indonesia yang telah menyiapkan suaranya untuk mendukung saya. Mbak Erna tak dapat memaafkan saya karena tidak menepati perjanjian Sri Thai. Mulai malam itu ia tidak lagi menegur saya. Hal itu berlangsung sampai bertahun-tahun kemudian. Saya diekskomunikasi.