Manfred Oepen tak pernah melupakan pembelaan saya di pertemuan Bukittinggi. Pada bulan Januari 1989 ia menghubungi dan bertanya apakah saya berminat mengikuti konferensi yang dilaksanakan Fredrich Naumann Stiftung (FNS). Konferensi itu, Conference on Economic Development and Environmental Protection, dilaksanakan pada minggu terakhir Februari di Pusat Pelatihan FNS yang baru dibuka di Sintra, satu kota kecil di Portugal.


Namun, ada dua persoalan dengan undangan ini. Yang pertama, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tempat saya bekerja bukan mitra FNS dalam pengertian mendapatkan pendanaan dari FNS. Manfred mengatakan itu tidak jadi soal, karena mereka mengundang peserta lain yang bukan mitra FNS. Saya juga diijinkan atasan saya untuk meninggalkan pekerjaan di PKBI selama 10 hari. Pak Abdullah Syarwani, Direktur Eksekutif PKBI, adalah mantan staf Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan teman baik Manfred Oepen.


Persoalan kedua, Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Portugal. Ketika Indonesia menduduki Timor Leste pada 1974, Portugal memutuskan hubungan diplomatik. Ketika itu kepentingan-kepentingan Portugal diurus Kedutaan Besar (Kedubes) Belanda di Jakarta, sedangkan kepentingan Indonesia diurus Kedubes Singapura di Lisboa. Perlu waktu paling tidak enam minggu untuk mengurus visa melalui Kedutaan Belanda, padahal waktu konferensi sudah mendesak. Namun Manfred meyakinkan saya, semuanya bisa diatur.


Maka saya pun berangkat dengan tiket pesawat kelas bisnis, Jakarta-Amsterdam-Lisboa, tanpa visa dan bekal uang sama sekali. Pengaturan FNS ketika itu adalah menyediakan tiket kelas bisnis dan hotel terbaik selama transit, namun tak ada uang saku atau per diem. Saya lupa dari mana punya uang $100 di kantong ketika itu. Mungkin diberikan PKBI.


Setibanya di Bandara Lisboa, saya ditahan petugas imigrasi Portugal. Mereka tak tahu apa yang mereka harus lakukan pada saya. Saya dioper dari satu petugas ke petugas lain. Saya sudah tunjukkan undangan pertemuan dari FNS dan kontak saya di Portugal yang diberikan Manfred. Akhirnya setelah lebih dari 2 jam menunggu, saya diizinkan masuk. Mungkin mereka telah menelepon kontak saya itu, atau atasan mereka di kantor Imigrasi. Saya tak jadi dideportasi!

Lembar visa saya masuk Portugal 1989.


Pertemuan diadakan di Sintra, sebuah kota kecil cantik di sebelah barat Lisboa. FNS baru membeli sebuah vila yang dijadikan tempat retret dan pusat konferensi. Ini dibuat untuk para demokrat generasi ketiga dari negara-negara di Eropa Selatan, yang baru saja kembali ke sistem politik demokrasi sejak Revolusi Bunga di Portugal pada 1974.

Kota Sintra yang cantik.


FNS, seperti juga yayasan-yayasan pembangunan Jerman lainnya, berafiliasi dengan partai politik. Induk FNS adalah Partai Demokrat Bebas (Freie Demokratische Partei/FDP) yang beraliran liberal. Di Jerman, FDP merupakan partai nomor 3 setelah Partai Demokrat Sosial (Sozial Demokratische Partei/SDP) dan Partai Demokrat Kristen (Christlich Demokratische Union Deutschlands/CDU). SDP memiliki Fredrich Ebert Stiftung (FES), sedangkan CDU/CSU memiliki Konrad Adenauer Stiftung (KAS).


Konferensi yang saya hadiri dibuat untuk membahas laporan Komisi Brundtland, Our Common Future, yang baru saja dipublikasikan. Laporan itu untuk pertama kalinya memperkenalkan kata pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sebuah upaya menyeimbangkan antara ekonomi pasar (profit), kemanusiaan (people) dan lingkungan hidup (planet). FNS mengajak mitranya melakukan refleksi mengenai konsekuensi dari laporan itu kepada program mereka.

Conference on Economic Development and Environmental Protection, 28 Februari – 3 Maret 1989.


Peserta pertemuan itu sebagian besar adalah mitra FNS dari Amerika Selatan, Asia, Afrika, dan Eropa Selatan (Portugal, Spanyol, Italia, dan Yunani). Mitra FNS dari Amerika Selatan dan Eropa semuanya mewakili yayasan yang berafiliasi dengan partai liberal di negaranya masing-masing. Maka, konferensi itu menjadi seperti pertemuan partai.

Konferensi dengan terjemahan langsung dalam 3 bahasa.


Yang jadi isu utama perdebatan adalah bagaimana tuntutan baru untuk menyelamatkan lingkungan akan berpengaruh terhadap mekanisme pasar dan pembangunan ekonomi. Ideologi partai liberal adalah pro-bisnis dan meminimalkan intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar.


Saya adalah satu-satunya peserta dari Indonesia. Selain saya, dari Asia ada juga peserta dari India dan Malaysia. Kami bertiga kebetulan tidak punya afiliasi dengan partai liberal, dan punya kecenderungan menganut dirigisme – sistem ekonomi yang dikendalikan pemerintah– karena pengaruh Nehru, Soekarno, dan Nyerere.


Maka, kami bertiga agak menyempal dari peserta yang lain. Kebetulan pula seperti ada pembagian berdasarkan bahasa. Konferensi berlangsung dalam 3 bahasa, yakni Inggris, Spanyol, dan Perancis. Kubu liberal dalam bahasa Spanyol, sedangkan para pengkritiknya dalam bahasa Inggris.

Saya di muka tempat konferensi di Sintra, 1989.


Di sela-sela konferensi, para petinggi FNS dari Jerman mengajak saya berbicara mengenai kondisi politik di Indonesia. Mereka ingin tahu pendapat saya mengenai isu kebebasan di Indonesia. Mereka meyakini Islam sebagai kelompok strategis yang penting, dan menurut mereka Islam itu kompatibel dengan ideologi liberalisme. Karena itulah mereka memusatkan bantuan mereka pada komunitas pesantren di Indonesia melalui Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).


Saya mengkritik pendekatan itu karena, mengutip Deliar Nur dan Taufik Abdullah – dua orang alumni Cornell – pesantren itu tradisional dan feodalistik. Seharusnya mereka bekerja sama dengan Muhammadiyah yang basis ekonominya adalah para petite bourgeoisie seperti juragan batik Pekalongan dan Laweyan, serta para pemilik toko kecil dan restoran Padang di perkotaan. Ketika itu, saya masih meyakini sosialisme yang demokratis hanya bisa muncul melalui tahapan sistem ekonomi pasar kapitalistik.


Tentu saja pendapat saya ketika itu mengenai Islam yang liberal kemudian tidak terbukti. Garis pembatas antara Islam yang tradisional dan modernis menjadi semakin kabur dan tidak relevan. Ada satu periode pengurus Muhammadiyah malahan lebih konservatif daripada pengurus Nahdhatul Ulama (NU). Bahkan, gerakan salafi takfiri muncul dari kelompok Islam yang terdidik dan urban, bukan komunitas Islam tradisional.


Dalam perjalanan pulang dari Lisboa, saya memikirkan perdebatan yang berlangsung selama konferensi. Saya merasa belum cukup mengenal Indonesia. Saya memutuskan meninggalkan hiruk-pikuk Jakarta dan belajar mengenai realitas Indonesia. Menjadi Direktur WALHI atau PKBI jelaslah bukan jalan yang ingin saya lalui.