Tahun 1988, saya berumur 32 tahun. Karir saya belum di puncak, tapi sedang menuju ke sana. Secara bergurau teman-teman mengatakan saya adalah “putra mahkota” di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Saya mestinya akan menjadi Direktur Eksekutif (DE) bila Pak Abdullah Syarwani, DE ketika itu, memutuskan lengser. Ketika itu perjanjian Sri Thai belum terbuka, sehingga teman-teman belum mengetahui komitmen saya untuk WALHI.
Awal tahun 1988, saya baru saja ditunjuk menjadi anggota panitia Studi Masa Depan PKBI bersama para relawan senior seperti Prof. Masri Singarimbun, Prof. Priyono Tjiptoheriyanto, Dr. Kartono Mohammad, Dr. Azrul Azwar, dan Dr. Firman Lubis. Tugas panitia ini adalah menyusun Rencana Jangka Panjang PKBI selama 25 tahun (1990-2015). Bukan satu kebetulan, selama 20 tahun Ketua Pengurus Nasional PKBI adalah para anggota panitia studi ini. Secara berurutan: Dr. Kartono Mohammad (1990-1996), Prof. Azrul Azwar (1996-2002), Prof. Priyono Tjiptoheriyanto (2002-2006), dan saya (2006-2010).
Saya juga jadi “anak emas” para elit organisasi non-pemerintah (ornop) Indonesia ketika itu. Saya ditunjuk konsorsium ornop Indonesia sebagai konsultan untuk merancang pola kerja sama ornop Indonesia-Kanada yang dibiayai oleh Lembaga Kerja Sama Pembangunan Kanada (CIDA).
Ketika itu, CIDA ingin mengubah pola pendanaan yang bersifat proyek dan jangka pendek (tahunan) menjadi pendanaan program untuk 5 tahun. Para calon penerima manfaat – ornop Indonesia dan ornop Kanada – diminta menunjuk masing-masing satu konsultan untuk merancang program itu. Ornop Indonesia menunjuk saya, dan ornop Kanada menunjuk Raymond Cournoyer. Raymond adalah aktivis ornop cukup senior di Kanada. Ia pernah menjadi Direktur CUSO untuk Kawasan Asia. Ia pernah pula mencalonkan diri menjadi anggota parlemen mewakili Quebec, namun tidak terpilih.
Saya dan Raymond bekerja selama dua bulan. Raymond datang ke Jakarta dan bertemu dengan ornop Indonesia, kemudian saya pergi ke Kanada untuk bertemu dengan ornop Kanada. Yang paling berkesan bagi saya dalam kunjungan itu adalah pertemuan dengan Ian Smilie dari North-South Institute di Ottawa. Ian memberikan kritik keras pada pola-pola bantuan yang membuat ketergantungan ornop di belahan bumi selatan pada ornop di utara. Ia menantang saya dan Raymond untuk membuat desain yang justru melepaskan ketergantungan itu. Ian Smilie kemudian menuliskan kritiknya kepada ornop utara dalam bukunya The Alms Bazaar yang terbit pada 1995.
Saya dan Raymond kemudian menyampaikan rekomendasi kami dalam satu pertemuan ornop Indonesia-Kanada di Jakarta. Kami merancang program ini sebagai “Trust Fund” untuk pengembangan kapasitas ornop di luar Jawa, terutama di Indonesia Timur. Dalam desain ini, para ornop Indonesia dan Kanada yang selama ini menjadi penerima manfaat proyek-proyek CIDA, kami tempatkan sebagai trustee atau Wali Amanat.
Rekomendasi kami ditolak oleh kedua belah pihak, karena sebagai trustee mereka tak akan mendapatkan akses pendanaan dari program CIDA. Selain itu, gagasan kami mungkin terlalu maju untuk zamannya. Gagasan pengembangan kapasitas ornop di Indonesia Timur ini kemudian malahan diambil alih oleh Bank Dunia dalam bentuk Support Office for Eastern Indonesia (SOfEI) pada 2004. SOfEI ini kemudian menjadi Yayasan BaKTI pada 2009.
Para peserta pertemuan kemudian merombak rekomendasi kami dan membentuk konsorsium ornop Indonesia-Kanada sebagai lembaga pelaksana program ornop yang didanai CIDA. Konsorsium ini di kemudian hari bertranformasi menjadi Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA).
Perdebatan dalam pertemuan itu adalah awal kekecewaan saya pada elit ornop Indonesia ketika itu. Ada kesenjangan antara apa-apa yang dibicarakan dengan apa-apa yang dilakukan. Realitasnya memang ornop Indonesia maupun Kanada, ketika itu, bertindak sebagai calo untuk menyalurkan dana pembangunan dari lembaga pendanaan bilateral seperti CIDA.
Pada bulan Oktober 1988, komunitas ornop Indonesia melaksanakan pertemuan besar di Bukittinggi. Pertemuan ini didanai Friedrich Naumann Stiftung (FNS), sebuah yayasan dari Jerman yang selama ini mendanai Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Agenda dan peserta pertemuan ditentukan sendiri oleh ornop Indonesia. Hampir semua ornop besar dan kecil hadir dalam pertemuan itu. Semua Big Indonesian NGOs (BINGOs) yang kemudian disebut sebagai konsorsium 13 ornop Indonesia (Bina Swadaya, Bina Desa, LP3ES, Lembaga Studi Pembangunan/LSP, P3M, PKBI, Yayasan Indonesia Sejahtera/YIS, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/YLKI, WALHI) hadir di situ. Begitu pula ornop-ornop dari luar Jakarta dan luar Jawa (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan/LPTP, Yayasan Mandiri, Yayasan Dian Desa, Bina Ketrampilan Pedesaan/BITRA, Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa/YPMD). Ada kurang lebih 100 orang penggiat ornop Indonesia hadir dalam pertemuan itu.
Ada dua anak muda yang baru muncul dan menonjol dalam pertemuan itu. Mereka kemudian akan memainkan peran penting dalam perkembangan masyarakat sipil Indonesia: Emmy Hafild dari Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI) dan Vedi Hadiz dari Society for Political and Economic Studies (SPES) yang merupakan “anak” LP3ES. Vedi ketika itu menjadi pelapor (rapporteur) yang pada akhir pertemuan menyampaikan butir-butir kesimpulan pertemuan.
Pertemuan itu dimaksudkan sebagai ajang refleksi ornop Indonesia, dan menyusun strategi dalam memposisikan ornop menghadapi aktor-aktor lain (Pemerintah, dan dunia bisnis). Namun sebelum pertemuan, beredar sebuah surat kaleng yang mempertanyakan legitimasi pertemuan tersebut, dan mengkritik elit ornop Indonesia yang dianggap sebagai calo dan komprador. Surat tersebut ditandatangani oleh “Jaringan LSM Jakarta, Bogor dan Bandung (dahulu)”.
Berdasarkan gaya bahasa surat dan printer dot-matrix yang dipergunakan, saya dapat menduga penulis surat kaleng itu. Tapi karena sampai saat ini belum ada yang maju ke muka mengakui sebagai penulis (dalam plural karena jelas sekali surat itu ditulis oleh beberapa orang), biarlah penulis surat itu tetap menjadi misteri.
Manfred Oepen yang merupakan perwakilan FNS di Indonesia, dalam pidato pembukaan mengungkapkan persoalan yang dituliskan dalam surat kaleng itu. Ia langsung mendapat serangan dari para elit ornop Indonesia. Saya mungkin satu-satunya peserta yang secara terbuka membela Manfred, dan menyatakan pentingnya membahas kritik yang dilontarkan oleh surat kaleng itu.
Pertemuan Bukittinggi kemudian menjadi arena pembelaan diri dari para elite ornop Indonesia. Agenda pertemuan malahan menjadi perdebatan mengenai butir-butir kritik yang diajukan para penulis surat: hubungan ornop Indonesia dengan donor dan ornop utara, peran intermediary ornop-ornop besar Indonesia, dan hubungan ornop Indonesia dengan konstituennya serta organisasi masyarakat lain seperti serikat buruh, serikat tani dan kelompok miskin kota. Para penulis surat kaleng itu berhasil mengubah agenda pertemuan Bukittinggi seperti yang mereka mau!
Seingat saya pertemuan itu tidak menghasilkan satu program aksi yang jelas dan mengikat. Pertemuan hanyalah ajang menyampaikan frustrasi terhadap keadaan, Orde Baru sedang berada dalam puncak kekuasaannya, dan tampaknya tak banyak terobosan membuka ruang demokrasi yang dapat dilakukan ornop Indonesia.
Sepulang dari Bukittinggi, saya semakin mengambil jarak dengan para elit ornop Indonesia. Saya sedang dalam transformasi dari seorang “anak emas” mereka menjadi “anak durhaka” atau si Malin Kundang. Selain itu, ada masalah pribadi yang harus saya selesaikan di tahun 1988 itu.
Ketika saya meninggalkan Ithaca pada Agustus 1986, tesis saya belum selesai. Draft yang saya ajukan diminta diperbaiki oleh panitia pembimbing tesis saya yang terdiri dari Prof. Royal D. Colle, Prof. Paul Yarbrough, dan Prof. Charles Hirschman. Roy sebagai ketua panitia (pembimbing utama) bidang keahliannya adalah komunikasi dan perubahan sosial, sedangkan Paul mengajar metodologi penelitian komunikasi dan Information and Communication Technology (ICT). Mereka berdua berasal dari program studi (prodi) Komunikasi. Charlie mengajar mata kuliah Social Demography in Southeast Asia. Ia duduk dalam panitia mewakili prodi Demografi Sosial dan prodi Asia Tenggara. Dalam sistem pendidikan di Cornell, kelulusan seseorang dari program pascasarjana ditentukan oleh panitia pembimbing (Committee).
Selama dua tahun setelah kepulangan saya ke Indonesia, saya tak berhasil melakukan revisi tesis yang dimintakan oleh para pembimbing. Charlie Hirschman ketika itu telah pindah dari Universitas Cornell ke Universitas Washington di Seattle. Ia menjadi direktur Lembaga Demografi dan Ekologi di universitas tersebut.
Sepulang dari Kanada setelah konsultasi dengan ornop Kanada di Ottawa dan Montreal, saya singgah terlebih dahulu ke Ithaca dan Seattle. Di Ithaca saya menjumpai Roy Colle, dan membicarakan penyelesaian studi saya. Dalam pertemuan itu, saya diharuskan menyelesaikan revisi itu sampai akhir tahun 1988. Charlie Hirschman kemudian menawarkan agar saya menggunakan fasilitas di Lembaga Demografi dan Ekologi di Universitas Washington untuk menyelesaikan revisi tesis saya. Saya dapat tinggal di rumah Charlie yang besar di Seattle selama saya mau. Namun, saya harus kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan laporan konsultasi untuk CIDA. Saya berjanji bila saya dapat mengumpulkan dana untuk tiket Jakarta-Seattle pergi pulang, saya akan kembali dan menerima tawaran Charlie tersebut.
Prof. Masri Singarimbun dari Pusat Studi Kependudukan (PSK) UGM, teman baik Charlie Hirschman, kemudian turun tangan dan menawarkan fellowship dari PSK (sekarang PSKK/Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan) UGM agar saya dapat menyelesaikan revisi tesis tersebut. Saya menghabiskan waktu empat minggu di Yogyakarta, dan mempresentasikan topiknya, “Strategi Komunikasi untuk Pencegahan Drop Out Keluarga Berencana” dalam sebuah seminar di PSK UGM pada akhir fellowship itu.
Namun, saya tak pernah mengirimkan revisi tesis itu ke Universitas Cornell karena sudah kehilangan selera dengan topik penelitian tersebut. Padahal, sudah banyak tenaga yang dicurahkan untuk penelitian dan penulisan. Telah banyak pula orang baik yang membantu dan menyemangati saya.
Bertahun-tahun kemudian, saya meminta transkrip nilai akademis dari Cornell untuk keperluan melanjutkan sekolah. Dalam transkrip itu tertulis status saya “Administrative Withdrawal”. Bahasa halus dari drop out.