Pada musim panas 1985, saya mengikuti konferensi International Communication Association (ICA) di Honolulu, Hawaii. Pembicara kunci pada konferensi itu adalah Anthony Giddens dari Cambridge University. Giddens ketika itu adalah pemikir ilmu sosial yang sedang naik daun. Ia kemudian menjadi Direktur London School of Economics and Political Science (LSE), dan penasihat Perdana Menteri Tony Blair.

Saya bersama almarhum Prof. Harsono Suwardi dari UI di sela-sela Konferensi ICA di East West Center, University of Hawaii, Musim Panas 1985. Ketika itu mas Harsono adalah Ketua Jurusan Komunikasi, FISIP-UI. Ia juga pernah menjadi bintang iklan program KB di tahun 80an.

Giddens terkenal dengan teori strukturasi, teori ilmu sosial tentang penciptaan dan reproduksi sistem sosial yang berbasis pada analisis struktur dan agensi, tanpa memberi keunggulan pada keduanya. Giddens juga dikenal sebagai pemikir di belakang The Third Way, platform politik Partai Buruh Inggris pada masa pemerintahan Tony Blair. Platform ini kemudian juga diadopsi partai-partai demokrasi sosial lainnya sebagai penyesuaian sosialisme dengan perubahan realitas politik di Eropa Barat dan Amerika Utara.


Pada konferensi ICA tahun 1985, Giddens baru saja menerbitkan The Constitution of Society yang merupakan paparan pertama dari teori strukturisasi. Sebagai pembicara tamu, Giddens menjadi bintang dalam konferensi ICA, walaupun pendapatnya mendapat tantangan keras dari para peserta yang mewakili aliran dominan dalam ilmu komunikasi di Amerika Serikat ketika itu. Ilmu komunikasi yang dominan mengacu pada teori fungsional-struktural Talcott Parson. Teori ini pula yang merupakan arus utama penelitian mengenai pembangunan di dunia ketika itu.

Melalui konferensi ini, dan kemudian keanggotaan saya di International Association of Media and Communication Research (IAMCR) yang pendekatannya lebih kritis dan global, saya merasa ICA terlalu berpusat pada Amerika Serikat. Saya mulai melupakan Everett M. Rogers dan teori difusi inovasinya. Saya mulai mengamati fenomena komunikasi sosial dari kacamata ekonomi-politik. Pengaruh Ben Anderson kemudian membuat saya lebih tersesat lagi, dan melihat komunikasi pembangunan yang menjadi pokok studi saya di Cornell sebagai propaganda, hanya melanggengkan kuasa yang dominan.


Di Cornell, saya mulai membaca teori ketergantungan dari Andre Gunder Frank, teologi pembebasan, dan kritik sosial dari Paulo Freire, Ivan Illich, dan teman-temannya. Perubahan paradigma pembangunan ini akan mengundang masalah ketika saya mulai menulis tesis setahun kemudian.

Dalam perjalanan pulang ke Ithaca dari Hawaii, saya singgah di San Francisco dan mengunjungi Universitas Stanford. Saya tidak berhasil bertemu dengan Everett M. Rogers yang sedang cuti sabatikal. Namun, entah mengapa hari itu saya menyukuri tidak diterima di Stanford dan mendapat kesempatan belajar di Cornell University.

Saya di Kampus Universitas Stanford, Musim Panas 1985.

Dalam persinggahan di San Francisco, saya juga mengunjungi UC-Berkeley, kampus tempat para arsitek ekonomi Orde Baru belajar. Setelah mengunjungi Berkeley, saya menulis artikel “Kambing-kambing di Berkeley” di Buletin Tanah Air terbitan WALHI.

Saya di muka gerbang kampus UC-Berkeley, Musim Panas 1985.

Tulisan itu sebetulnya laporan perjalanan saya mengamati manajemen kebakaran hutan di California. Kebakaran hutan, di California dikenal sebagai wildfire, merupakan kejadian yang berulang. Dalam kunjungan saya pada musim panas 1985, terjadi beberapa kebakaran di perbukitan California Selatan.


Sebelumnya, pada November 1980, ada kebakaran besar di San Bernardino yang dikenal sebagai Panorama Wildfire. Kebakaran yang dimulai karena kecerobohan seorang pelancong itu baru dapat dipadamkan setelah berlangsung selama seminggu. Api menghanguskan area seluas 28.800 hektare, membuat lebih dari 500 rumah dan bangunan menjadi debu. Walaupun kematian yang disebabkan kebakaran hanya 4 orang, kerugian diperkirakan sejumlah US$40 juta, atau sekitar US$132 juta nilai sekarang jika disesuaikan dengan inflasi.

Kebakaran hutan di California Selatan, 2019. (Kredit foto: CNN.com).


Yang menarik perhatian saya ketika itu adalah upaya untuk membangun jalur pemotong api (fire break) yang sangat inovatif. Untuk merawat jalur pengendali kebakaran ini, manajemen taman nasional menyewa kawanan biri-biri untuk merumput di sepanjang jalur. Biri-biri mampu bermanuver di kontur tanah yang naik turun, dan di tempat-tempat sulit yang tak mungkin dicapai mesin pemotong rumput. Bagi peternak biri-biri, ini adalah kontrak yang sangat menguntungkan. Bukan saja mendapat uang sewa, mereka pun mendapatkan pakan dengan cuma-cuma. Bahkan koran lokal melaporkan ada keuntungan tambahan berupa lahirnya banyak anak biri-biri pada akhir musim semi.


Manajemen kebakaran hutan ini saya tulis secara populer untuk teman-teman pembaca buletin Tanah Air. Agar menarik perhatian, dan sebagai ledekan kepada mafia Berkeley, saya beri judul provokatif “Kambing-kambing dari Berkeley”.


Saya tak tahu apakah Prof. Emil Salim pernah membaca tulisan itu. Kalaupun ia membaca, saya yakin Pak Emil tak akan tersinggung!