Ezra Cornell memulai karirnya sebagai tukang kayu dan penemu alat-alat pertanian. Sebagai pendiri dan pemegang saham perusahaan Western Union, ia menjadi kaya karena perluasan pelayanan telepon dan telegram.

Saya dan patung Ezra Cornell di Arts Quad, kampus Cornell. Musim Dingin 1984.


Setelah menyumbangkan perpustakaan umum kepada kota Ithaca, Ezra ingin mengabadikan namanya pada satu universitas. Ia punya cita-cita membangun satu universitas tempat setiap orang dapat belajar apa saja yang mereka mau.


Ia kemudian mengubah tanah pertaniannya di Ithaca, di perbukitan di atas Danau Cayuga di pedalaman Negara Bagian New York, menjadi Universitas Cornell di tahun 1865. Sebagai pengusaha, Ezra mengajak keluarga-keluarga kaya New York lainnya, seperti keluarga Olin, Uris, Morrill dan McGraw, untuk turut menyumbang. Tak heran banyak bangunan awal di kampus Cornell menyandang nama-nama pengusaha tersebut.


Ketika Pemerintah Federal memberi subsidi bagi universitas negeri, Ezra menyediakan tanahnya untuk menjadi universitas negeri (land-grant university) di Negara Bagian New York. Universitas Cornell mungkin adalah satu-satunya universitas swasta (private university) yang juga merangkap sebagai universitas negeri di Amerika Serikat.

Kampus Cornell 2022. Danau Cayuga tampak di kejauhan. (Kredit foto: Google)

Pada awal tahun ajaran 1984 ketika saya tiba di Cornell, ada dua strata mahasiswa di sana. Mereka yang terdaftar di College of Arts and Sciences, College of Architecture and Planning, College of Engineering, dan College of Computer Science adalah warga kampus kelas satu. Mereka membayar lebih mahal daripada mereka yang terdaftar di College of Agriculture and Life Sciences, College of Human Ecology, College of Vetenerary Medicine, dan College of Industrial and Labour Relations. Kelompok kedua ini adalah land-grant university. Mereka membayar uang sekolah lebih murah karena disubsidi Pemerintah Negara Bagian New York dan Pemerintah Federal.


Departemen Komunikasi berada di College of Agriculture and Life Sciences. Jadi, saya yang mengambil program studi (prodi) komunikasi menjadi warga kampus kelas dua. Namun, sesuai dengan janji Ezra Cornell, setiap mahasiswa bisa mengambil kuliah apa saja di semua jurusan.

Saya dan Romo Budi Susanto di depan Uris Library dan McGraw Tower di awal Musim Gugur 1984. Kami berdua pernah ditangkap Polisi Kampus karena ikut demo menduduki Day Hall (Kantor Presiden Cornell). Tahun 1984 mahasiswa Cornell menuntut Universitas melakukan divestasi dari Afrika Selatan yang masih melakukan kebijakan Apartheid.

Program studi pascasarjana di Cornell sangat lentur. Ketika itu, saya hanya diharuskan mengambil tiga mata kuliah di Departemen Komunikasi dan dua mata kuliah di prodi pilihan (minor) Demografi Sosial, ditambah penulisan tesis.


Jangka waktu beasiswa selama dua tahun (empat semester) lebih dari cukup untuk menyelesaikan program studi Master. Tapi bagai anak kijang lepas di padang, saya mengambil minor kedua, yaitu prodi Asia Tenggara. Dengan demikian, saya harus menambah dua mata kuliah wajib prodi Asia Tenggara.
Selain itu, saya juga ikut duduk (sit in atau di Cornell disebut auditing) di kuliah yang diberikan oleh Prof. Erick Thorbecke (Poverty) dan Prof. Opaldwala (Marxist economics) di prodi Ekonomi. Saya juga mengaudit kuliah Prof. Charles Geisler (Agrarian Change) di prodi Sosiologi Pedesaan.


Untuk mahasiswa dari negara dengan kontrol ketat terhadap informasi dan ilmu pengetahuan, perpustakaan Cornell adalah “surga” bagi kehausan saya akan informasi. Kebetulan pula saya mewarisi pekerjaan yang turun-temurun “dikuasai” mahasiswa Indonesia: pegawai perpustakaan di koleksi Asia Tenggara.

Saya di sel (carrel) saya di Olin Library. Setiap semester mahasiswa pascasarjana dapat mendaftar untuk mendapatkan kemewahan ini. Kami dapat menyimpan buku-buku dan bekerja dengan tenang selama jam buka perpustakaan di sini.


Saya bekerja selama 20 jam seminggu untuk menambah penghasilan bagi biaya hidup keluarga yang tidak ditanggung beasiswa. Sebagai pegawai perpustakaan, saya punya akses tak terbatas pada koleksi mengenai Indonesia, baik yang sudah diolah maupun belum. Tugas saya adalah bekerja di gudang bawah tanah, memilih buku-buku yang perlu segera diproses untuk disimpan di rak peminjaman. Ini adalah satu kekuasaan yang luar biasa. Saya dapat membaca lebih awal dibandingkan dengan mahasiswa lain, juga mendahulukan buku-buku yang sesuai dengan minat baca saya.

Saya datang ke Cornell bersamaan dengan Daniel Dhakidae dari LP3ES (prodi Politik), PM Laksono dari Universitas Gajah Mada (prodi Antropologi), Fasli Jalal dari Universitas Andalas (prodi Gizi), dan Kamala “Nana” Soedjatmoko (prodi Sosiologi Pedesaan). Selain itu, ada juga beberapa mahasiswa lain yang datang dengan biaya sendiri Timoticin Kwanda (kini Profesor pada Universitas Kristen Petra, Surabaya) di prodi Arsitektur, Irawati Setiady (kini Presiden Komisaris Kalbe Farma Tbk) di prodi Food Science, dan Cipta (dari Medan) yang mengambil program studi S-1 di Computer Science.


Ada pula mahasiswa Indonesia yang telah datang terlebih dahulu: Romo Budi Susanto SJ (Lembaga Studi Realino), Sjafri Sairin (UGM), Amrih Widodo (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta), dan Marthen Ndoen (UKSW, Salatiga). Amrih dan Marthen mengajar Bahasa Indonesia sambil kuliah pascasarjana. Amrih di prodi Pendidikan, dan Marthen di prodi Sosiologi. Romo Budi dan Bang Sjafri sama-sama dari Jogja dan kuliah di prodi Antropologi.

Saya, Romo Budi Susanto dan Bang Sjafri Sairin dalam satu pertemuan CIA.


Ketika itu, ada 3 kelompok mahasiswa Indonesia. Kelompok pertama adalah mahasiswa PNS dan penerima beasiswa pemerintah atau melalui lembaga pemerintah. Mereka cenderung mendukung pemerintahan Orde Baru. Kelompok kedua adalah mahasiswa non-PNS, yang sebagian besar mendapatkan beasiswa dari berbagai sumber swasta dan lembaga filantropi. Kelompok ini cenderung kritis kepada pemerintahan Orde Baru. Kelompok ketiga adalah mahasiswa yang kuliah dengan biaya sendiri, mayoritas kuliah di program undergraduate (Strata-1). Kelompok ini biasanya menghindari berbicara masalah politik, dan cenderung tidak peduli dengan pemerintahan Orde Baru. Yang menyatukan kami adalah acara makan-makan atau masak bersama yang sering kami lakukan. Kami semua juga tergabung dalam Cornell Indonesia Association (CIA), sebuah organisasi longgar dan anggotanya bukan saja mahasiswa Indonesia, namun siapa saja (mahasiswa, dosen, pegawai universitas, penduduk Ithaca) yang berminat tentang Indonesia.


Menjadi mahasiswa Cornell punya keuntungan tambahan. Banyak mahasiswa dari universitas lain datang ke Cornell untuk penelitian dan menggunakan perpustakaan Cornell yang memiliki koleksi mengenai Indonesia dan Asia Tenggara yang sangat lengkap. Seingat saya, selama saya di sana, Mochtar Pabotinggi datang dari Hawaii untuk penelitiannya. Iwan Jaya Azis dari UI sempat datang sebentar dan singgah di rumah saya di Hasbrouck. Iwan yang juga alumni Cornell kemudian kembali lagi dan menjadi staf pengajar di Departemen Ekonomi. Saya juga berjumpa dengan Nasir Tamara yang baru lulus dari Universitas Sorbonne di Perancis, dan ketika itu menjadi post-doc fellow di Universitas Harvard. Prof. Umar Kayam dari UGM yang ketika itu menjadi research fellow di Universitas Yale dan sedang menulis novel Para Priyayi, juga datang dengan keluarganya. Selain itu tahun 1985-1986, Prof. Taufik Abdullah dari LIPI menjadi visiting professor di Cornell. Pak Kayam dan Pak Taufik adalah alumni Cornell.


Saya mengambil kuliah Islam in Southeast Asia yang diampu Pak Taufik sebagai bagian dari persyaratan menjadi mahasiswa prodi Asia Tenggara. Saya juga mengambil mata kuliah Political Anthropology yang diampu oleh Prof. Ben Anderson.


Kami juga punya forum mingguan berupa brown-bag lunch talk di “Gedung Bhineka Tunggal Ika”, 102 West Avenue, yang sangat legendaris. Gedung itu kini telah diruntuhkan dan menjadi tempat parkir. Di situ saya dapat berinteraksi dengan para peneliti dari seluruh dunia. Beberapa mahasiswa pascasarjana Cornell yang mengambil prodi Asia Tenggara ketika itu, dan di kemudian hari menjadi tokoh di bidangnya, antara lain Nancy Peluso yang kemudian mengajar di UC Berkeley, serta Geoffrey Robinson yang dulu bekerja di Amnesty International dan sekarang mengajar di UCLA. Disertasi Nancy, Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java diterbitkan University of California Press pada 1992. Disertasi Jeff, Dark Side of the Paradise: Political Killing in Bali diterbitkan Cornell University Press pada 1995.


Keluarga saya bergabung di Ithaca pada bulan Juli 1985. Reni sedang hamil enam bulan ketika saya meninggalkan Jakarta. Saya baru pertama kali bertemu Bunga setelah ia berusia sepuluh bulan! Reni dan Bunga bisa datang ke Ithaca berkat jasa baik Mbak Erna Witoelar. Ia meminjamkan uang untuk membali tiket sekali jalan ke Ithaca. Saya baru bisa membayar hutang itu bertahun-tahun kemudian.