Sri Thai adalah nama restoran Thailand di Gedung Setiabudhi, Kuningan, pada tahun 80an. Restoran itu kini telah tutup. Mungkin sejak tahun 90an. Mbak Erna Witoelar mengadakan pesta perpisahan untuk saya sebelum kepergian saya ke Amerika Serikat pada bulan Juni 1984. Hanya 3 orang hadir dalam makan malam itu: mbak Erna, Pungki dan saya. Malam itu kami bertiga membuat janji bekerjasama membesarkan WALHI sebagai organisasi advokasi lingkungan di Indonesia.

Gedung Setiabudi One sekarang (Sumber foto: Rumah.com)

Saya terpilih sebagai anggota Presidium WALHI pada bulan Mei 1983. Pada bulan Desember, saya mendapat kabar saya terpilih menjadi satu dari 50 orang angkatan pertama penerima beasiswa pengembangan sumberdaya manusia program keluarga berencana Indonesia. Beasiswa ini adalah hibah dari Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID, dan dikelola oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Beasiswa terbuka untuk semua unit pelaksana keluarga berencana, baik dari unit Pemerintah, swasta maupun Universitas. Dari 250 orang penerima beasiswa, kurang lebih 50 orang setiap tahunnya selama 5 tahun, sebagian besar adalah manajer menengah BKKBN.  Kemudian diikuti oleh staf Departemen Kesehatan, Departemen Penerangan,  Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Pusat Studi Kependudukan Universitas Negeri. Hanya 2 orang penerima beasiswa yang bukan pegawai negeri: saya dan Martha Ismail. Martha, mungkin hanya kebetulan, adalah putri Prof. Santoso deputi pengembangan Pendidikan dan pelatihan BKKBN, dan ketua team seleksi beasiswa.

Sebetulnya setelah melalui kompetisi yang ketat, dari PKBI lolos 3 orang staf: dr. Adnan Machmud (Direktur Pelaksana PKBI Daerah Sulawesi Selatan),  drs. Romlan (Direktur Pelaksana PKBI Daerah Jawa Barat), dan saya. Tapi kemudian dr. Adnan Mahmud dan drs. Romlan tidak jadi berangkat karena tidak mendapat ijin dari atasannya. Kebetulan mereka berdua pegawai negeri. Dr. Adnan di Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, dan drs. Romlan dosen di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Bandung. Saya kemudian menjadi satu-satunya wakil PKBI penerima beasiswa tersebut.

Saya mengurus sendiri semua proses pendaftaran saya ke Universitas di Amerika Serikat. Pilihan pertama saya adalah Universitas Stanford di California. Ketika itu Everett M. Rogers  menjadi Janet M. Peck Professor of International Communication di Stanford University. Rogers terkenal karena teorinya mengenai diffusion of innovation yang merupakan rujukan bagi komunikasi pembangunan ketika itu. Pilihan kedua saya adalah Cornell University. Cornell memang terkenal sebagai pusat studi mengenai Indonesia di Amerika Serikat. Di sana, ketika itu, ada Profesor George Kahin dan Ben Anderson. Namun departemen komunikasinya tidak begitu terkenal.

Kelas A kursus Bahasa Inggris EEF-BKKBN. Para peserta adalah penerima beasiswa USAID. Saya di barisan depan bersama Zulazmy Mamdy dari FKM-UI dan Risman Musa dari BKKBN. Duduk di belakang kami Kapti, Tizy dan Endang semua dari Departemen Kesehatan. Saya hanya ingat Satwiko dari BPS (berdiri ketiga dari kiri) dan Supiaji dari BKKBN (Berdiri keempat dari kiri) di rombongan baris paling belakang.

Alwi Dahlan adalah Doktor komunikasi lulusan Stanford University, dan ketika itu menjabat Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup. Saya tidak kenal Alwi Dahlan, namun dalam rangka mencari sekolah itu, saya nekat memintanya memberi rekomendasi. Alwi Dahlan meminta saya menuliskan pernyataan maksud studi saya (statement of purpose) sebagai bahan pertimbangannya. Saya menulis satu atau dua halaman mengenai penerapan teori difusi inovasi dalam program keluarga berencana Indonesia. Tulisan itu pula yang saya sertakan dalam berkas pendaftaran di Stanford dan Cornell.

Saya tidak berhasil diterima di Stanford yang memang sangat kompetitif. Namun saya diterima di Departemen Komunikasi Cornell University. Para peserta program beasiswa BKKBN masih harus belajar Bahasa Inggris lagi di Amerika Serikat walaupun ketika itu nilai TOEFL saya sudah melampaui persyaratan masuk universitas. Para penerima beasiswa di pantai timur kemudian menghabiskan waktu selama 6 minggu di Georgetown University, Washington DC. Sedangkan teman-teman yang diterima di pantai barat mengikuti kursus di East-West Center, Hawaii.

Setelah ada kepastian diterimanya saya di Universitas Cornell pada Januari 1984, maka saya mengajukan pengunduran diri sebagai anggota Presidium dalam satu rapat presidium. Namun presidium memutuskan untuk tidak dapat menerima pengunduran diri saya. Disepakati dalam rapat itu, saya menunjuk seorang proxy (wakil) yang akan menggantikan saya dalam rapat-rapat presidium. Salah satu alasannya karena anggota Presidium dipilih oleh Pertemuan Nasional, sehingga permintaan pengunduran diri saya hanya bisa diputuskan dalam Pertemuan Nasional pula. Oleh karena Pertemuan Nasional selanjutnya akan dilaksanakan pada tahun 1986, maka keputusan pengunduran diri saya hanya dapat dilakukan pada pertemuan nasional tersebut.

Dalam rapat presidium selanjutnya, saya mengusulkan Pungki (Agus Purnomo) dari Yayasan Mandiri sebagai proxy saya, dan diterima oleh rapat Presidium. Penunjukan proxy ini adalah satu preseden yang tak pernah lagi diulangi oleh WALHi di masa-masa selanjutnya.

Dalam pertemuan di restoran Sri Thai itu, saya menyampaikan hal-hal yang menurut saya perlu dikerjakan oleh Pungki sebagai proxy saya. Namun kemudian diskusi kami bertiga mengkristal pada visi WALHI di masa yang akan datang. Kami bertiga sepakat bahwa WALHI perlu menjadi organisasi advokasi lingkungan hidup yang professional. Oleh karena itu “manajemen bis kota” tidak bisa terus dipertahankan. Bukan kebetulan tesis Master Pungki di Sekolah Manajemen Prasetya Mulia kemudian mengenai Studi Kasus Organisasi Lingkungan yang bernama “Gerobak Lestari”.

Kami bertiga kemudian berjanji akan mengawal visi WALHI itu sehingga terwujud. Kami bersepakat secara bergantian akan menjadi Direktur Eksekutif WALHI. Setelah masa bakti mbak Erna berakhir pada tahun 1986, Pungki akan mengambil alih. Kemudian giliran saya pada tahun 1989. Kami berharap kami bertiga dapat meletakkan dasar-dasar bagi pencapaian visi WALHI yang kemudian dapat dilanjutkan oleh teman-teman lain yang lebih muda.

Saya lupa apakah kami bertiga kemudian berjabat tangan untuk meneguhkan janji itu. Namun saya ingat betul menu restoran Sri Thai agak terlalu pedas untuk saya.