Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) yang kedua diadakan di Bandung pada bulan Mei 1983. Tempat pertemuan adalah Sekolah Calon Perwira (SECAPA) TNI-AD di jalan Hegarmanah. PIlihan instalasi tentara itu merupakan pilihan praktis karena tak banyak tempat di Bandung yang dapat menampung peserta PNLH sebanyak 300-400 orang. Pilihan yang tersedia hanya asrama haji (yang kemudian menjadi preferensi PNLH selanjutnya), atau barak tentara. Asrama Secapa dianggap lebih memenuhi syarat keamanan dan kenyaman, serta mudah diakses dari Kota Bandung. Tempatnya memang nyaman untuk ukuran Ornop. Konturnya naik-turun, dan pemandangannya bagus.

Tak urung, Anwar Fazal, sekretaris jenderal Lembaga Konsumen Internasional (IOCU), yang diundang sebagai pembicara tamu, agak terkejut. Dalam sambutannya ia mengatakan ini adalah pertemuan pertama di barak tentara yang pernah ia hadiri dalam karir panjangnya sebagai penggiat organisasi masyarakat sipil!

PNLH dihadiri oleh perwakilan Ornop dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Peserta terdiri dari perwakilan organisasi profesi, organisasi pencinta alam, dan Ornop pembangunan (ketika itu disebut Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat/LPSM). Komposisi peserta, berdasarkan ingatan saya, yang paling banyak adalah Organisasi pencinta alam, kemudian diikuti oleh LPSM, dan terakhir organisasi profesi. Namun persiapan maupun agenda pertemuan didominasi oleh LPSM, terutama Ornop dari Jakarta dan Jawa.

Ada beberapa pembicara tamu yang diundang untuk bicara masalah Lingkungan Hidup global, maupun nasional. Yang saya ingat hanya Emil Salim dan Anwar Fazal. Mungkin ada pula yang diundang mewakili Pusat Studi Lingkungan Hidup di Universitas Padjadjaran dan Institut teknologi Bandung. Saya tak ingat lagi apakah Prof. Otto Sumarwoto dari Lembaga Ekologi Unpad, atau Prof. Hasan Purbo dari PSL ITB hadir dalam pertemuan itu. Namun tampaknya aneh bila ada pertemuan lingkungan hidup di Bandung tidak mengundang mereka berdua.

Seingat saya peserta kemudian dibagi dalam dua kelompok: komisi program yang berbicara mengenai program WALHI tiga tahun mendatang, dan komisi organisasi yang mendiskusikan keanggotaan dan tata-kelola Walhi. Saya bergabung dalam komisi organisasi, dan mewakili komisi menyampaikan hasil sidang komisi ke sidang pleno PNLH. Masalah krusial yang dibahas dalam komisi organisasi adalah mengenai keanggotaan WALHI. Para peserta pertemuan menolak untuk membuat keanggotaan WALHI menjadi lebih formal dan terstruktur. Pertemuan memutuskan untuk tetap menggunakan istilah partisipan, dan bukan anggota WALHI. Memang kemudian ada masalah akuntabilitas dan keterwakilan yang pelik. Di kemudian hari salah seorang teman mengatakan WALHI itu seperti bus kota. Partisipan bisa naik dan turun di mana saja. Cilakanya penumpang itu tidak mau membayar karcis, namun ingin menentukan arah perjalanan bus kota itu.

Saya melaporkan hasil Komisi Organisasi di Sidang Pleno PNLH

Seperti pertemuan partai politik, walaupun ada pembicaraan mengenai masalah Lingkungan Hidup, perhatian peserta lebih banyak ditujukan pada pemilihan anggota Presidium dan Direktur Eksekutif. Jabatan Sekretaris Eksekutif yang dijabat Erna Witoelar dan dalam keputusan PNLH pertama merupakan bagian dari Presidium, pada PNLH kedua ini dipisahkan dari Presidium untuk memperjelas akuntabilitas Badan Eksekutif WALHI. Dalam pemilihan, Erna Witoelar sebagai calon tunggal terpilih kembali sebagai Direktur Eksekutif WALHI.

Pemilihan Presidium, sebagai pemegang mandat PNLH, lebih kompleks dibandingkan dengan pemilihan Direktur Eksekutif. PNLH perlu mempertimbangkan keterwakilan masing-masing kelompok organisasi (profesi, pencinta alam dan Ornop pembangunan/LPSM), serta keterwakilan daerah. Ada ketegangan terselubung antara Ornop Jawa dan Luar Jawa, dan ada kekhawatiran yang besar akan dominasi Ornop pembangunan dari Jakarta. Akhirnya sistem pemilihan dibuat berdasarkan perwakilan dari Jakarta dan pulau-pulau besar (Sumatera, jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali+Nusa Tenggara, dan Maluku+Irian Jaya). Karena jumlah peserta dari Jakarta cukup banyak, dan dengan pertimbangan kegiatan advokasi banyak dilakukan di Jakarta, maka perwakilan Jakarta disepakati sebanyak 4 orang, sedangkan masing-masing pulau besar diwakili oleh satu orang yang dipilih dari para peserta dari pulau yang bersangkutan.

PKBI adalah salah satu Ornop pendiri WALHI. Soetjipto Wirosardjono (saya memanggilnya pak Cip), yang ketika itu menjabat Ketua Pengurus Nasional PKBI, terpilih sebagai anggota Presidium WALHI dalam PNLH pertama. Dalam PNLH kedua, beberapa Ornop Jakarta meminta agar ia bersedia dicalonkan kembali. Namun Pak Cip menolak. Saya berada di dekatnya ketika lobby tersebut dilakukan. Saya mewakili PKBI dalam PNLH tersebut, sedangkan pak Cip datang sebagai anggota Presidium WALHI. Saya ingat pak Cip mengatakan kepada mbak Erna Witoelar, bila PKBI memang diperlukan duduk sebagai anggota Presidium, maka saya bisa dipilih mewakili PKBI.

Saya cukup terkejut dengan pernyataan pak Cip tersebut, karena saya masih “anak kemarin sore” dalam dunia Ornop. Namun pak Cip memiliki kepercayaan yang sangat besar pada saya. Memang ada alasannya mengapa WALHI memerlukan PKBI. Pada saat itu PKBI merupakan Ornop tertua dan terbesar di Indonesia. Selain itu, PKBI juga memiliki fasilitas tempat pertemuan dan penginapan, baik di Jalan Hang Jebat Jakarta, maupun di beberapa ibukota Propinsi. Beberapa aktifis PKBI kemudian juga menjadi penggerak jaringan WALHI di daerah.

Menjelang pemilihan Presidium, saya sama sekali tidak melakukan kampanye. Namun saya tahu mbak Erna dan teman-teman dari Yayasan Mandiri ketika itu melakukan lobby untuk meloloskan paket Presidium yang terdiri dari Nasihin Hasan (P3M), Abdul Hakim Garuda Nusantara (YLBHI), Gunawan Alif (Mapala UI) dan saya dari PKBI. Pada hari terakhir pemilihan Presidium dilaksanakan, dan kami berempat terpilih mewakili  Ornop dari Jakarta. Selain kami berempat, Soekirman (Bitra)  terpilih mewakili Sumatra, Anton Soedjarwo (Dian Desa) mewakili Jawa, Hesly terpilih mewakili Kalimantan, Natsir Abbas mewakili Sulawesi, George Aditjondro (Irja-DISC) mewakili Irian Jaya. Saya sudah lupa siapa yang mewakili Bali dan Nusa Tenggara.

Dari komposisi anggota Presidium jelas terlihat WALHI kekurangan aktifis perempuan ketika itu. Selain para aktifis yang sudah malang melintang lama di dunia Ornop (Nasihin, Hakim, George dan Anton Soedjarwo), maka Soekirman, Hesly, Natsir, Gunawan dan saya adalah generasi baru yang merupakan mantan aktifis mahasiswa tahun 70an.

Mbak Erna Witoelar, saya dan Pungki (Agus Purnomo) dalam PNLH kedua.

Nasihin Hasan, Direktur Perkumpulan Pesantren dan Pembangunan Masyarakat (P3M) yang merupakan “anak” dari LP3ES terpilih sebagai ketua Presidium WALHI periode 1983-1986. Peranan mas Nasihin cukup besar untuk memperluas jaringan WALHI ke pesantren-pesantren NU, dan memasukan isu Lingkungan Hidup dalam kegiatan pengabdian masyarakat pesantren yang difasilitasi oleh P3M. Selain itu, kegiatan advokasi WALHI juga semakin diperkuat dengan jaringan YLBHI yang ketika itu mulai meluas ke seluruh Indonesia.

Dalam periode Presidium kedua ini, WALHI mulai mengambil format sebagai organisasi advokasi lingkungan hidup. Walaupun, seperti ditulis sebelumnya, banyak partisipan WALHI merasa advokasinya masih “kurang galak”! WALHI juga mulai melakukan desentralisasi dengan membentuk jaringan kerja dalam isu-isu spesifik, maupun memperkuat jaringan advokasi di daerah dengan simpul para anggota Presidium yang ada di daerah.