“Sebelas bulan saja, sementara Wilarsa sekolah ke Inggris!”, bujuk dr. Zulaika Rachman Masjhoer , Direktur Eksekutif PKBI, kepada saya di bulan Juli 1981. Saya baru saja lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dan sedang menunggu penempatan sebagai dosen Universitas Negeri di luar Jawa. Saya telah mengikuti semua test untuk program penempatan dosen di Universitas Negeri di luar Jawa, dan lulus. Pilihan pertama saya Universitas Hasanuddin di Makassar, pilihan kedua Universitas Andalas di Padang. Sementara itu, sambil menunggu penempatan saya mengajar di Pusat Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata (The National Hotel and Tourism Institute) menggantikan mbak Yayuk dosen saya di Unpad yang sedang mengambil S-2 di Universitas Gajah Mada.
Bagi PKBI, mempekerjakan saya sebagai pekerja sementara (temps) sangat menguntungkan karena saya sudah lama menjadi relawan PKBI Jawa Barat. Saya sudah kenal program, dan sistem manajemennya. Yang lebih penting bagi PKBI ketika itu, saya memahami “ideologi” PKBI.
Saya juga sudah kenal Wilarsa sejak menjadi mahasiswa. Wilarsa adalah bagian dari “gang Jogja” dalam jaringan anti pembangunan Taman Wisata Borobudur tahun 1978-79. Ketika itu 5 desa digusur untuk keperluan Taman Wisata. Pemerintah menggunakan teror, intimidasi dan tentara untuk menggusur rakyat. Kami merupakan bagian dari jaringan solidaritas mahasiswa, dimotori oleh teman-teman di Jogjakarta, membantu masyarakat melakukan perlawanan. Jaringan ini kemudian menjadi besar dan mendapatkan momentumnya dalam perlawanan terhadap Waduk Kedungombo di tahun 80an.
Saya kemudian tak pernah dipanggil untuk menjadi dosen Universitas Negeri, ada cerita tersendiri untuk ini, dan janji bekarja untuk 11 bulan di PKBI menjadi 8 tahun. Selama 8 tahun itu saya selalu “mengekor” Wilarsa. Setelah Wilarsa pulang dari Inggris, saya pindah ke Pusat Latihan PKBI yang dikelola oleh mbak Tarie. Ketika saya pulang sekolah dari Amerika Serikat tahun 1986, saya mengambil alih posisi Wilarsa sebagai Senior Program Officer. Wilarsa menjadi Kepala Unit Perencanaan. Setahun kemudian, saya menjadi Kepala Unit Perencanaan dan Evaluasi PKBI ketika Wilarsa menjadi Deputi Direktur Eksekutif. Saya meninggalkan PKBI terlebih dahulu dari Wilarsa pada 1989. Tak lama kemudian, Wilarsa dan teman-temannya mendirikan PT REMDEC untuk membantu pengembangan kapasitas Ornop Indonesia dengan pendanaan dari NOVIB. REMDEC membantu pendirian INSIST yang diprakarsai oleh Mansour Fakih, saya dan teman-teman lain pada 1998.
Dalam perkenalan saya dengan Wilarsa dalam pekerjaan, ia adalah pekerja keras yang mau berjalan lebih jauh dan tinggal lebih lama dibandingkan dengan rekan kerja lainnya. Ia juga selalu jadi seseorang yang paling berpikir logis, ketika orang-orang mulai beradu pendapat dengan emosional. Wilarsa juga selalu bersedia membantu orang lain, baik diminta maupun tidak. Ia juga punya keyakinan yang sangat kuat akan kemenangan kemanusian terhadap kekuasaan.
Wilarsa dan saya menikah dalam waktu yang berdekatan pada 1982, Wilarsa dan Endang menikah di Solo, saya dan Reni menikah di Bandung. Kemudian, pernikahan kami berdua dirayakan oleh PKBI seperti acara Ngunduh Mantu. Beberapa teman sambil bergurau mempertanyakan mengapa kami mendapat perlakuan istimewa. Kami kebetulan memang menikah secara sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga dekat masing-masing tanpa mengundang keluarga besar PKBI. Itulah sebabnya boss-boss kami di PKBI, ibu Retno dan mbak Tarie, memutuskan untuk membuat pesta merayakan pernikahan kami di kantor. Anak kami juga lahir pada waktu yang hampir bersamaan tahun 1984. Sayangnya karena saya kemudian pindah ke Kendari, Phalya dan Bunga bahkan tidak saling mengenal. Sampai sekarang.
Ketika baru pulang dari Inggris, Wilarsa punya kebiasaan baru untuk menambah kata “bloody” bila ia sedang tidak berkenan dengan sesuatu. Misalnya ia akan mengatakan “that bloody IPPF” bila IPPF membuat hidup kami menjadi lebih susah dengan persyaratan-persyaratan pendanaannya. PKBI adalah anggota Federasi Keluarga Berencana Internasional (IPPF). Saya selalu bergurau dengan mengatakan pada teman-teman untuk tidak membuat Wilarsa marah karena ia akan “berdarah-darah”! Namun Wilarsa jarang marah kepada teman-teman sekerja. Bahkan setahu saya ia tak pernah terlihat marah. Ia hanya marah bila melihat ketidakadilan.
Wilarsa dan saya, ketika itu, merokok merek rokok yang sama. Oleh karena itu, kami selalu berbagi rokok dalam setiap kesempatan. Kalau saya adalah perokok yang adiktif, Wilarsa adalah perokok sosial. Ia hanya menghisap sebatang rokok beberapa kali, dan kemudian mematikannya. Oleh karena itu bila kami menemukan asbak dengan banyak puntung rokok yang masih panjang, kami tahu Wilarsa baru saja ada di ruangan itu. Saya berhenti merokok tahun 1992, dan tak pernah mulai lagi. Wilarsa masih meneruskan kebiasaannya membuang puntung rokok yang baru dihisap sampai lama kemudian.
Setelah saya pindah ke luar Jakarta pada 1989, kami jarang bertemu walaupun komunikasi, baik langsung maupun melalui teman-teman, berjalan terus. Kami bertemu beberapa kali dalam acara PKBI. Ketika saya menjadi Ketua Pengurus Nasional PKBI, saya meminta Wilarsa menjadi anggota Panitia Tetap Organisasi yang berusaha melakukan reformasi organisasi PKBI. Usaha kami tidak begitu berhasil sampai masa jabatan saya berakhir dalam Kongres PKBI 2010. Vested Interests untuk membuat PKBI tetap sebagai “Partai KB Indonesia” masih lebih besar daripada membuatnya menjadi organisasi yang ramping dan professional.
Beberapa minggu yang lalu saya mendengar Wilarsa masuk Rumah Sakit karena kanker getah bening yang pernah menyerangnya, kambuh kembali (relapse). Dua hari yang lalu saya bertanya pada Etik MW dari YSIK apakah Wilarsa yang sedang dirawat di Rumah Sakit Dharmais bisa dijenguk. Kebetulan minggu depan saya akan berada di Jakarta. Etik mengatakan Wilarsa belum bisa dijenguk. Rupanya yang Maha Perencana punya rencana lain untuknya. Tadi malam ia pergi menuju ke keabadian.
Selamat jalan, Willy. Beristirahat dalam damai. Kami ikhlas melepaskanmu.
Terima kasih orbituari-nya Om Rizal 🙏🏻