Beberapa bulan lalu seorang mahasiswa S-3 dari Fakultas Kehutanan UGM mewawancarai saya untuk disertasinya mengenai Gerakan Lingkungan Hidup di Indonesia. Setelah daftar pertanyaan yang ia kirimkan terlebih dahulu selesai dijawab, ia bertanya seolah tak sengaja: “Apa yang membuat anda terlibat dalam Gerakan lingkungan hidup?” Saya agak tergagap menjawab pertanyaan itu, karena tak ada satu sebab yang dapat diisolasikan sebagai penyebab utama saya kemudian terlibat dalam gerakan lingkungan hidup di Indonesia. Memang tak ada satu sebab utama, namun saya bisa pastikan satu tanggal sebagai awal dari keterlibatan saya: 23 Mei 1982!
Hari itu pelatihan pengenalan analisis dampak lingkungan, ketika itu masih disingkat Andal belum menjadi Amdal, untuk Organisasi non-pemerintah (Ornop) dimulai di Bumi Perkemahan Pramuka di Cibubur. Saya salah seorang pesertanya. Saat itu saya pegawai baru di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan sering ditugasi mengikuti pelatihan atau lokakarya ketika pegawai-pegawai yang lebih senior tidak berminat menghadirinya. Saya selalu jadi pilihan terakhir setelah surat undangan beredar dari meja ke meja di divisi program PKBI.
Saya mengenal alam melalui kegiatan Pramuka yang saya ikuti sejak Siaga. Namun pengenalan saya mengenai isu lingkungan hidup didapat melalui Thomas Robert Malthus. Saya terlibat dalam banyak diskusi mengenai masalah kependudukan dan keluarga berencana sebagai anggota Perhimpunan Mahasiswa untuk Studi Kependudukan (SA) sejak tahun 1976. Kami semua mengenal teori Malthus mengenai kesenjangan antara pertumbuhan penduduk, yang tumbuh dalam deret ukur, dengan produksi pangan, yang tumbuh dalam deret hitung. Alam memiliki mekanisme untuk mengatasi kesenjangan itu dalam bentuk wabah, kelaparan, perang dan bencana. Manusia memiliki akal budi dan kemampuan untuk menyeimbangkan pertumbuhan penduduk dan produksi pangan itu melalui pengendalian penduduk, dan atau peningkatan produksi pangan melalui inovasi teknologi produksi. Kami ketika itu masih berpikir lingkungan hidup dapat dikendalikan oleh manusia. Alam harus dikelola agar dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan manusia. Yang perlu dijaga hanyalah perilaku manusia, agar tidak memicu terjadinya mekanisme alam untuk mengendalikan jumlah manusia dalam bentuk wabah penyakit dan kelaparan karena kelangkaan pangan.
Sebagai aktifis mahasiswa tahun 70an, saya juga merasa memiliki tanggungjawab sejarah untuk berbuat sesuatu bagi mereka yang terpinggirkan atau tidak mendapat kesempatan seperti kami. Sikap elitis, noblese oblige, ini kami warisi dari dari generasi-generasi sebelumnya: Gerakan Mahasiswa1908, 1928, 1945 dan 1966. Tanggungjawab ini pada generasi saya ada dalam bentuk berbagai kegiatan pengabdian masyarakat, terutama setelah kampus disterilkan dari kegiatan politik melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kegiatan Kemahasiswaan (NKK/BKK) di tahun 1978.
Ada dua buku panduan kegiatan yang popular bagi kami anggota SA ketika itu: Doctor to the Barrios karangan Juan M. Flavier seorang dokter yang melakukan banyak karya-karya pengabdian di pedesaan di Filipina, dan Small is Beautiful karangan E.F. Schumacher seorang ekonom Inggris kelahiran Jerman. Schumacher menyatakan bahwa kapitalisme telah membawa kemajuan dan peningkatan taraf hidup orang banyak, namun harga yang harus dibayar dalam bentuk kerusakan budaya dan lingkungan hidup tidak sebanding dengan manfaatnya. Schumacher mengamati strategi pembangunan dalam skala besar dalam bentuk industrialisasi dan urbanisasi telah merusak kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu ia menganjurkan mengubah strategi pembangunan menjadi berskala kecil dan bersifat lokal dengan menggunakan teknologi tepat-guna dan kearifan lokal lainnya.
Melalui pelatihan pengenalan Andal, saya dikenalkan dengan Undang-undang lingkungan hidup yang memberi ruang pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan. Undang-undang yang dianggap maju untuk jamannya itu, baru saja disahkan pada 11 Maret 1982. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat berupa pemantauan dampak industri terhadap lingkungan hidup. Dalam pelatihan kami membahas masalah pencemaran industri di Indonesia dan bagaimana melakukan pemantauannya. Seingat saya fokus diskusi kami adalah pencemaran industri di Teluk Jakarta dengan mengacu kepada kasus di Minamata, Jepang.
Upaya melibatkan Organisasi non-pemerintah dan pembentukan Pusat-pusat Studi Lingkungan Hidup (PSL) di Universitas merupakan strategi Emil Salim yang diangkat sebagai Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) dalam Kabinet Pembangunan III pada 1978. Sebagai Menteri tanpa portfolio, maka Kementerian PPLH hanya diberi mandat menyusun dan mengkoordinasikan kebijakan. Bagaikan kepala tanpa tangan dan kaki. Dalam kaitan dengan itu, maka pada 23 Mei 1978 Emil Salim mengumpulkan Ornop (ketika itu masih disebut Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) yang memiliki minat dan perhatian terhadap isu lingkungan hidup di Indonesia. Pertemuan itu kemudian melahirkan Kelompok-10 yang merupakan cikal-bakal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). WALHI terbentuk pada Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup I yang diadakan di Gedung YTKI pada Oktober 1980. Pendanaan untuk pertemuan nasional ini disediakan oleh WWF melalui Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sri Sultan yang menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia 1973-1978 adalah teman karib para pendiri WWF Internasional: Pangeran Philips dari Inggris dan Pangeran Bernhard dari Negeri Belanda.
WALHI terlibat dalam proses penyusunan Undang-undang nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang itu merupakan payung bagi partisipasi masyarakat, lebih khusus lagi Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang ini juga untuk pertama kalinya menetapkan lingkungan hidup yang sehat sebagai hak warganegara. Undang-undang ini bahkan kemudian memberikan legitimasi dan legal standing bagi Ornop dalam advokasi lingkungan hidup, maupun isu-isu pembangunan lainnya.
Pelatihan Andal di Cibubur pada bulan Mei 1982 selain memberikan pengetahuan mengenai pencemaran lingkungan, juga memotivasi para peserta terlibat dalam kegiatan aksi yang dilakukan oleh WALHI. Saya ingat peserta lainnya yang aktif bersama saya Anie Sumantri dari UI, Arie Kwartatmoko dari YLBHI dan Uus Roestiawan dari YLKI. Selesai pelatihan itu, kami kemudian menjadi relawan dan sering nongkrong di kantor WALHI di satu pusat pertokoan di Harmoni.