Ada satu masa dalam hidup saya, setiap tahun saya berkunjung ke Ponorogo untuk lebaran. Masa itu berlangsung tahun 1963 -1968. Perjalanan dari Bandung dilakukan dengan mobil VW kodok putih milik paktuo. Biasanya kami berempat, paktuo Usman, ibu Anggrek, saya dan supir. Seingat saya kami selalu berangkat subuh dari Bandung, dan tiba di Madiun sore atau malam hari. Kami menginap semalam di Pendopo Kabupaten Madiun. Ketika itu suami mbak Mariana menjadi bupati. Baru keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Ponorogo setelah sarapan.

Pecel Mbok Rah, pecel khas Ponorogo.

Kemudian acara lebaran di Ponorogo. Selalu ada madumongso yang khusus dibuat bu Mis untuk saya. Bu Mis adalah adik satu2nya ibu Anggrek, dan ibu kandung mbak Mariana dan Hartini Sukarno. Semua anak bu Mis dibesarkan oleh Paktuo dan ibu Anggrek di Bandung. Saya tak tahu mengapa itu terjadi. Saya adalah anak nomor 7 yang diurus Paktuo.Selama di Ponorogo, saya selalu dimanja oleh keluarga ibu Anggrek. Beberapa di antara mereka adalah juragan batik. Ada pula seorang pemilik toko obat di alun-alun Ponorogo. Selama seminggu atau sepuluh hari di Ponorogo adalah hari2 penuh pesta dan makanan.

Pintu Gerbang Kota Ponorogo circa 1980.

Perjalanan kami terhenti pada tahun 1966. Suami mbak Mariana yang menjadi bupati karena dukungan PKI menghilang diculik. Kabarnya ia dibunuh, namun mayatnya tak pernah ditemukan. Tahun itu kami di Bandung mendengar kabar bahwa kali Madiun penuh dengan mayat. Oleh karena itu kami tidak pulang ke Ponorogo.

Pasar Legi Ponorogo, circa 1970.

Saya masih “pulang” ke Ponorogo pada 1968, sendiri. Itu adalah perjalanan terakhir saya. Saya sudah lupa tanggal persisnya, namun itu pasti sebelum tanggal 10 April 1968. Pagi itu saya bangun, dan memutuskan untuk menulis ulang kisah hidup saya. Pada umur 12 tahun lebih 3 bulan, saya merasa hidup saya kurang menarik. Saat itu saya baru saja masuk SMP Taruna Bakti di Jalan Riau. Taruna Bakti belum menjadi sekolah elite, status yang mereka dapatkan setelah tahun 80an. Tahun 60an, mereka hanyalah satu sekolah swasta biasa saja. Saya juga tidak tahu persis mengapa saya masuk sekolah itu. Tradisi keluarga saya adalah SD-SMP-SMA Negeri. Sekolah pilihan di Bandung ketika itu adalah SMP Negeri 2 di jalan Sumatra, dan SMP Negeri 5 di jalan Jawa. Letak kedua sekolah itu bersebelahan.

Alasan paktuo mungkin karena Taruna Bakti letaknya tak jauh dari jalan Anggrek tempat kami tinggal. Saya bisa berjalan kaki ke sekolah, seperti yang saya lakukan ketika SD.Namun saya tak suka sekolah itu. Selain itu saya merasa hidup saya di jalan Anggrek Bersama paktuo dan ibu terasa terlalu sepi dan berat. Pagi itu saya memutuskan berhenti sekolah, lari dari rumah dan memulai hidup baru entah di mana. Anda mungkin merasa ini terlalu berlebihan untuk anak 12 tahun, namun saya adalah veteran anak yang lari dari rumah. Saya pertama kali lari dari rumah ke Jakarta selama dua minggu ketika berumur 8 tahun. Pelarian itu menyebabkan kehebohan yang luar biasa di keluarga kami. Ini akan saya ceritakan di waktu lain.

Pagi itu di saku saya ada uang bayaran sekolah untuk bulan April. Jumlahnya 100 rupiah, mungkin sekarang nilainya Rp 100.000,- Saya juga membawa satu baju ganti. Dalam perjalanan menuju sekolah, di Taman Pramuka saya berbelok ke Jalan Gandapura menuju stasiun Cikudapateuh. Dari situ saya naik kereta ulang-alik Cicalengka-Padalarang dan turun di stasiun Bandung. Jaman itu, stasiun kereta sangat terbuka, orang boleh keluar masuk dengan bebas, Naik kereta pun dapat dilakukan tanpa tiket. Setiba di stasiun Bandung saya memutuskan untuk naik kereta pertama yang mengarah ke Timur. Kereta itu adalah kereta ekonomi Bandung-Yogyakarta.

Saya naik di gerbong barang. Ketika itu gerbong barang sudah penuh dengan orang2 yang duduk di lantai di antara paket pos dan barang-barang lainnya. Penumpang di gerbong barang ini tidak membeli tiket. Mereka membayar kepada kondektur “seikhlasnya”. Ada kira-kira 10 orang dewasa duduk di sekitar saya. Mereka bertanya mengapa saya melakukan perjalanan sendiri? Saya katakan saya anak yatim piatu yang akan mencari saudara ayah di Yogyakarta. Dalam soal yang terakhir ini saya tidak berbohong. Ada satu anak kakek Koto Gadang yang memang tinggal di Yogyakarta.Selama perjalanan 10 atau 12 jam itu, saya terus bermain peran sebagai anak yatim piatu yang terlantar. Plot cerita yang saya kisahkan kepada mereka saya ambil dari karya Hector Malot, “Sebatang Kara” (terjemahan Balai Pustaka dari judul aslinya Sans Famille). Saya adalah Remi yang sedang mencari keluarganya. Nampaknya mereka percaya. Satu ibu yang mengaku sebagai pedagang pasar di Beringharjo mengajak saya tinggal bersamanya ketika kereta tiba di Jogja malam itu. Tapi penumpang lain mencegah, dan menganjurkan saya untuk tetap mencari keluarga saya yang saya akui pemilik toko obat di Malioboro. (Di kemudian hari baru baru saya tahu memang ada toko obat milik Datuk Taloe Basa di Malioboro, tak ada hubungan saudara dengan saya. Satu kebetulan yang luar biasa). Riwayat hidup saya pasti berbeda bila saya menerima tawaran ibu tersebut.

Malam itu saya tidur di stasiun Tugu. Masa itu tampaknya biasa saja orang-orang tidur di bangku stasiun. Tak ada Razia atau pengusiran. Penjual makanan pun banyak. Stasiun buka selama 24 jam. Keesokan paginya, saya naik kereta pertama tujuan ke Surabaya. Di atas kereta itu saya memutuskan untuk turun di Madiun dan melanjutkan perjalanan ke Ponorogo.

Saya turun di Stasiun Madiun, dan pergi menuju rumah keponakan ibu Anggrek di depan stasiun Madiun. Saya sudah lupa nama mbak ini, orang tuanya adalah juragan batik di Ponorogo, dan dia baru saja menikah dengan seorang guru di Madiun. Mbak ini kebingungan dengan kedatangan saya. Saya ingat saya mandi dan makan di rumahnya. Saya lupa bagaimana saya dapat sampai di Ponorogo, apakah diantarkan suami si mbak atau saya sendiri naik kereta api. Ketika itu masih ada jalur kereta api Madiun-Ponorogo. Jalur ini ditutup pada 1984.

Stasiun KA Ponorogo, circa 1970.

Tiba di Ponorogo, mas Giyanto anak bu Mis yang tinggal di Ponorogo juga bingung. Saya katakan padanya saya ingin sekolah di Gontor menyusul saudara saya Emiel Shamsuddin yang sudah lebih dahulu ada di sana. Namun setiba di Ponorogo saya demam panas selama seminggu. Mungkin karena kelelahan melakukan perjalanan, dan kurang asupan makanan selama beberapa hari itu. Selama saya sakit, rupanya mas Giyanto sudah menghubungi Paktuo. Mungkin melalui telepon. Mereka memutuskan saya harus pulang ke Bandung dulu. Soal sekolah nanti bisa dirembuk belakangan.

Seminggu setelah sembuh, saya diantar mas Giyanto ke Stasiun Madiun. Di sana saya dititipkan kepada seorang bintara Angkatan Udara yang baru bertugas di Pangkalan Udara Maospati di Madiun (sekarang Pangkalan Udara Iswahyudi), dan hendak kembali ke Pangkalan Udara Andir di Bandung (sekarang pangkalan udara Husein Sastranegara). Om Sersan Mayor PGT ini, saya sudah lupa namanya, berasal dari Kupang. Jaman itu hidup memang tampak sederhana. Mas Giyanto mencari-cari penumpang dengan tujuan Bandung. Ketika berkenalan dengan om PGT ini, dia langsung menitipkan saya dan meminta tolong mengantarkan saya ke Jalan Anggrek. Si om tanpa banyak pertimbangan juga langsung setuju.

Malam itu setiba di Bandung, saya tidur semalam di asrama Pasukan Gerak Cepat Angkatan Udara di Andir. Keesokan paginya, si om PGT mengantar saya ke Jalan Anggrek. Petualangan saya selama tiga minggu berakhir.

Pasar Legi Ponorogo, 6 Maret 2022.

Sejak saya meninggalkan rumah di Jalan Anggrek pada 1968, saya putus kontak dengan keluarga bu Mis di Ponorogo. Masih beberapa kali saya datang ke Jalan Anggrek ketika paktuo meninggal tahun 1970, dan ketika ibu meninggal tahun 1978, namun saya tak ingat ada keluarga dari Ponorogo yang datang ketika itu. Hidup memang berat bagi keluarga di Ponorogo setelah tahun 70an. Industri batik rumahan yang pernah berjaya di tahun 60an, kalah bersaing dengan batik industrial seperti Batik Keris dan Danarhadi. Saya dengar usaha batik mas Giyanto terpaksa ditutup.

Saya kembali ke Ponorogo setelah 54 tahun berlalu. 6 Maret 2022.

Setelah 54 tahun berlalu, saya ingin menyambung silaturahmi dan menengok Kembali rumah bu Mis di Jalan Batoro Katong. Saya ingat betul alamat rumah itu adalah Jalan Batoro Katong nomor 45. Ketika saya temukan alamat itu, ada sesuatu yang salah. Pertama, alamat itu terletak di sebelah kiri jalan dari arah Pasar Legi. Padahal rumah bu Mis saya ingat betul berada di sebelah kanan jalan. Yang kedua, bentuk rumahnya adalah rumah batu yang populer dibangun para juragan batik Ponorogo pada tahun 60an, padahal rumah bu Mis adalah rumah limasan tua warisan dari mbah Buyut yang terbuat dari kayu jati. Mungkin saja telah terjadi renovasi rumah, namun pasti tidak dalam bentuk rumah tahun 60an.

Rumah di Jalan Batoro Katong no. 45 Ponorogo.

Ternyata telah terjadi banyak perubahan di Ponorogo selama 54 tahun, termasuk dalam sistem penomoran rumah. Sekarang memang tampak lebih rapi karena nomor ganjil berada di sebelah kiri, dan nomor genap berada di sebelah kanan jalan. Jadi rumah bu Mis pasti sekarang bernomor genap. Saya segera bertanya kepada warga di sekitar rumah nomor 45, barangkali mereka masih mengenal keluarga mas Giyanto. Tak ada yang kenal walaupun saya sudah menyebutkan nama Hartini Sukarno. Sebagian besar dari mereka baru tinggal di tempat itu setelah tahun 90an. Yang terakhir kami tanya adalah penjual roti bakar di seberang rumah nomor 45. Sang penjual tidak dapat memberi petunjuk,”Saya seorang pendatang, pak” katanya. Namun seorang pembeli mengatakan rumah keluarga Hartini Sukarno telah berubah menjadi restoran. Ia menunjukkan arah dan mengatakan rumahnya berbentuk “Joglo”.

Kami segera berbalik arah dan melihat ke sebelah kanan jalan. Ada satu bangunan yang menonjol di nomor 88, namun bukan restoran melainkan sebuah spa. Selain itu bentuk atapnya pun bukan joglo melainkan bentuk limasan. Perasaan saya langsung berkata ini rumahnya.Spa itu tutup sejak pandemic Covid-19, namun penjaganya dengan ramah mengijinkan kami masuk dan membuat foto. Dia sama sekali tak tahu di mana keluarga pemilik rumah yang lama berada. Dia mengatakan bahwa rumah itu telah berganti tangan 3 kali sejak tahun 2015. Memang pernah jadi restoran, namun kemudian dijual karena bangkrut. Kami bertanya pada tetangga kiri-kanan, mereka mengkonfirmasikan rumah itu bekas rumah keluarga Hartini Sukarno. Namun mereka tak tahu di mana keluarga mas Giyanto berada. Kami berada di jalan buntu.

SPA di Jalan Batoro Katong no. 88 Ponorogo.

Emiel Shamsudin, kerabat saya yang pernah mondok di Gontor dan akrab dengan keluarga bu Mis, memberi petunjuk bahwa Teguh anak mbak Mariana pernah menjadi aktifis PDIP. Dia menganjurkan saya menghubungi kantor PDIP Ponorogo, mungkin mereka memiliki petunjuk dan dapat memberikan alamat rumah Teguh. Kami segera menuju ke kantor PDIP Ponorogo di jalan Budi Utomo. Namun para petugas partai di sana tak dapat memberi petunjuk apapun. Bahkan mereka tak kenal dengan Teguh! Kembali kami berada di jalan buntu,

Kantor PDIP Ponorogo.

Siang itu menjelang meninggalkan Ponorogo, kami minum kopi di Wijsoen Coffee, warung kopi yang banyak dipujikan orang di media sosial. Warung kopi kecil ini juga menyangrai kopi yang berasal dari daerah sekitar Ponorogo. Mas Nugroho pemilik kedai sangat ramah dan menjelaskan mengenai kopi-kopi yang ditanam di sekeliling Gunung Wilis. Ia kemudian bertanya keperluan saya datang ke Ponorogo. Segera saya ceritakan kisah pencarian saya. Seorang pengunjung, kedai kopi itu begitu kecil dan akrab sehingga semua pengunjung dapat saling mendengar dan mengobrol, mengaku berasal dari keluarga pembatik dan besar di Sumpil (jalan Batoro Katong). Ia mengaku kenal dengan keluarga mas Giyanto. Ia bahkan berkata masih bertemu dengan isteri mas Giyanto beberapa tahun yang lalu di “sebuah pom bensin mini di daerah Jeruksing!”. Saya segera meminta petunjuk lokasi, dan menuju ke sana dalam perjalanan kami menuju Madiun.

Wijsoen Coffee, Jalan Thamrin, Ponorogo, 7 Maret 2022.

Pom bensin mini yang dimaksud mbak Ella kami temukan sesuai dengan petunjuknya. Pemilik pom mini mengatakan bahwa mas Giyanto dan keluarganya masih hidup. Namun mereka bukan pindahan dari jalan Batoro Katong, melainkan memang asli dari Jeruksing. Dan ini pamungkasnya, ketika saya tanya berapa umurnya dia mengatakan “Mas Giyanto” berumur kira2 50 tahunan. Mas Giyanto anak bu Mis, bila masih hidup akan berumur 90an tahun. Ternyata kami tetap berada di jalan buntu.

Pom Mini di Jeruksing (Jalan Suprapto) Ponorogo.

Saya meninggalkan Ponorogo dengan bermacam perasaan. Sedih dan kecewa karena tak dapat menemukan jejak keluarga bu Mis. Namun juga dengan perasaan puas karena dapat kembali menelusuri jejak petualangan masa muda saya. Perasaan lega dan lepas seperti baru kembali dari terapi di spa atau di klinik psikiatri!

Saya di depan bangunan yang saya yakini bekas rumah Bu Mis.

Tulisan ini pernah dimuat di Facebook pada tanggal 7-10 Maret 2022.