There are no ifs in herstory
Ungkapan di atas dipegang oleh banyak penulis sejarah, tak ada kata “bagaimana kalau” hal ini yang terjadi, dan bukan yang itu. Namun karena dalam pekerjaan saya banyak melakukan analisis kontrafaktual (counterfactual analysis) , pada penulisan Riwayat hidup Emak selalu terbersit pertanyaan bila Emak mengambil pilihan lain, apa yang akan terjadi? Menurut amatan saya ada 3 titik balik yang dapat membuat cerita Emak menjadi lain sama sekali. Masa-masa itu ada di tahun 1939, 1950 dan 1956. Saya sebut sejarah alternatif ini sebagai skenario Saadah Alim, skenario Aisyah Amini, dan skenario Boedi Moelia.
Skenario Saadah Alim
Emak memutuskan untuk tidak berlibur ke Medan pada tahun 1939. Emak punya banyak pilihan, ia dapat pergi berlibur ke Padang, atau bahkan ke Batavia. Emak punya banyak waktu karena vakansi sekolah yang cukup lama, dan Emak memiliki cukup uang untuk pergi ke Batavia dengan kapal laut.
Pada vakansi sekolah tahun 1939, Emak pergi ke Batavia dengan seorang temannya seorang guru lulusan MNS juga. Selama di Batavia mereka pesiar ke pantai Tjilintjing, dan belanja di Pasar Baroe. Mereka menikmati Pasar Malam Gambir di Koningsplein (sekarang Monumen Nasional), dan menonton pertunjukan musik di Gedung Komidi (Theatre Schouwburg. Sekarang Gedung Kesenian Jakarta) di Weltevreden. Emak juga memuaskan keinginannya mencicipi Eskrim Ragusa yang terkenal di Citadelweg (sekarang Jalan Veteran I). Tak ada hal yang romantis terjadi di Batavia.
Setahun kemudian Emak menikah dengan seorang guru HIS lulusan Kweekschool di Fort de Kock (Sekolah Raja). Suami Emak mengajar di HIS Padang Panjang. Emak pun pindah dari Solok ke Padang Panjang, dan mengajar di Sekolah Diniyah Putri. Emak mengajar kesusasteraan Indonesia dan menjadi pelatih drama untuk para pelajar putri. Mak Gaek mengatur agar selalu ada kerabat dari Supayang datang membantu tugas-tugas rumah tangga, dan mengurus anak-anak Emak. Dengan demikian, Emak memiliki waktu untuk menulis puisi dan membuat naskah drama.
Naskah drama Emak temanya selalu berkaitan dengan perlawanan tokoh utamanya terhadap adat yang mengungkung perempuan. Pesannya sangat jelas, Emak anti kawin paksa dan anti poligami. Puisi-puisi Emak terasa lebih lembut dari naskah dramanya. Puisi Emak selalu berbicara mengenai indahnya alam Minangkabau serta kerinduannya akan pantai dan laut. Emak selalu menulis puisi dalam setiap perjalanannya. Naskah drama Emak kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka. Emak menggunakan nama samaran untuk karya puisi dan naskah dramanya. Hal itu dilakukannya untuk melindungi karir suaminya sebagai pegawai pemerintah.
Emak juga menjadi penulis lepas untuk suratkabar Bintang Hindia, dan Pustaka Timur. Emak menulis mengenai masalah-masalah Pendidikan bagi perempuan, dan juga mengenai persamaan hak antara lelaki dan perempuan.
Selama masa pendudukan Jepang, Emak Kembali ke Supayang dan mengolah tanah warisannya. Ketika itu adalah masa yang sulit bagi semua orang, namun keluarga Emak masih dapat bertahan dengan hasil bumi di Supayang. Emak mengisi waktunya di Supayang dengan menyelenggarakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf untuk perempuan dan orang tua di Supayang.
Setelah kemerdekaan, keluarga Emak pindah ke kota Padang. Buku kumpulan puisi Emak diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda. Sangat populer di sana karena isinya mewakili kerinduan orang-orang Belanda pada Hindia yang jelita (Mooi Indie). Naskah drama Emak dibuat menjadi film layar lebar oleh Perusahaan Film Negara.
Selama pemberontakan PRRI, keluarga Emak mendukung PRRI. Namun Emak tidak ikut masuk ke dalam hutan selama pergolakan itu. Konflik membuat bekas yang dalam pada anak-anak Emak. Mereka semua memendam perasaan anti-Sukarno dan anti-Jawa seperti juga banyak keluarga Minang lainnya.
Anak-anak Emak berbicara dalam Bahasa Minang di rumah. Mereka juga semua menyelesaikan pendidikan di Kota Padang, ada yang lulus dari Universitas Andalas, ada pula yang lulus dari IKIP Padang. Mereka bekerja sebagai dosen atau pegawai negeri, kecuali anak nomor 7 yang menjadi guru musik di INS Kayutanam.Semua anak Emak menikah dengan orang Minang. Emak sangat bahagia melihat hal ini. Semua cucu Emak namanya tercantum dalam ranji suku ibu mereka.
Ketika Emak wafat, ia dikuburkan di tanah kelahiran yang sangat dicintainya, Nagari Supayang.
Skenario Aisyah Amini.
Pada tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan, Emak mengikuti keinginan Ayah untuk Kembali ke Jakarta. Ayah meneruskan karirnya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai pegawai tinggi di Kementerian, Ayah mendapat pembagian rumah dinas peninggalan Belanda di daerah Menteng dekat dari kantornya di Jalan Cilacap.
Setelah pindah ke Jakarta, Emak aktif dalam kursus-kursus politik yang dilaksanakan oleh Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) onderbouw Partai Masyumi. Emak juga turut aktif dalam kampanye Partai Masyumi pada pemilihan umum 1955. Masyumi mendapatkan suara nomor dua terutama karena kantong-kantong pemilihnya di luar Jawa. Setelah Partai Masyumi dibubarkan Sukarno tahun 1960, Emak aktif dalam organisasi Aisyiah dan Yayasan sosial yang didirikan bersama teman-temannya alumni MNS.
Setelah kejatuhan Sukarno di tahun 1967, Emak terlibat aktif dalam upaya pendirian Kembali Partai Masyumi. Ketika upaya itu gagal, Emak aktif dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Emak dicalonkan sebagai anggota DPR dari Parmusi dalam pemilihan umum tahun 1971, namun tidak berhasil mendapatkan cukup suara. Setelah fusi partai-partai Islam pada 1972, Emak aktif dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah 10 tahun bekerja untuk partai, mulai dari pengurus cabang Jakarta Pusat dan kemudian Pengurus Wilayah Propinsi DKI Jakarta, Emak baru dicalonkan kembali sebagai anggota DPR dalam Pemilihan Umum tahun 1982. Kali ini dengan kemampuan Emak sebagai networker dan orator, Emak berhasil terpilih menjadi anggota DPR dari Jakarta Raya. Emak Kembali terpilih menjadi anggota DPR pada pemilihan umum tahun 1987 dan 1992. Emak memutuskan pensiun dari kegiatan politik tahun 1997, karena ia merasa sudah waktunya terjadi pergantian dengan kader partai yang lebih muda.
Anak-anak Emak yang besar di Jakarta orientasinya lebih kosmopolitan, Mereka berbicara dalam Bahasa Indonesia bercampur Bahasa Inggris di rumah seperti umumnya anak-anak Jakarta Selatan. Semua anak lelaki Emak kuliah di Fakultas Kedokteran UI, sesuai dengan keinginan Ayah, kecuali si Bungsu yang memutuskan untuk kuliah di Fakultas Psikologi UGM. Si Bungsu rupanya terpengaruh oleh novel Cintaku di Kampus Biru karangan Ashadi Siregar. Anak perempuan Emak lebih bebas memilih pendidikan dan karirnya, Ada yang memutuskan untuk dropout sekolah dan menjadi pengusaha kuliner. Ada pula yang kemudian menekuni ilmu agama, dan menjadi ustadzah yang sangat populer di televisi.
Semua anak Emak menikah dengan pasangan pilihannya sendiri. Oleh karena itu menantu Emak menjadi beragam: ada Jawa, ada Batak, ada Ambon, ada Tionghoa, dan ada pula satu menantu dari Hongaria.
Ayah dan Emak dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kawi-kawi, di dekat makam Sabartiana yang sangat disayang Ayah.
Skenario Boedi Moelia.
Emak dan anak-anak memutuskan tidak ikut Ayah ke Bandung tahun 1956. Emak tetap aktif di Yayasan Boedi Moelia selama Ayah kuliah di Bandung. Ayah menyelesaikan sekolah lebih cepat karena tak perlu sambil mengajar di SMA 2 Bandung. Ayah pulang ke Padang pada awal tahun 1958, dan terjebak dalam pemberontakan PRRI. Sebagai seorang pasifis, ayah mengecam pemberontakan itu dan menyebutnya sebagai petualangan yang tidak bertanggungjawab. Karena sikapnya, Ayah dijauhi oleh saudara-saudaranya yang hampir semuanya mendukung PRRI.
Emak tetap menjadi ibu Asrama Puteri di Kampung Nias, dan membantu anak-anak yang mengungsi karena peperangan. Ayah Kembali mengajar di SMA Negeri 1 Padang setelah situasi Kembali tenang di tahun 1960. Ayah pensiun sebagai Kepala Sekolah SMA, dan Emak meneruskan aktifitas sosialnya melalui Yayasan Boedi Moelia dan Aisyiah. Karena aktifitas dan jaringan sosialnya, Emak diminta oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi calon anggota DPRD. Ia terpilih menjadi anggota DPRD Kota Padang selama satu periode.
Semua anak Emak sekolah di Padang sampai SMA. Beberapa meneruskan pendidikannya ke Pulau Jawa. Ada seorang kuliah di Fakultas Kedokteran UI, seorang di Fakultas Pertanian IPB, dan seorang di Fakultas Kedokteran Gigi UNAIR. Sisanya memutuskan untuk kuliah di Universitas Andalas dan IKIP Padang. Anak-anak Emak kemudian memasuki profesi yang beragam, walaupun sebagian besar menjadi dosen di almamaternya dan menjadi pegawai negeri.
Anak-anak Emak menikah dengan pilihan mereka sendiri. Tak semuanya orang Minang. Namun Emak tak menyesalinya, karena ada juga anak lelakinya yang menikah dengan gadis Minang.
Ayah dan Emak dimakamkan di pemakaman Keluarga Ayah di Seberang Padang.
Semua skenario ini masuk akal (plausible), walaupun skenario Boedi Moelia tampaknya yang paling mungkin (probable).
Mengenali sifat-sifat Emak, saya yakin Emak akan tetap setia pada keputusan yang telah diambilnya. Emak tak akan menyesali pilihannya di masa lalu, dan Emak tidak mungkin mengimajinasikan kehidupan lain, kecuali kehidupannya bersama Ayah dan anak-anaknya. Dalam masa-masa sempit di jaman Jepang dan dalam pengungsian, maupun dalam masa-masa lapang di Padang dan Bandung. Sebagai perempuan yang punya kemauan keras, mungkin pepatah Bugis-Makassar ini tepat untuk Emak, “sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”. Sekali keputusan diambil, ia akan siap menghadapi semua akibatnya. Tanpa penyesalan!
Selamat ulang tahun, Ma! Kami semua menyayangimu!
11 Februari 2022.