Rumah Gadang
Salah satu informasi penting yang kami dapat dari facebook adalah foto Rumah Gadang keluarga kami di koleksi KITLV (Koninklijk Institut voor Taal-. Land-, en Volkenkunde), Lembaga penelitian Bahasa dan kebudayaan di Negeri Belanda.
Menurut cerita lisan keluarga, Penghulu Suku Malayu yang membangun Rumah Gadang adalah Datuk Khatib Manjalani yang menjadi Tuanku Lareh pada tahun 1840. Datuk kami itu sangat terkesan dengan kapal-kapal Belanda yang berlabuh di Pulau Cingkuk ketika diundang berunding ke sana. Ia kemudian membuat maket rumah gadang dari bambu dengan anjuang seperti anjungan kapal Belanda. Ia pun bernazar bila adik perempuannya, ketika itu sedang hamil, melahirkan anak perempuan, maka ia akan membangun Rumah Gadang yang baru. Kebetulan adiknya melahirkan anak perempuan yang menjamin keberlanjutan suku Malayu di Supayang. Bila dilihat dalam ranji keluarga, adik Datuk Khatib Manjalani Bernama Puti Sayang, dan kemenakannya Bernama Puti Cadiak.
Rumah Gadang ini dibangun dari sebatang kayu yang diambil dari Rimbo Aie Busuak di daerah Aie Luo sekitar 13 kilometer dari Supayang. Menurut cerita, saking besarnya pohon itu maka bekas tebangannya seluas 150 sukat padi atau kurang lebih 12 meter persegi. Lingkaran pohon ini besarnya sepemelukan 5 orang laki-laki dewasa. Rumah Gadang dibangun selama lebih dari tujuh tahun dan baru selesai pada 1854.
Menurut cerita kakak-kakak yang pernah tidur di sana, Rumah Gadang terdiri dari 4 lantai. Lantai pertama berupa lanjar (ruang terbuka) yang dipergunakan untuk menerima tamu dan kenduri, dan 5 buah bilik. Setiap bilik ditempati oleh satu keluarga. Ada 2 anjungan untuk berangin-angin, masing-masing satu di sisi kanan dan kiri rumah. Lantai dua berupa ruangan terbuka, tidak memakai daun jendela, hanya teralis saja, dan digunakan untuk pertemuan keluarga. Lantai tiga berada di atap digunakan untuk Gudang dan tempat penyimpanan barang. Lantai empat berupa anjungan puncak tempat pusaka keluarga disimpan. Di lantai empat itulah terdapat tengkorak manusia yang saya ceritakan sebelumnya. Untuk sampai ke lantai 4 hanya ada satu balok kayu yang ditatah sebagai tangga dari lantai 3.
Informasi mengenai foto Rumah Gadang kami dapatkan dari seorang pembaca tulisan pertama saya mengenai Supayang, Aseanri Murad. Ia tinggal di Depok dan merupakan kenalan Firdaus Jamal teman lama saya yang tinggal di Padang. Sampai sekarang saya masih belum sempat bertemu Aseanri, namun saya sangat berterimakasih akan informasinya. Aseanri tidak saja mengirimkan foto-foto Supayang dari koleksi pribadinya, melainkan juga memberikan tautan tempat penyimpanan foto aslinya di koleksi Budaya Dunia (Wereld Culturen) KITLV.
Ketika saya bagikan foto rumah gadang itu di WA keluarga, dan kemudian di WA diaspora Supayang, banyak yang tidak percaya itu adalah Rumah Gadang keluarga kami. Selama ini kami membayangkan Rumah Gadang itu seperti yang digambarkan dalam sketsa Pak Gaek. Sketsa pak Gaek, kemudian dibuat menjadi lukisan Rumah Gadang yang terpasang di rumah Emak, memiliki 10 gonjong (ikatan atap dari ijuk yang melengkung ke atas seperti tanduk kerbau). Empat gonjong di sebelah kiri, empat gonjong di sebelah kanan, dan dua gonjong kecil di anjungan puncak. Sedangkan foto dari KITLV tersebut, gonjongnya hanya berjumlah 6: Dua di sebelah kiri, dua di sebelah kanan dan dua di anjungan puncak. Saudara-saudara dari diaspora Supayang ada yang telah mengetahui foto itu tersimpan di Leiden. Namun mereka menduga itu adalah foto Rumah Gadang dari Nagari Supayang yang lain. Ada Nagari Supayang di Kecamatan Salimpuang, Kabupaten Tanah Datar.

Walaupun mendapatkan penolakan, saya yakin ini adalah foto Rumah Gadang Keluarga kami. Terlalu banyak kemiripannya, terutama dari bentuk atap penutup tangga, dan bentuk anjungan di atap yang seperti anjungan kapal. Anjungan ini berbeda dengan bentuk anjungan rumah gadang tipe Gajah Maharam yang umumnya memiliki satu gonjong menghadap ke muka. Selain itu, sangat jarang ada rumah gadang yang biliknya bertingkat, dapat dilihat dari deretan jendelanya. Semua ciri-ciri fisik rumah dalam foto itu sama dengan cerita lisan dan sketsa Pak Gaek, kecuali jumlah gonjongnya. Mungkin saja telah terjadi pelebaran dengan menambah dua gonjong di kiri, dan dua gonjong di kanan bangunan setelah tahun 1878.
Oleh karena itu, saya dan Ghamal mencari informasi lain untuk memperkuat keyakinan kami tersebut. Ghamal menemukan bahwa foto-foto Supayang dalam koleksi KITLV diambil oleh seorang fotografer bernama Daniel David Veth. Veth melakukan ekspedisi ke Sumatera pada tahun 1877-1879. D.D. Veth menulis perjalanannya dalam sebuah jurnal berbahasa Perancis Le Tour du Monde (1880) dengan judul “A Travers L’ille de Sumatra” yang kami temukan dalam koleksi perpustakaan Cornell di Amerika Serikat. Dalam artikel Veth ini hanya dicantumkan sketsa tempat-tempat yang ia kunjungi, bukan foto , termasuk sketsa Rumah Gadang di Supayang.
Dari artikel DD Veth itu, kami mengetahui bahwa pimpinan rombongan ekspedisi ke Sumatra itu adalah P.J. Veth. Prof. Veth, ayah Daniel Veth, menulis buku mengenai perjalanannya berjudul Midden-Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra-Expeditie, 1877-1879 (Leiden: Brill, 1882). Ghamal menemukan buku ini dalam koleksi perpustakaan Universitas Leiden.Dari pembacaan Ghamal terhadap dua publikasi tersebut, kami mendapat keyakinan bahwa mereka melakukan perjalanan ke Supayang di Kabupaten Solok, bukan di Kabupaten Tanah Datar. Mereka merujuk kepada nama-nama tempat seperti Sirukam, dan jaraknya atau lamanya perjalanan dari Supayang ke Sirukam. Mereka juga menulis tinggal selama dua minggu di Supayang di rumah “Katieb Negri”. Foto Rumah Gadang yang disertakan dalam buku Prof. Veth adalah rumah keluarga “Katieb Negri”, dan ini gongnya “rumah itu didirikan oleh Khatib Manjalani yang pernah menjadi Kepala Laras (Larashoofd) dan meninggal di Mekkah”. Voila!
Masih ada yang lain, buku Veth juga menceritakan mengenai ibu “Katieb Negri” yang bernama “Andei Tjardik” dan adiknya yang bernama “Hadji Abdoellah”! Kami melihat lagi ranji keluarga, dan tentu saja kami menemukan nama Puti Cadiak yang karena kelahirannyalah maka Rumah Gadang dibangun. Anak lelaki Puti Cadiak ada 3 orang: Mandeto gelar Datuk Sampono Batuah (Haji Abdullah), Mandangut gelar Khatib Rajo (Nagari hoofd), dan Maninting Alam gelar Datuk Batuah. Jelaslah bawa yang dimaksud “Katieb Negri” oleh Veth adalah Datuk Khatib Rajo yang ketika itu sedang menjadi Nagarihoofd atau Wali Nagari Supayang.
Menurut Ghamal, jarang sekali ada rumah keluarga orang biasa dan berada di pedalaman seperti rumah keluarga kami dapat masuk ke dalam buku sejarah. Hanya karena satu kebetulan, nama-nama Datuk kami dan Rumah Gadang suku Malayu di Supayang tercatat dalam buku sejarah.
Sebetulnya bila ada kesempatan pulang ke Padang saya ingin belajar mengenai arsitektur rumah gadang dengan para pakar. Saya sudah catat nama Eko Alvares dan Osrifoel Oesman. Saya ingin tahu mengenai kayu yang mungkin digunakan untuk membangun Rumah Gadang sebatang pohon itu. Berdasarkan literatur, ada 3 jenis kayu yang biasa digunakan untuk rumah gadang: kayu Jua atau Johar (Cassia Siamea), kayu Surian atau Suren (Toona Sureni), dan kayu Bayua atau Bayur (Pterospermum Javanicum). Kayu Bayua adalah kayu kelas tiga, dari segi kekuatan dan keawetannya, serta diameter batangnya kecil. Kecil kemungkinan kayu Bayua digunakan membangun Rumah Gadang yang direncanakan bertahan ratusan tahun. Kayu Jua biasanya digunakan untuk tonggak rumah karena lurus dan keras. Kayu Jua direndam dalam lumpur paling tidak selama setahun sebelum digunakan.
Hanya kayu Surian yang mungkin dimaksudkan dalam cerita tutur keluarga kami. Pohon Surian bisa tumbuh hingga 60 meter dengan diameter 4 meter. Pada tahun 70an Emak pernah bercerita bahwa penduduk kampung di Aie Busuak pernah menghubunginya, dan mengabarkan bahwa anak pohon yang dipakai untuk Rumah Gadang sudah sebesar induknya. Artinya sudah berumur lebih dari 120 tahun. Mungkin pula pohon Surian yang berumur ratusan tahun bisa tumbuh sepemelukan 5 orang dewasa seperti yang dituturkan orang-orang tua kami.
Orang di Aie Busuak menghubungi Emak karena Rumah Gadang keluarga kami telah habis terbakar pada tahun 1962. Mereka menawarkan diri bila keluarga Emak hendak membangun Kembali Rumah Gadang, mereka bersedia membantu.Namun tak ada lagi sumberdaya yang dapat digunakan untuk membangun Rumah Gadang sebesar dan semegah rumah yang dibangun Datuk Khatib Manjalani. Selain itu, siapa yang akan tinggal dan memeliharanya?