Ranji.

Setiap keluarga Minang pasti memiliki ranji, yaitu silsilah keluarga yang dirunut dari garis ibu.Salah satu sumber informasi penting dalam penulisan cerita Emak adalah ranji Rumah Gadang suku Malayu di Supayang. Ranji itu dimulai ketika suku Malayu mulai tinggal di Supayang dipimpin oleh Bundo Kanduang (Matriarkh) Bernama Puti Sari Suto. Tidak ada penjelasan dari mana keluarga kami berasal dan pada tahun berapa mereka mulai tinggal di Supayang. Cerita lisan dalam keluarga pun tidak pernah menceritakan tahapan exodus keluarga kami ini. Perdebatan dalam budaya Minangkabau memang lebih banyak tentang genesis, asal usul orang Minang, daripada exodus, perjalanan merantau sebuah suku atau klan.

Kubuang Tigo Baleh, konfederasi 13 Nagari tempat Supayang berada, merupakan daerah rantau dari Luhak Tanah Datar. Menurut legenda, terjadi konflik di istana Pagaruyung yang menyebabkan 13 Datuk kemudian pergi meninggalkan Luhak Tanah Datar bersama anak kemenakannya. 13 Datuk itulah yang kemudian mendirikan 13 Nagari yang menjadi asal muasal konfederasi Kubuang Tigo Baleh.

Tentu saja dalam kenyatan, pembangunan Nagari tidak terjadi secara tiba-tiba. Sesuai dengan urutan pembentukan Nagari, pada mulanya mungkin ada penetrasi penduduk dalam bentuk migrasi sirkular ke wilayah subur di kaki gunung Talang. Para migran ini membuka hutan dan membuat taratak atau huma yang jaraknya mungkin 3-4 hari perjalanan dari Nagari asal mereka. Setelah produksi pertanian stabil, maka pemukiman tetap dalam bentuk dusun mulai dibangun. Dusun ini mestilah terdiri dari beberapa suku untuk menjamin terjadinya proses reproduksi sesuai dengan adat Minangkabau. Dusun kemudian menjadi koto ketika pagar atau benteng yang mengelilingi dusun dibangun untuk keamanan. Setelah basis ekonomi menjadi semakin kuat dan kepadatan penduduk semakin tinggi, barulah dibentuk sebuah Nagari.

Nagari perlu memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah Nagari, yaitu memiliki jalan yang menghubungkan dusun dan pemukiman (balabuah), memiliki sumber air apakah tepi sungai atau mata air (batapian), memiliki tempat pertemuan untuk membicarakan masalah-masalah Nagari (babalai), memiliki tempat peribadatan (bamasajid), dan memiliki tempat terbuka atau lapangan untuk pasar dan kegiatan kesenian atau berolahraga (bagalanggang). Tanpa itu semua sebuah pemukiman bagaimana padat dan majunya, tak dapat disebut sebuah Nagari. Mungkin itu pulalah yang terjadi di Supayang dan Nagari-nagari di sekitarnya. Nagari tidak terbentuk secara tiba-tiba ketika serombongan orang yang terusir bedol desa ke tempat lain.

Nama atau gelar Puti biasanya hanya diberikan kepada keluarga raja-raja dari Pagaruyung. Mungkin saja nenek moyang kami itu merupakan keluarga Raja Alam Pagaruyung yang juga bersuku Malayu. Nama Puti masih ditemukan dalam ranji kami sampai dengan keturunan ke tujuh. Setelah itu nama-nama nenek kami mulai memakai nama yang berasal dari Bahasa Arab dengan lafal Minangkabau. Misalnya Saripah, Rapipah, dan Habisah. Namun masih muncul juga nama-nama lama seperti Bungo Ameh, Nanti Urai dan Sari Limun.Emak adalah keturunan Puti Sari Suto yang ke sebelas. Bila kita andaikan satu generasi 25 tahun, maka kepindahan nenek moyang kami ke Supayang mungkin terjadi pada paruh terakhir abad ke 17, antara tahun 1650-1700. Sebetulnya bila waktu untuk riset cukup, saya ingin menggali peristiwa apa yang terjadi di Pagaruyung pada periode itu, sehingga nenek moyang kami harus pergi ke Supayang. Faktor penariknya mungkin masih tersedianya lahan pertanian di Kubuang Tigo Baleh. Namun mungkin pula ada faktor pendorong lainnya sehingga terjadi migrasi.

Mulai generasi ke delapan, pada pertengahan abad ke-19, muncul nama-nama dengan gelar Haji dalam ranji. Ini menunjukkan bahwa ekonomi keluarga kami mulai membaik, dan mungkin pula prestise keluarga akan naik bila ada anak-kemenakan yang melakukan ziarah ke tanah suci. Baru kemudian, dari sumber-sumber tertulis Eropa, kami mengetahui bahwa Datuk Khatib Manjalani penghulu dari generasi ke lima, yang juga menjabat Tuanku Lareh, meninggal di Mekkah saat melakukan ibadah haji. Dengan demikian membaiknya ekonomi keluarga kami mungkin pula berhubungan erat dengan pasifikasi Belanda (Pax Nederlandica) setelah selesainya perang Padri. Jelaslah bahwa keluarga kami mendapatkan manfaat dari integrasi ekonomi Supayang dengan ekonomi dunia melalui sistem tanam paksa kopi.

Sayangnya ranji tidak memuat nama urang sumando, atau suami-suami dari perempuan di rumah gadang. Oleh karena itu kami tidak mengetahui siapa suami Puti Sari Suto dan apa sukunya. Bapak Mak Gaek yang memiliki catatan harian dalam huruf Jawi jelaslah seorang yang alim atau berpengetahuan. Kami tak dapat menemukan siapa namanya, dan dari mana ia berasal. Salah seorang kerabat mengatakan dia bernama Angku Imam Bijak. Ini lebih seperti gelar yang diberikan oleh masyarakat. Dia mungkin merupakan seorang guru yang dipanggil Angku, dan menjadi imam di masjid Nagari Supayang. Karena keluasan pengetahuannya dia dipanggil Imam Bijak. Boleh jadi juga dia berasal dari luar Supayang, bahkan mungkin pula bukan orang Minang.

Seperti diketahui Supayang merupakan tempat penting dalam penyebaran agama Islam di pedalaman Minangkabau. Syekh Mukhsin Supayang yang makamnya dikeramatkan merupakan khalifah dari Tarekat Syatariah. Ia merupakan murid dari Syekh Burhanuddin di Ulakan yang merupakan murid dari Syekh Abdurrauf Singkil. Syekh Mukhsin aktif menyebarkan agama Islam di Kubuang Tigo Baleh (yang kemudian menjadi Kabupaten Solok) dan Sijunjung pada pertengahan abad ke-18. Tidak ada catatan mengenai keterlibatan keluarga kami dalam tarekat Syatariah maupun dalam pemahaman esoterik agama Islam. Namun Emak pernah bercerita mengenai keluarga kami yang menjadi ulama di Kesultanan Siak.

Cerita lisan dalam keluarga lebih banyak mengenai cerita kepahlawanan serta kemampuan berperang dan silat nenek moyang kami. Bahkan satu trophy berupa tengkorak seorang musuh yang dipenggal kepalanya oleh salah seorang Datuak di jaman dahulu masih tersimpan di anjuang Rumah Gadang sampai tahun 60an. Penekanan cerita tutur pada kemampuan para Datuak berperang dan bersilat, mungkin menunjukkan awal pemukiman keluarga kami di Supayang yang penuh dengan konflik dan kekerasan. Bila melihat Ranji, sampai dengan generasi ke delapan jumlah anak di setiap generasi hanya sedikit. Ini lebih merupakan indikasi tingkat kematian bayi yang tinggi dan tingkat harapan hidup yang rendah. Sebetulnya bila ada waktu, data ini dapat diverifikasi dengan melihat batu nisan yang ada dalam pemakaman keluarga dan menghitung umur mereka.

Seperti pernah dituliskan sebelumnya, Emak pandai bersilat, ia pun mewarisi buku-buku pengobatan dan ilmu sihir yang merupakan pusaka keluarga. Sayang sekali Emak memutuskan untuk membakar buku-buku itu sebelum ia meninggal. Kepandaian silat keluarga mungkin telah diturunkan oleh Mak Uan, adik lelaki Emak, kepada anak-anak dan murid-muridnya di Supayang. Dalam keluarga kami, hanya kakak nomor dua yang pernah belajar silat langsung dari Mak Uan. Mak Uan dikenal sebagai parewa di Supayang pada jamannya.

Ranji keluarga juga sangat membantu untuk verifikasi beberapa informasi yang kami dapatkan dari pembaca cerita Emak di facebook, maupun dari sumber-sumber tertulis yang kami dapatkan dari perpustakaan Leiden dan Universitas Cornell.