Partisipasi daring dan pengalaman gaib.

Buku riwayat hidup Emak direncanakan terbit pada hari ulang tahunnya ke-100 pada 11 Februari 2018. Namun penulis yang kami tugaskan untuk mengumpulkan bahan-bahan tertulis, termasuk mewawancara saksi-saksi hidup, dan menuliskan naskah akhir, tak dapat menyelesaikan naskah itu pada waktunya. Naskah itu kemudian diambilalih oleh salah seorang adik saya. Namun naskah itu tetap teronggok selama dua tahun karena kesibukan kerjanya. Ketika Covid-19 memaksa kita semua bekerja di rumah, saya punya lebih banyak waktu dan memutuskan untuk menyelesaikan naskah itu sebelum ulang tahun Emak ke 103 delapan bulan kemudian.

Saya ingin cerita Emak ini merupakan karya kolektif keluarga. Oleh karena itu perlu partisipasi seluruh anggota keluarga melalui aplikasi Whatsapp. Informasi dikumpulkan dan diverifikasi melalui aplikasi tersebut. Kami juga bersepakat mengenai pembabakan hidup Emak dan kerangka penulisan. Setiap minggu saya, sebagai editor dan kordinator penulisan, akan menulis satu bab dari outline tersebut berdasarkan informasi yang dikumpulkan melalui ponsel maupun hasil riset saya sendiri. Draft awal biasanya saya kirimkan pada hari Rabu, dan saya meminta masukan sampai hari Jum’at. Pada hari Sabtu saya akan menuliskan draft akhir berdasarkan masukan dari saudara-saudara melalui aplikasi ponsel.

Whatsapp keluarga menjadi hidup selama empat bulan penulisan cerita Emak ini.Banyak juga perdebatan terjadi dalam proses penulisan ini. Salah satu diantaranya adalah mengenai satu foto yang menunjukkan Mak Gaek, Tek Nunun, uni Yanti dan uni Mun berpose di satu taman. Kami berdebat apakah itu diambil di Bandung, di halaman hotel Catalina, atau di Solok. Kakak-kakak yang lebih besar tak dapat bersepakat, karena memang pada periode itu mak Gaek beberapa kali datang ke Bandung dari Solok. Akhirnya pendapat mayoritas menyatakan bahwa Tek Nunun belum pernah datang ke Bandung. Dengan demikian dipastikan bahwa foto itu diambil di halaman rumah pak Gaek di Solok. Ketika itu pak Gaek masih mengajar dan menjadi kepala sekolah di Solok.

Kami juga bersepakat mengundang partisipasi publik dalam proses penulisan. Saya mengunggah draft akhir dari hasil diskusi keluarga di laman facebook saya setiap hari Sabtu. Kami banyak mendapat masukan dari para pembaca. Bahkan ada satu informasi penting diberikan oleh seorang pembaca yang ditag oleh salah seorang teman. Informan ini bahkan bukan teman saya di Facebook. Melalui cerita bersambung inipun kami tersambung dengan diaspora Supayang yang ternyata cukup aktif di berbagai kota di Indonesia, Merekapun menjadi partisipan aktif. Cerita bersambung Emak yang dimuat di facebook kemudian disalin kembali, dan dibagikan dalam kelompok whatsapp diaspora Supayang.Menggunakan facebook sebagai sarana penulisan sesungguhnya bukan gagasan orisinal saya. Cara ini pernah digunakan oleh sahabat saya Rusdian Lubis. Ian telah menyelesaikan tiga buku melalui cara ini. Bahkan ia sedang menulis cerita ke empat mengenai Ipah cinta pertamanya di Wonopringgo dengan cara yang sama. Ipah hanyalah jalan masuk untuk mendokumentasikan keadaan Indonesia pasca 30 September 1965.

Selama empat bulan, mulai bulan Mei sampai Agustus 2020, secara rutin cerita Emak muncul di laman facebook saya sebagai cerita bersambung. Dua sabtu cerita ini sempat absen. Yang pertama karena ada kemacetan (writer block), dan yang kedua karena saya menjadi saksi pernikahan keponakan saya, Tiara Kalista (Icha), di Bandung.

Kemacetan terjadi ketika memasuki bab saat Emak pindah ke Batavia. Saya tahu keputusan Emak berhenti menjadi guru setelah berkeluarga adalah keputusan yang berat. Mengenal Emak sebagai perempuan berkemauan keras, saya menduga terjadi pergolakan di dalam dirinya. Namun saya tak dapat mengungkapkan proses-proses kejiwaan yang terjadi, dan bagaimana keputusan kemudian di ambil. Saksi-saksi hidup yang mengenali Emak pada periode itu telah meninggal dunia. Emak juga tidak meninggalkan catatan atau buku harian. Selama beberapa hari saya tak dapat menuliskan sepotong kalimat pun. Saudara-saudara yang lain juga tak dapat membantu.

Beberapa malam itu tidur saya gelisah. Saya sampai pada satu keputusan untuk menyerah, dan meminta saudara yang lain meneruskan menulis cerita ini. Malam itu, saya dan Reni sedang berada di Jakarta dan menginap di Hotel Aston Simatupang, antara tidur dan jaga saya merasa didatangi Emak. Saya seolah mendengar ia berkata: “Teruskan, Cal! Baca ‘Buiten het gareel’!” Saya terbangun dan berkeringat dingin. Bahkan saya merasa seluruh bulu kuduk saya berdiri. Dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang lain, saya termasuk orang yang tidak percaya pada kemampuan supranatural Emak. Saya juga tidak pernah mengalami pengalaman gaib yang menyenangkan maupun yang mengerikan. Oleh karena itu, Emak tak pernah memberi saya doa-doa tolak bala atau wirid seperti yang diberikannya pada beberapa saudara saya yang lain.Namun malam itu lain sekali. Saya yakin melihat dan mendengar suara Emak. Reni yang tidur di samping saya tidak mendengar apapun. Ia hanya tahu saya tidur sangat gelisah.

Paginya saya telepon adik saya Ichsan dan menceritakan pengalaman itu. Saya memutuskan untuk meneruskan menulis, dan membayangkan pilihan-pilihan sulit Emak seperti yang dialami oleh Sulastri (Tri) tokoh utama dalam cerita Buiten het Gareel karangan Suwarsih Djojopuspito. Saya membaca terjemahan Buku itu, Manusia Bebas, ketika saya mahasiswa pada tahun 70an. Oleh karena itu saya meminta Ghamal, menantu Ichsan, untuk mencarikan e-booknya di perpustakaan UI atau perpustakaan Universitas Leiden. Ghamal adalah satu-satunya sejarawan professional lulusan Leiden dalam keluarga kami. Perannya menjadi penting ketika kami harus mencari bahan-bahan di koleksi gambar dan buku di Universitas Leiden.