(Tulisan ini pernah dimuat di Facebook pada tanggal 22 January 2016. Mengenang kematian Ben Anderson pada tanggal 13 Desember 2015)

Saya boleh dibilang murid Ben Anderson. Tidak begitu dekat seperti banyak teman yang lain. Mengutip obituary John Wolff, emeritus professor dari Cornell, saya bukan “inner circle”nya. Saya hanya pernah mengambil satu kelas Ben di Cornell University. Seminar mengenai Antropologi Politik pada tahun 1985.

Ketika saya mengambil kuliah Ben, Imagined Communities[1] sudah dua tahun terbit. Seingat saya tidak begitu “meledak” di pasaran. Saya membeli buku itu di toko buku Kampus, tapi saya tak ingat kami, mahasiswa Indonesia di Cornell, pernah memperbincangkan buku itu. Saya duga buku itu baru mendapat perhatian besar setelah runtuhnya Uni Sovyet dan terjadi perubahan besar di Eropa Timur.

Pertemuan kami terakhir di rumah Ben di Ithaca, July 2011. Ben sedang bercerita mengenai poster2 seronok yang banyak diproduksi di Perancis pada abad ke-19.

Dalam pertemuan dengan Ben di Hotel Borobudur setelah Suharto jatuh di tahun 1998, saya menyatakan niat Insist Press di Yogyakarta menerjemahkan Imagined Communities, dan meminta ijin Ben. Ben dengan murah hati memberikan ijin. Bahkan dia tidak meminta royalty. Ben mengajukan dua syarat: yang pertama, dia ingin membaca terjemahan buku itu sebelum diterbitkan; yang kedua, dia ingin buku itu dijual murah agar terjangkau oleh mahasiswa Indonesia. Ketika itu dia meminta saya menghubungi Open Society Foundation, yang banyak membantu penerjemahan buku di Eropa Timur. Akan tetapi teman-teman di Insist tidak bersedia menerima uang dari George Soros. Sehingga kami batal menghubungi mereka.

Penerjemahan Imagined Communities dilakukan oleh Intan Naomi (almarhum). Penerjemah top di Yogya ketika itu. Untuk percetakan dan distribusi, Insist Press bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Saya sudah menyampaikan dua syarat Ben itu kepada Insist Press. Ketika itu, Insist Press juga menerjemahkan banyak buku-buku lain. Sebagian besar tanpa minta ijin pada pengarang, atau pemilik hak cipta.

Saya terkejut ketika melihat Imagined Communities, yang diterjemahkan sebagai “Komunitas-komunitas Imajiner”[2], telah beredar di pasar buku Yogyakarta pada bulan Agustus 1999. Setahu saya, terbitan itu belum dikonsultasikan dengan Ben. Dalam waktu yang bersamaan, Ben ternyata telah melihat buku terjemahan itu sebelum saya kirimkan. Mungkin melalui akuisisi perpustakaan Olin yang rajin membeli segala jenis buku, termasuk buku doa dan roman picisan, dari Indonesia. Mungkin pula melalui mahasiswanya yang pulang dari Indonesia. Ben tidak suka dengan terjemahan itu. Dia melihat banyak kekeliruan. Lost in translation. Yang paling dia tidak suka adalah sampul buku itu yang merujuk pada Hammurabi. Gambar yang menurut Ben mengesankan keantikan nasionalisme, yang justru hendak dibongkarnya melalui Imagined Communities. Saya terpaksa meminta Pustaka Pelajar dan Insist Press untuk menarik semua buku itu dari peredaran.

Terjemahan Omi juga membuat Ben menyadari bahwa banyak konsep dan kejadian dalam sejarah dunia tidak dikenal oleh mahasiswa (dan sarjana) Indonesia. Oleh karena itu, Ben memutuskan untuk menerjemahkan sendiri Imagined Communities, dan menambahkan catatan kaki yang ditujukan untuk pembaca Indonesia. Saya baru kemudian memahami sebab kerewelan Ben soal terjemahan ini setelah membaca kritik pedasnya pada penerjemahan Noli Me Tangere, karya Jose Rizal, oleh Leon Ma. Guerrero[3].

Tanpa ada yang meminta, saya mengangkat diri saya menjadi agen dan editor penerjemahan Imagined Communities. Setiap bulan, Ben akan mengirim satu bab edisi Bahasa Indonesia yang telah diterjemahkannya, disertai catatan-catatan kaki untuk pembaca Indonesia. Catatan kaki yang jumlahnya lebih banyak dari catatan kaki dalam Bahasa Inggeris. Saya kemudian akan menyunting bab itu dalam Bahasa Indonesia “agak” formal, memperbaiki tanda-tanda baca, dan memindahkannya ke dalam format buku. Bab-bab awal mengalami perjalanan antara Yogyakarta-Ithaca beberapa kali. Akan tetapi kemudian, saya mulai memahami “maunya” Ben, dan Ben juga mulai mengurangi keinginannya untuk menggunakan Bahasa Indonesia non-EYD. Bab-bab terakhir berlangsung lebih cepat. Akhirnya pada pertengahan tahun 2001 terjemahan itu siap. Ben ngotot untuk menggunakan gambar pada sampul edisi Bahasa Inggeris untuk edisi Bahasa Indonesia. Seluruh korespondensi kami lakukan melalui pos. Sayangnya, saya tidak menyimpan dengan baik corat-coret tangan Ben di draft buku terjemahan itu.

Senyampang kami melakukan terjemahan ulang, saya meminta Daniel Dhakidae untuk menulis kata pengantar. Seingat saya, judul buku “Komunitas-komunitas Terbayang[4]” juga datang dari Daniel, dan disetujui oleh Ben. Menurut Daniel dalam kata pengantarnya, terjemahan Imagined Communities dalam Bahasa Indonesia adalah terjemahan yang ke-21, setelah Bahasa-bahasa lainnya.

Insist Press melakukankan peluncuran buku ini di Jakarta pada akhir tahun 2001, mempertemukan Daniel Dhakidae dengan Mochtar Pabottinggi dalam satu perdebatan mengenai nasionalisme. Buku Imagined Communities kemudian dapat dijual murah karena ada subsidi dari Oxfam. Ben tak dapat hadir dalam peluncuran Imagined Communities edisi Bahasa Indonesia. Saya pun harus terbang ke London pada hari itu untuk satu pertemuan, sehingga tak dapat menyaksikan peluncuran hasil kerjasama kami. Kerjasama saya dengan Ben. Kerjasama yang pertama, dan juga yang terakhir.

Selamat jalan, Ben. Selamat beristirahat dalam keabadian.

[1] Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso, 1983.

[2] Komunitas-komunitas Imajiner: Renungan tentang asal-usul dan penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 1999.

[3] “Hard to Imagine” dalam The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World. London: Verso, 1998.

[4] Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2001