Emak dilahirkan di Nagari Supayang, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok. Ia diberi nama Nurbaiti, yang artinya cahaya rumah kami. Kelahiran emak disambut dengan sukacita oleh keluarga besarnya. Ibu Emak, nenek Majidah kami memanggilnya Mak Gaek, adalah satu-satunya perempuan dari enam bersaudara. Dia punya tanggungjawab besar untuk menjaga pusaka tinggi keluarga, termasuk Rumah Gadang, rumah bersama yang dimiliki oleh keluarga besar yang berasal dari satu nenek. Tanpa anak perempuan, maka warisan itu akan diserahkan kepada keluarga lain. Semua berharap anak pertama Mak Gaek adalah perempuan. Ketika melahirkan Emak, anak sulungnya, umur Mak Gaek 17 tahun.

Kakek Emak, dikenang orang dengan panggilannya sebagai angku Imam Bijak, mencatat dalam buku hariannya dengan huruf Jawi: “Hari ini lahir anak perempuan si Jidah diberi nama Nurbaiti” Bertarikh 29 Rabbi’ul Tsani 1336 Hijriah, pada hari Itsnain (Senin, 11 Februari 1918).

Kelahiran Nurbaiti baru didaftarkan ke sistem administrasi pemerintahan Hindia-Belanda 2 bulan kemudian pada tanggal 17 April 1918. Oleh karena itulah, sampai ditemukan catatan kakeknya setengah abad kemudian, Emak hanya tahu tanggal kelahirannya 17 April 1918. Dengan tanggal itu ia mendaftar sekolah, dan tanggal itu pula yang tercantum dalam semua ijazah dan surat keputusan pengangkatannya sebagai guru.

Ayah Emak, kakek Puhun Datuk Putih yang kami panggil Pak Gaek, ketika itu telah menjadi guru Sekolah Rakyat (Volkschool). Pak Gaek termasuk kelompok pertama anak-anak Supayang yang mendapat pendidikan modern ketika Sekolah Rakyat dibuka di Minangkabau. Pak Gaek kemudian mengikuti pendidikan sebagai guru pembantu, dan mendapat akte mengajar di Sekolah Rakyat untuk pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Melayu (Indische School). Pemuda Supayang lainnya yang juga mendapat pendidikan Belanda dan kemudian menjadi guru adalah Aman Datuk Majoindo. Aman kemudian pergi ke Batavia dan bekerja di Balai Pustaka yang didirikan pada tahun 1917. Pak Gaek tetap tinggal dan menjadi guru di Solok. Beberapa tahun kemudian, tulisan Aman diterbitkan Balai Pustaka dengan judul “Si Doel Anak Betawi”, sedangkan tulisan Pak Gaek diterbitkan dengan judul “Pak Menoeng”.

Nagari Supayang berada di lereng Gunung Talang pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Jaraknya hanya 30 kilometer dari Kota Solok yang ketika itu merupakan tempat kedudukan pemerintahan Hindia-Belanda untuk Afdeling (sekarang setingkat Kabupaten) Solok. Pada awal abad yang lalu, jarak Supayang-Solok dapat ditempuh selama 5 jam berjalan kaki, atau 2 jam dengan menggunakan bendi. Jalan Supayang – Solok cukup lebar dan baik untuk jamannya. Jalan diperlukan bagi pedati kerbau yang mengangkut kopi dari Supayang dan Nagari di sekitarnya, untuk gudang Belanda di Solok. Oleh karena itu bendi, kereta yang ditarik kuda, dapat berlari kencang di jalan itu. Kota Padang, pusat pemerintahan Propinsi Sumatra Westkust (Pantai Barat Sumatra), wilayahnya meliputi Minangkabau dan Tapanuli, jaraknya kurang lebih 60 kilometer ke arah Barat Daya dari Solok. Fort van der Capellen (Batusangkar), benteng Belanda yang dibuat untuk mengawasi pusat Alam Minangkabau, Luhak nan Tuo – Luhak Tanah Datar, tempat Nagari Pagaruyung berada, jaraknya juga kurang lebih 60 km dari Solok ke arah Utara. Walaupun Supayang berada di pedalaman yang terpencil, kabar kelahiran Nurbaiti akan sampai pada keluarganya di pusat budaya Minangkabau, maupun di pusat perdagangan dan pusat pemerintahan pulau Sumatra dalam waktu satu hari saja.

Nama Supayang kabarnya berasal dari kata “Sumpah Hyang dipasahati”, artinya sumpah dewa (Hyang) yang memberi kesaktian. Mungkin ini merujuk pada satu peristiwa ketika nenek moyang orang Minangkabau masih memeluk agama Hindu-Budha. Mungkin pula ini mitos yang dibuat kemudian untuk menambah keangkeran Nagari Supayang. Rujukan sejarah pertama pada Nagari Supayang ada di awal abad ke-16. Ketika itu, tahun 1514 Masehi, terjadi kudeta di Istana Pagaruyung sehingga Raja Alam Maharaja Dewang terpaksa melarikan diri ke Nagari Koto Anau di Kubuang Tigo Baleh. Para Datuk dari Kubuang Tigo Baleh kemudian bertemu di Supayang, dan bersumpah setia kepada Maharaja Dewang. Dengan dukungan para Datuk ini, Maharaja Dewang berhasil mengusir Maharaja Parakrama, si penyerobot tahta, kembali ke Dharmasraya pada tahun 1524.

Itu berarti pada awal abad ke-16 Supayang telah menjadi Nagari yang penting. Kubuang Tigo Baleh adalah konfederasi 13 Nagari: Solok, Selayo, Guguak, Koto Anau, Cupak, Gantuang Ciri, Kinari, Muaro Paneh, Gaung, Panyakalan, Sirukam, Supayang dan Sariak Alahan Tigo. Luhak Kubuang Tigo Baleh adalah nama asli dari wilayah yang kemudian menjadi Kabupaten Solok dan Solok Selatan.

Nenek moyang kami mulai membuka hutan dan membuat taratak (huma) di Nagari Supayang sepuluh generasi sebelum Emak lahir. Migrasi nenek moyang kami itu, mungkin dari Luhak Tanah Datar, dipimpin oleh Matriakh (Bundo Kanduang) yang bernama Puti Sari Suto. Kalau kita perkirakan angka harapan hidup orang Supayang pada abad ke 18 dan ke 19, rata-rata 50 tahun, maka peristiwa itu mungkin terjadi di awal abad ke-17.

Pada pertengahan atau akhir abad ke-18, Supayang telah menjadi tempat ziarah. Objek ziarah di Nagari Supayang adalah makam Syekh Mukhsin Supayang seorang penyebar agama Islam di Solok dan Sijunjung. Syekh Mukhsin adalah murid dari Syekh Burhanuddin dari Ulakan, tokoh ulama terkenal di Pariaman. Banyak cerita rakyat mengenai kesaktian atau karomah Syekh Supayang ini. Salah satu yang terkenal, kabarnya salah satu muridnya adalah seekor harimau. Karena alimnya harimau itu, maka ia kemudian berubah menjadi manusia dan meneruskan syiar Islam Syekh Muhsin dengan nama Syekh Kukuik. Ia diberi nama Kukuik kabarnya karena tangannya, tangan harimau, tak dapat digunakan menggenggam seperti tangan manusia. Syekh Mukhsin merupakan “khalifah” atau guru tarekat As-Syattariyah melalui sanad Syekh Burhanuddin Ulakan, Syekh Abdurrauf Singkil dan Syekh Ahmad al-Qushashi (Madinah).

Makam Syekh Mukhsin di Supayang

Setelah Perang Paderi (1803-1838) berakhir, Pemerintah kolonial Hindia-Belanda memerintah secara tak langsung di Sumatera Barat dengan membentuk struktur pemerintahan pribumi yang dipimpin oleh seorang Laras Hoofd (Kepala Laras, atau kaum pribumi menyebutnya Tuanku Lareh). Tuanku Lareh merupakan penghubung antara Kontrolir Belanda yang berkedudukan di District atau Afdeling (Fort de Kock/Bukittinggi, Fort van der Capellen/Batusangkar, Payakumbuh dan Solok) dengan penduduk Nagari-nagari di Minangkabau. Tuanku Lareh dipilih dari, dan oleh para Wali Nagari (Nagari Hoofd).

Wali Nagari yang berada dalam wilayah yang kemudian menjadi Kecamatan Payung Sekaki memilih Wali Nagari Supayang, Datuk Khatib Manjalani, sebagai Tuanku Lareh yang pertama. Sesuai dengan kesepakatan dalam Plakat Panjang, setelah Perang Paderi rakyat Minangkabau tidak dikenakan pajak, akan tetapi diharuskan bekerja rodi menanam kopi yang hasilnya diserahkan kepada Pemerintah. Sistem yang dikenal sebagai Tanam Paksa (Cultuurstelsel) membuat Tuanku Lareh menjadi bumper antara Pemerintah Kolonial dengan rakyat. Tuanku Lareh harus memenuhi kuota tanam paksa untuk wilayahnya; akan tetapi dia juga merupakan perisai rakyat Nagari dari kesewenang-wenangan kekuasaan kolonial Belanda.

Para Penghulu Nagari Supayang. Foto pada akhir abad 19. (Sumber: KITLV)

Datuk Khatib Manjalani, Laras Hoofd yang pertama di Payung Sekaki adalah Datuk dari keluarga Emak. Menurut silsilah keluarga (ranji) kami, Datuk Khatib Manjalani adalah paman (Mamak Penghulu) buyut emak. Di dalam keluarga emak ada gelar yang hanya diberikan kepada orang2 yang memiliki ilmu agama yang tinggi seperti gelar Datuk Khatib Manjalani, atau Datuk Bagindo Khatib. Sedangkan mereka yang memiliki ilmu silat tinggi dan ahli berperang diberi gelar Datuk Mangguluang Alam, atau Datuk Rambay Kapak. Dari ranji keluarga Emak terlihat bahwa mereka yang menjadi Wali Nagari atau Tuanku Lareh selalu memiliki gelar dengan nama Khatib. Bahkan ada cabang keluarga Emak yang kemudian merantau ke Siak dan menjadi ulama di sana. Kebetulan orang alim atau ahli ilmu agama Islam di Minangkabau memang disebut sebagai “urang Siak”. Walaupun, tentu saja, banyak juga cerita mengenai nenek-nenek kami yang menjadi jagoan (parewa).

Ketika Emak lahir di tahun 1918, Perang Dunia pertama baru selesai di Eropa. Minangkabaupun baru tenang kembali setelah Perang Belasting atau Perang Kamang di tahun 1908. Perang ini terjadi karena Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda mengganti sistem kerja rodi dengan pajak uang atau belasting. Rakyat Minangkabau beranggapan Belanda telah melanggar kesepakatan dalam Plakat Panjang, oleh karena itu terjadi pembangkangan sosial, bahkan perlawanan bersenjata.

Bersamaan dengan penundukkan Hindia-Belanda (Pax Nederlandica) pada awal abad ke 20. Pemerintah kolonial juga mulai menjalankan Politik Etis yang memberikan kesempatan pendidikan bagi pribumi. Yang menarik dari pembacaan ranji keluarga Emak, sejak belasting diberlakukan tak ada lagi keluarga kami yang menjadi Tuanku Lareh ataupun Wali Nagari. Mungkin mereka tak mau lagi jadi kolaborator Pemerintah Kolonial.

Ketika Emak lahir, Nagari Supayang bukanlah negeri terpencil yang hidup dari pertanian subsisten. Penduduk Nagari ini merupakan bagian dari sirkuit perdagangan global komoditas kopi, karet dan kemudian cengkih. Selain itu, Nagari Supayang juga menghasilkan emas.

Ada cerita keluarga mengenai emas ini. Ketika Rumah Gadang dibuat, kabarnya ditemukan emas dari batu kali yang akan dipergunakan untuk pagar dan jalan.Secara geologi memang telah terbukti bahwa daerah aliran sungai Batanghari mengendapkan deposit emas. Emas sudah mulai didulang, sejak awal milenium pertama di anak-anak sungai Batanghari. Karena emas inilah pulau Sumatera mendapat nama Suvarnadvipa, atau Pulau Emas. Tome Pires, pengelana Portugis, dalam bukunya Suma Oriental (1515) mencatat bahwa pada abad ke 16 emas banyak diperdagangkan di semua pelabuhan di bagian barat Sumatera, terutama di Barus. William Marsden dalam History of Sumatera (1783) menulis terdapat tidak kurang 1200 lokasi tambang emas di Minangkabau. Marsden mengatakan bahwa emas sejumlah 283.000 – 399.000 gram diperdagangkan hanya di kota Padang saja. Sejak jaman Belanda, telah ada penambangan emas modern di Solok Selatan. Bahkan sampai saat inipun masih banyak terdapat tambang emas tanpa ijin di sekitar Nagari Supayang.

Emak lahir dalam keluarga besar yang memiliki basis ekonomi pertanian sawah dan kebun. Tanah pertanian itu diwariskan secara turun-temurun melalui garis perempuan. Keluarga ini telah terlibat dalam perdagangan global melalui komoditas kopi, karet dan cengkih. Keluarga ini juga merupakan bagian dari jejaring pendidikan agama Islam yang meluas dari Aceh, ke Ulakan, Siak, Semenanjung Malaya, dan Hijaz di Semenanjung Arabia.

Walaupun keluarga Emak cukup kosmopolitan, akan tetapi Nagari Supayang memiliki stigma sebagai daerah angker, tempat takhayul dan ilmu hitam masih dipraktekkan. Sampai tahun 60an, menurut cerita keluarga kami yang tinggal di Solok, orang-orang masih takut bila bertemu dengan orang Supayang karena stigma ini. Hal itu sempat menjadi soal ketika kemudian Emak hendak menikah dengan Ayah.

Tulisan ini pernah dimuat di Facebook, 6 Juni 2020.