Saya menerima banyak berita kematian beberapa minggu ini. Berita surat kabar mengenai kematian karena Covid19 hanyalah statistik, sampai kematian itu menyentuh orang-orang yang kita kenal.

Pagi ini mendengar kabar kepergian Yazirwan Uyun, padahal dua minggu yang lalu dia baru saja mengabarkan sudah keluar dari Rumah Sakit untuk perawatan Covid19. Iwan, sebagaimana teman-teman dekatnya memanggil, terpapar virus itu menjelang Hari Natal. Selama dalam perawatan ia tetap aktif berhubungan dengan teman-temannya melalui aplikasi telepon seluler.

Iwan Uyun ketika dalam perawatan Covid-19. (Sumber: Facebook)

Setelah keluar dari Rumah Sakit ia mengirimkan obat herbal Cina untuk saya dan Reni. Dia minta kami meminum obat itu untuk menambah daya tahan tubuh. Ia bilang obat itulah yang menyebabkan dia bisa cepat pulih Kembali setelah terpapar virus Covid19.

Lima hari yang lalu kami dengar ia masuk rumah sakit lagi karena perdarahan otak. Tadi malam, Reni ikut pengajian daring untuk mendoakan Kesehatan Iwan. Namun, pagi ini kami menerima kabar kematiannya itu. Innalillahi wa innaillaihi rojiun.

Wajah Iwan Uyun sering terlihat di layar TVRI pada akhir tahun 1980an. Sebagai reporter TVRI ia kemudian menjadi selebriti karena dekat dengan mbak Tutut dan keluarga Cendana. Ia selalu terlihat bersama mbak Tutut dalam berbagai acara kenegaraan, maupun dalam kunjungan muhibah ke luar negeri. Ia kemudian terus menapak karir di TVRI setelah reformasi, dan menjadi Direktur Utama Lembaga penyiaran publik itu pada 2004-07. Ia juga pernah menjadi Komisioner Penyiaran Indonesia pada periode 2007-10.

Saya dan Iwan Uyun punya hubungan khusus. Kami kenal sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Publisistik (Sekarang Fakultas Ilmu Komunikasi), Universitas Padjadjaran, Bandung. Kami seumur, akan tetapi dia mulai kuliah dua tahun lebih lambat dari saya. Ketika itu, selain sebagai aktifis lembaga kemahasiswaan, saya juga terlibat dalam satu lingkaran permainan ceki, kartu domino. Kadang-kadang kami mempergunakan uang logam 50 rupiah untuk bertaruh.

Mulanya kelompok ini hanya diikuti oleh beberapa teman dari Angkatan 1974, Angkatan saya. Namun ada beberapa orang dari Angkatan di bawah kami yang selalu ikut mengais rejeki: Paten Gurusinga dari Angkatan 1975, Iwan Uyun dari Angkatan 1976, dan Gatot dari Angkatan 1977. Biasanya kami bermain di rumah Dida di jalan Cikudapateuh Dalam, kadang-kadang juga di Ruang Senat ketika kegiatan kemahasiswaan sudah sepi. Satu waktu kami bermain non-stop di ruang senat mahasiswa Fakultas Publisistik mulai dari jam empat sore sampai jam empat pagi!

Iwan Uyun, ke dua dari kiri, ketika mahasiswa. (Sumber: Blogpost)

Permainan ceki adalah masalah psikologi. Mereka yang menang adalah mereka yang mampu menggertak dan mempermainkan emosi lawan. Beberapa teman seperti Tajuddin dan Achdiat selalu kalah karena kartunya bisa dibaca dari raut wajah mereka. Hampir semua pemain berusaha main curang untuk menang, dan itu sah saja selama tidak ketahuan oleh pemain yang lain. Untuk curang dan menang, kita perlu kawan. Selama bertahun-tahun terlibat dalam lingkaran permainan ceki ini, saya jarang sekali kalah. Kuncinya ada pada kemampuan bermuka badak, dan kawan yang membantu. Iwan Uyun selalu jadi teman yang dibutuhkan itu. Seolah ada komunikasi non-verbal diantara kami berdua. Biasanya saya juga membantu Iwan Uyun menang beberapa kali, paling tidak agar ia bisa pulang pokok. Namun lebih sering Iwan yang membantu dan membiarkan saya menang banyak.

Iwan Uyun memang pemurah. Teman-temannya pasti tahu kemurahan hatinya ini. Beberapa orang bahkan memanfaatkan kemurahan hatinya. Ia sering menraktir teman-teman satu angkatannya untuk makan, atau bahkan pesiar ke luar kota. Satu waktu saya dan Reni sedang berada di Singapura untuk urusan keluarga, dan kebetulan Iwan Uyun juga berada di sana. Kami menginap di penginapan murah di daerah Clarke Quay, sedangkan Iwan menginap di Marina Bay Sands hotel yang sewa kamarnya 500 dolar Singapura semalam. Iwan segera menelepon kami dan meminta kami pindah hotel ke Marina Bay. Dia akan traktir. Tentu saja tawaran itu kami tolak.

Dia selalu complaint pada Reni, teman satu angkatannya, mengapa Rizal tidak pernah mau ditraktir. Secara bergurau saya katakan padanya bahwa saya tak mau makan uang yang dia dapat dari X. Setelah pensiun dari TVRI, Iwan memang dekat dengan salah satu Naga yang menguasai ekonomi Indonesia. Iwan tahu persis bagaimana sikap saya soal Taipan itu. Kalau kami bertemu biasanya dia menghindar untuk berbicara politik masa kini. Kami hanya nostalgia mengenai masa-masa kami mahasiswa dan melarat.

Tapi being Iwan Uyun, dia tak pernah berhenti jadi orang yang penuh perhatian pada orang lain dan murah hati. Kiriman obat herbal Cina dua minggu lalu, merupakan saksi atas kebaikannya itu. Selamat jalan Iwan! Titip salam untuk Rakhmat DST, dan Dida AHE dua teman kita main kartu yang juga sudah berpulang.

(Tulisan ini pernah dimuat di Facebook, 15 Januari 2021).