Kehilangan pasangan adalah sumber tekanan hidup yang paling berat. Bisa dibayangkan stres yang dihadapi Emak ketika Ayah meninggal. 36 tahun perkawinan bukanlah waktu yang sebentar. Mereka telah mengalami suka dan duka bersama-sama. Selain itu, ada sepuluh anak yang membuhul ikatan sangat kuat di antara mereka.
Tapi, Emak tak punya waktu bersedih terlalu lama. Ada dua soal yang harus ia tangani segera: keuangan keluarga dan pendidikan anak-anaknya.
Uang pensiun Ayah sebagai pegawai negeri tentunya sangat kecil, namun itu satu-satunya penghasilan tetap untuk Emak. Selain itu, ada royalti buku Ayah yang jumlahnya tidak tetap karena tergantung dari hasil penjualan. Emak menganggarkan semua uang royalti buku digunakan semata-mata untuk biaya pendidikan. Ada satu lagi penghasilan Emak yang agak tetap dan digunakan untuk biaya hidup keluarga, yaitu pendapatan dari becak. Emak memiliki 20 becak yang dititipkan kepada Uda Aun.
Uda Aun adalah kemenakan Emak dari Rumah Gadang Suku Melayu di Supayang. Ia datang ke Bandung pada awal 1960-an, hampir bersamaan dengan kepindahan keluarga Emak dari Padang. Uda Aun kemudian bekerja sebagai pegawai honorer di Kodam Siliwangi. Kantor Asisten V, tempat Uda Aun bekerja, adalah unit tentara yang bertugas melakukan pembinaan teritorial. Unit inilah pembentuk sel-sel buruh, petani, dan pemuda anti-PKI yang kemudian hari menjadi cikal bakal Partai Golongan Karya pada zaman Orde Baru.
Entah karena mendapatkan penugasan klandestin atau melihat kesempatan bisnis, Uda Aun kemudian meninggalkan pekerjaannya dan menjadi juragan becak, kendaraan roda tiga yang dikayuh manusia. Mulanya usaha kecil, hanya beberapa becak saja, kemudian berkembang menjadi ratusan. Uda Aun juga punya saham dalam rantai pasok perbecakan, mulai dari produksi, bengkel perbaikan, hingga onderdil becak. Ia kemudian mengalihkan bisnisnya ke mobil angkutan umum alias angkot ketika becak mulai ditinggalkan orang pada akhir 1980-an, bersamaan dengan digusurnya pangkalan becak miliknya di pemukiman padat di muka Gedung Sate. Pangkalan becak Uda Aun itu sekarang menjadi Stadion Gasibu di Bandung.
Angkutan umum adalah bisnis yang sangat kompleks. Uda Aun harus mengemudi di antara pemerintah yang ingin mengatur segala, dengan tuntutan konsumen yang tak pernah terpuaskan. Selain itu, ia juga berada dalam ruang abu-abu tempat petugas negara yang korup bermain mata dengan para preman penguasa wilayah.
Selama menjadi juragan becak, dan kemudian juragan angkot, Uda Aun menampung banyak sekali pemuda Nagari Supayang dan Kecamatan Payung Sekaki yang merantau ke Bandung. Sampai akhir hayatnya ia adalah Godfather bagi komunitas Supayang di Bandung. Uda Aun meninggal pada Januari 2020 di umur 87 tahun. Riwayat hidup Uda Aun sebetulnya bisa jadi skenario film yang menarik, barangkali jauh lebih menarik daripada Si Doel Anak Sekolahan!
Emak memiliki kurang lebih 20 becak dan menitipkan pengelolaannya kepada Uda Aun. Ia menerima setoran becaknya setiap bulan. Damayanti sering diberi tugas oleh Emak untuk menjemput uang itu.
Selain dari pensiun, royalti buku, dan uang setoran becak, Emak masih juga berdagang pakaian. Anak-anak yang sudah bekerja pun sekali-kali mengirimkan uang. Namun, Emak tidak pernah meminta kepada anak-anaknya. Bila ada keperluan mendesak, misal untuk sekolah anak-anak yang masih tinggal di rumah, secara tak langsung ia akan mendiskusikan hal itu dengan anak-anak yang sudah bekerja. Anak-anak biasanya mengerti dan membantu sesuai dengan kemampuan mereka.
Emak juga menyewakan kamar bekas Ridwan kepada beberapa anak saudara, atau anak teman anaknya yang bersekolah ke Bandung. Satu anak dikirimkan orang tuanya dari Palembang untuk masuk SMA di Bandung, dan harus kost di rumah Emak agar bisa belajar agama dan mengaji Alquran.
Pengeluaran terbesar Emak adalah biaya pendidikan anak-anak yang masih tinggal di rumah Mutu Manikam. Selain itu, uangnya dipakai untuk membayar pemakaian listrik dan air, serta sewa bulanan rumah yang sangat murah.
Tahun 1977, Direktorat Jenderal Cipta Karya yang memiliki perumahan negara mengeluarkan aturan mengizinkan rumah di Kompleks Gubernuran dibeli oleh penghuninya. Harganya dipatok Rp1,3 juta. Bila dibandingkan dengan nilai mata uang sekarang, harga pembelian rumah itu sekitar Rp40 juta. 50 persen dibayar di muka, dan sisanya dicicil selama lima tahun. Pada tahun 1982, setelah 22 tahun ditempati, rumah itu jadi milik Emak.
Ayah dan Emak memberikan kesempatan pada semua anak untuk menempuh pendidikan universitas, meskipun tidak semua anak menyelesaikan sekolah.
Amalia sempat kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), kampus tempat Ayah pernah belajar. Akan tetapi, setelah tiga semester, ia memutuskan bekerja di Jakarta dan kemudian menikah.
Damayanti pernah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan, namun melihat kesukaannya ada pada tata busana dan tata boga. Ia mulai belajar menjahit dan memasak pada Emak. Saat kecil, ia sering diberi tugas memutar mesin jahit merek Singer ketika Emak menjahit. Damayanti meninggalkan kuliahnya, lantas mengikuti kursus menjahit dan memasak. Ia kemudian membuka usaha rumahan setelah menikah pada 1973. Bahkan sampai sekarang, di usianya yang 70-an, ia masih tetap menerima pesanan jahitan dan masakan.
Srimurni juga merasa kehidupan akademik bukan dunianya. Sempat mengecap pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, sebelum tamat ia melamar jadi pegawai PT Telkom di Jakarta. Ketika Pemerintah membeli saham pengelola telepon internasional dan membentuk PT Indosat, Srimurni termasuk rombongan pertama pegawai Telkom yang bedol desa ke PT Indosat. Ia pensiun dini dari PT Indosat tahun 2003, ketika Indosat dibeli Singtel dari Singapura.
Sementara itu, Ridwan menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Universitas Padjadjaran. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya dalam bidang kesehatan masyarakat dan mendapat gelar Master of Public Health dari Universitas Hawai’i. Ridwan menjadi pegawai negeri pada Departemen Kesehatan sampai ia pensiun.
Insyaf setelah lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran kemudian membina karier di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perkebunan. Ia sempat mencapai karier puncak sebagai Direktur Utama dan Komisaris Utama di tempatnya bekerja.
Ketika Ayah meninggal tahun 1976, Isnaniah masih kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi, sedangkan Rizal di Fakultas Publisistik (kini Fakultas Ilmu Komunikasi) Universitas Padjadjaran. Ichsan dan Fansuri pelajar SMA, sementara Zaidir siswa Sekolah Dasar. Emak berjanji pada dirinya bahwa anak-anaknya, dan juga Erita, anak Tek Nunun, akan diberi kesempatan sama untuk menempuh pendidikan tinggi. Ia menepati janjinya ketika Zaidir, anak bungsunya, lulus dari jurusan Bahasa Perancis di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) pada 1989.
Erita juga telah lulus dari jurusan Bahasa Inggris dari tempat yang sama pada 1985. Ia sempat menjadi guru Bahasa Inggris bagi pengungsi Vietnam di Pulau Galang, kemudian menjadi dosen di Politeknik Bandung.
Adapun Fansuri lulus sebagai Sarjana Antropologi dari Universitas Padjadjaran tahun 1986. Ia bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta dan menyelesaikan pendidikan magister bidang Antropologi Sosial di Universitas Indonesia.
Riwayat pendidikan Ichsan adalah contoh cara Emak menangani setiap anak dengan perlakuan khusus. Ketika Ichsan lulus SMP, Ayah mengarahkannya melanjutkan pendidikan ke Sekolah Teknik Menengah (STM). Mungkin salah satu pertimbangan Ayah agar Ichsan dapat segera bekerja setelah lulus. Tanpa sepengetahuan Ayah, Ichsan juga bersekolah di SMA. Ketika Ayah meninggal, Ichsan telah lulus STM dan sedang menyelesaikan SMA. Dengan ijazah SMA-nya, Ichsan mendaftarkan diri ke Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan diterima pada 1978.
Setelah kuliah selama 3 tahun, Ichsan drop out dari Fakultas Psikologi Unpad. Emak mendorong Ichsan terus melanjutkan pendidikannya. Ichsan sempat kuliah selama 2 tahun di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (UNISBA), namun ia pun tak menyelesaikan kuliahnya di UNISBA. Emak tidak putus asa dan terus memberi semangat agar anaknya mau menyelesaikan sekolah. Emak sejak awal yakin pendidikan adalah kunci bagi masa depan anak-anaknya. Bagi Emak, tak ada anak yang bodoh.
Ichsan kemudian harus mengulang kembali dari awal kuliahnya di jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, IKIP Bandung. Ia berhasil menjadi sarjana pada 1986. Setelah lulus S-1, Ichsan melanjutkan pendidikan sehingga mencapai derajat Doktor dalam bidang psikologi perdamaian di Universitas Indonesia. Anak yang awalnya diduga akan jadi kasus gagal pendidikan formal, malah menjadi satu-satunya anak Emak yang dapat bersekolah hingga S-3.
Ayah dan Emak tidak pernah beranggapan pendidikan hanyalah edukasi formal dan menjadi tanggung jawab sekolah. Pendidikan paling utama, terutama soal nilai-nilai kehidupan dan karakter, merupakan tanggung jawab keluarga. Praktik sehari-hari yang berkaitan dengan kejujuran, keadilan, kerjasama, dan solidaritas dengan yang lemah, semuanya dilakukan di rumah.
Semua anak Emak juga harus belajar mengaji Alquran. Anak-anak perempuan diajar langsung oleh Emak. Ridwan dan Insyaf sempat belajar di surau ketika keluarga Emak tinggal di Padang, oleh karena itu qiraah mereka bagus. Namun, anak lelaki yang lebih kecil lebih sulit belajar. Pada mulanya Emak memanggil guru mengaji ke rumah untuk tiga anak lelakinya: Rizal, Ichsan, dan Fansuri. Sudah tiga kali guru berganti, tapi anak-anak tetap tak ada kemajuan. Bahkan guru-guru mengaji yang menyerah dengan kenakalan tiga bocah itu. Akhirnya, ketiga anak itu belajar mengaji pada Emak. Selalu ada rotan di atas meja sebagai pengejut bila perhatian anak-anak mulai terbang ke tempat lain, atau ribut di antara mereka sendiri. Belajar dari pengalaman itu, si bungsu Zaidir langsung diajar mengaji oleh Emak.
Meja makan juga merupakan kelas pendidikan politik bagi anak-anak. Di meja makan itu didiskusikan semua peristiwa yang terjadi, baik di aras nasional maupun internasional. Ayah dan Emak mengikuti perkembangan berita internasional dari Radio Australia. Setiap hari, anak-anak akan mendengar suara burung Kookaburra dari kamar mereka menjelang berita jam 6 pagi. Setelah kami memiliki televisi hitam putih pada akhir dekade 1970-an, mereka tak pernah melewatkan acara Dunia Dalam Berita dari TVRI. Sebelum ayah membeli televisi, anak-anak biasanya menonton televisi di rumah tetangga.
Ayah memiliki kecenderungan politik sosial demokrat. Tampaknya ini didapatkannya ketika menjadi murid HIK. Ayah simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), walaupun tak pernah menjadi anggota partai. Sebelum Orde Baru, pegawai negeri boleh menjadi anggota partai. Tetapi, sepertinya Ayah kecewa dengan petualangan politik sebagian tokoh partai itu, terutama Soemitro Djojohadikusumo. Ayah tak pernah setuju dengan PRRI yang dianggapnya menimbulkan trauma dan penderitaan bagi banyak orang.
Emak adalah pendukung Partai Masyumi. Ia bahkan turut serta dalam kursus-kursus politik yang diadakan HEZ Muttaqien, politisi Masyumi, di Bandung pada awal 1960-an. Peserta kursus itu adalah kader-kader muda Masyumi dan pimpinan Gerakan Pemuda Islam (GPI). Emak juga tampaknya terlibat dalam upaya menghidupkan kembali Partai Masyumi setelah tahun 1965. Ia jelas sangat kecewa ketika upaya itu gagal menjelang Pemilihan Umum 1969. Emak kemudian menjadi pendukung Partai Parmusi, lalu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setelah fusi partai-partai Islam pada 1973. Emak memilih Partai Amanat Nasional dalam Pemilihan Umum 1999, pemilu terakhir yang diikutinya.
Emak tak pernah menjadi anggota partai. Ia lebih banyak aktif di ‘Aisyiyah, organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Emak pernah menjadi pengurus ‘Aisyiyah tingkat ranting di kecamatan.
Ia aktif dalam beberapa lingkaran pengajian. Yang pertama adalah pengajian ibu-ibu di Kompleks Gubernuran. Awalnya, pengajian ini sering mengundang guru mengaji dari luar, namun kemudian justru Emak yang menjadi guru mengaji. Banyak ibu-ibu murid Emak yang mulai belajar sejak masih buta huruf Arab, sampai kemudian fasih membaca Alquran.
Ketika Ayah menjadi ketua SIRIS di Kompleks Gubernuran, ia terlibat dalam pembangunan Masjid Darussalam di RT 2. Emak kemudian menjadi pengawas keuangan masjid itu setelah Ayah meninggal. Pada tahun 1980-an, Emak terlibat dalam pendirian Masjid Attaqwa di Jalan Suryalaya. Sampai hari tuanya, Emak membagi waktu untuk beribadah di antara kedua masjid itu.
Lingkaran pengajian Emak yang kedua adalah diaspora Minang di Bandung. Ada beberapa keluarga yang kemudian menjadi teman dekat Emak: Etek Manan di Jalan Riau, Etek Kasim di Jalan Banda, Tante Us Sadikin di Jalan Diponegoro, dan Uni Yus di Jalan Purnawarman. Mereka tidak saja berkumpul untuk mengaji, tetapi juga aktif dalam kegiatan sosial di Bandung. Mereka menggagas pendirian Rumah Sakit Al Islam Bandung. Emak kemudian terlibat dalam penggalangan dana untuk Rumah Sakit yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta itu.
Emak menunaikan ibadah haji pada 1978, bersamaan dengan Ridwan yang ketika itu ditugasi jadi dokter haji, bagian dari tim Petugas Kesehatan Haji Indonesia. Emak melakukan haji yang kedua kalinya pada 1982. Haji yang kedua itu dimaksudkan sebagai badal, yakni pengganti untuk Ayah yang tak pernah mendapatkan kesempatan berhaji. Ia melakukan haji kedua itu bersama Biro Perjalanan Haji dan Umrah Uswatun Hasanah, yang Emak dirikan bersama beberapa ibu di Kompleks Gubernuran.
Pada tahun 1993, Emak menjadi pembimbing peserta umrah Uswatun Hasanah. Sepulangnya dari umrah itu, Emak mendapat serangan jantung di atas pesawat terbang yang sedang berada di atas Kolombo, Sri Lanka. Emak segera dilarikan ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita ketika mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Sejak itu, kesehatan Emak mulai menurun. Emak secara rutin harus berkonsultasi dengan dr. Eko Antono, spesialis jantung di Bandung. Praktek dr. Eko sangat ramai, pasien datang sejak subuh sampai tengah malam. Isnaniah yang tinggal di Bandung harus mengantar Emak ke tempat praktek dr. Eko setiap bulan. Kadang, mereka menunggu giliran sampai menjelang tengah malam.
Tahun 1993, umur Emak sudah 75 tahun. Ia merasa semua kewajiban sebagai orang tua telah ditunaikannya. Semua anak telah mendapatkan pendidikan yang terbaik. Tidak semuanya menjadi sarjana, tetapi Emak yakin mereka telah memiliki bekal cukup dari pendidikan formal maupun pendidikan nilai-nilai dan budi pekerti di rumah. Anak-anak juga sudah menikah, kecuali si Bungsu, dengan pilihan mereka sendiri. Tidak semuanya sesuai dengan harapan Emak. Tetapi, ia selalu mengatakan kepada anak-anaknya, “Sekali mengambil keputusan, kalian harus hidup dengan konsekuensinya”.
Emak tak pernah mencampuri urusan rumah tangga anak-anaknya. Begitu pula pilihan pekerjaan mereka. Emak memang sempat heran ketika Rizal bekerja pada organisasi pembangunan nonpemerintah (Ornop), bukannya menjadi dosen atau menjadi pegawai negeri seperti saudaranya yang lain. Isnaniah, misalnya, lulus menjadi dokter gigi pada 1979 dan kemudian menjadi dosen di almamaternya Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.
Jalan Ornop Rizal ini kemudian diikuti Ichsan, walaupun ia sempat mengawali karirnya menjadi dosen di sebuah universitas swasta di Padang.
Emak juga tak banyak bertanya ketika Fansuri, bersama 30 dosen lainnya, diberhentikan karena mereka berdemonstrasi dan menulis petisi menuntut penggantian Rektor yang melakukan pelecehan seksual tahun 1992. Emak menerima anak itu kembali pulang ke rumah. Namun karena Fansuri telah berkeluarga, Emak memintanya membangun sebuah paviliun dengan dapur sendiri di samping rumah. Pada mulanya, Fansuri merasa Emak tidak ikhlas menerimanya pulang. Tetapi setelah ia renungkan, perlakuan Emak malahan melecut dirinya untuk kembali bangkit. Ia kemudian menjadi pemandu wisata, konsultan pembangunan, dan dua dekade terakhir menjadi pengelola perkebunan milik keluarga.
Sebetulnya Emak berharap ada anak lelakinya yang menikah dengan orang Minang. Dalam pikiran Emak, ia ingin cucunya punya tempat pulang ke Nagari di Minangkabau. Walaupun telah lama merantau, ikatan Emak dengan Nagari Supayang masih tetap kuat. Ia selalu mengupayakan pulang kampung paling tidak setahun sekali. Namun, anak lelaki Emak yang telah menikah saat itu, semuanya bersanding dengan perempuan bersuku Sunda. Harapan terakhirnya ada pada si bungsu Zaidir.
Zaidir menikah tahun 1994 dan memenuhi harapan Emak. Ia menikahi Eni, seorang gadis dari suku Minangkabau. Ketika menikah, Zaidir juga telah memiliki pekerjaan tetap yang cukup menjanjikan. Saat itu, begitu lulus sekolah ia bekerja pada satu perusahaan ritel yang dimiliki seorang pengusaha Indonesia. Karena kemampuan Bahasa Perancisnya, Zaidir dipercayai pemilik perusahaan untuk mengembangkan unit usaha di Eropa. Ia beberapa kali melawat ke Eropa untuk persiapan proyek tersebut. Namun ketika pemilik perusahaan meninggal, proyek itu dibatalkan oleh manajemen baru. Zaidir kemudian diberi tugas sebagai manajer salah satu gerai perusahaannya di Jakarta Selatan. Pada umur 30 tahun ia memiliki karier yang bagus dan siap membangun rumah tangga dengan gadis pilihannya sendiri yang kebetulan punya darah Minang, walaupun besar di Jakarta.
Emak sangat gembira dengan pernikahan Zaidir. Ini seolah akhir yang manis dari seluruh perjalanannya membesarkan anak-anak.
Tahun 1997, Zaidir masuk rumah sakit karena tekanan darah yang sangat tinggi. Lima hari di unit perawatan intensif, ia diperbolehkan pindah ke kamar perawatan biasa. Sore itu ia meninggal dunia, dugaannya karena serangan jantung.
Berita kepergian Zaidir disampaikan keluarga istrinya kepada Insyaf yang ketika itu tinggal di Padang. Insyaf kemudian menelepon Ridwan di Jakarta, serta Isnaniah dan Fansuri di Bandung. Anak-anak kebingungan bagaimana menyampaikan berita sedih itu kepada Emak. Akhirnya Isnaniah dan Fansuri mengajak Mas Hari, dokter yang tinggal di muka rumah Emak. Mas Hari telah dianggap seperti anak Emak sendiri.
Emak menangis sedih ketika mendengar kabar itu. Meninggalnya si anak bungsu merupakan pukulan berat bagi Emak, mungkin lebih menyedihkan daripada saat Ayah wafat.
Zaidir dikuburkan di Bandung keesokan harinya. Emak tampak tegar selama pemakaman berlangsung. Namun, semua orang dapat merasakan kesedihannya.