Jalan Buah Batu pada tahun 1960-an setia dengan namanya: penuh dengan batu sebesar kepalan tangan. Ketika keluarga Emak pindah ke sana, aspal hanya ada sampai di Jalan Gajah, ketika itu ujung tenggara kota Bandung. Lewat dari situ hanya ada tumpukan batu di atas tarmak. Beberapa kali warga perumahan jatuh dari becak karena kondisi jalan yang buruk itu.
Buah Batu sebetulnya nama kampung. Buah merujuk pada buah mangga dalam Bahasa Sunda. Mungkin dahulu di kampung itu ada pohon mangga yang buahnya sekeras batu!
Kalau dilihat dalam peta, Jalan Buah Batu membentang lurus sepanjang 2.600 meter dari arah barat laut ke tenggara. Pada zaman persiapan perang dunia kedua, jalan itu dibangun dengan lebar 12 meter di tengah-tengah persawahan. Jalan ini dimaksudkan sebagai landasan pesawat alternatif apabila lapangan terbang Andir dan lapangan terbang Margahayu diserang musuh.
Bandung mungkin satu-satunya kota yang memiliki dua lapangan terbang militer dan satu landasan terbang cadangan untuk pendaratan darurat di seluruh Hindia Belanda. Jangan lupa, Bandung adalah jantung pertahanan Hindia Belanda. Untuk mencegah kerusakan Bandung oleh pemboman Jepang, maka Belanda menyerah di Kalijati, 80 kilometer di utara kota kembang itu.
Buah Batu masih dipenuhi dengan persawahan di kiri kanan jalannya ketika Kompleks Gubernuran diresmikan. Bahkan, sebelas rumah pertama kompleks itu betul-betul seperti pulau di tengah lautan sawah. Baru setahun kemudian, dibangun 40 rumah tambahan untuk menampung para pegawai negeri yang masih tinggal di hotel.
Bersamaan dengan konstruksi Kompleks Gubernuran, dibangun pula kompleks perumahan Pos dan Telekomunikasi (Postel). Kemudian, Kompleks Direktorat Jenderal Bina Marga beserta Kompleks Kepolisian dan Departemen Pertahanan Keamanan (Hankam) dibangun melingkarinya. Tak berapa jauh, dibangun pula Kompleks Bank Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Kompleks Gubernuran 2 dibangun berhadapan dengan Kompleks Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jaraknya kurang lebih satu kilometer dari Kompleks Gubernuran 1, tempat tinggal kami.
Baru pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, sawah di Jalan Buahbatu habis menjadi rumah tinggal ketika perumahan Turangga dan Suryalaya dibangun. Keduanya adalah perumahan yang dibangun oleh perusahaan pengembang swasta. Kini, Buah Batu adalah salah satu pemukiman paling padat dengan jalan paling macet di kota Bandung.
Rumah di Kompleks Gubernuran modelnya seperti rumah jengki yang populer di Indonesia pada tahun 1950-an. Aslinya rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur, dengan kamar mandi, dapur, dan gudang yang terpisah. Rumah kami kemudian diperluas ketika Pak Gaek datang, mungkin pada akhir tahun 1961 atau awal 1962. Pak Gaek dibantu seorang tukang mengerjakan sendiri perluasan rumah tinggal itu.
Teras depan disulap menjadi kamar tidur untuk Amalia, dapur jadi kamar Insyaf, dan di atas gudang dibangun kamar dari kayu untuk Ridwan. Kami menyebut kamar itu kandang burung karena harus naik dengan tangga kayu yang curam. Sementara itu, tempat tidur Insyaf cukup tinggi, karena menggunakan landasan bekas bak cuci piring. Pak Gaek juga membuat dapur dan kamar pembantu dari kayu di halaman belakang.
Halaman belakang saat itu cukup luas untuk ditanami pisang, talas, keladi, dan tebu wulung. Sementara itu, halaman depan ditanami alpukat, mangga, jambu batu, dan cincau. Kami jarang membeli buah-buahan karena tersedia di halaman. Anak laki-laki yang lebih kecil dan nakal biasanya punya cara “kreatif” untuk ikut panen buah di halaman tetangga. Terutama, di halaman Pak Margana yang menanam pohon apel.
Tahun 1960, Ayah menjemput Srimurni dari Solok. Ketika itu, Pak Gaek sudah pensiun sebagai Kepala Sekolah SD di Solok. Namun, rumah di Jalan Mutu Manikam tak pernah betul-betul full house dengan semua anak Ayah dan Emak. Mereka bergantian tinggal di rumah itu dan rumah sanak-saudara lainnya.
Pada 1962, misalnya, Pak Gaek membawa Ichsan ke Supayang. Ichsan sempat dua tahun bersekolah di SD Negeri Supayang. Tahun berikutnya, Rizal diminta Pak Tuo Usman untuk diasuhnya di Jalan Anggrek. Rizal tinggal di sana sampai kelas satu SMP, yakni tahun 1967.
Pak Tuo Usman adalah saudara jauh Ayah dari Seberang Padang. Ia menikah dengan Ibu Aisyah, biasa dipanggil Ibu Anggrek, yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Karena Pak Tuo dan Ibu Anggrek tak memiliki anak, maka semua kemenakan dari Ponorogo mereka asuh sejak kecil hingga dewasa. Rizal adalah anak asuh keenam Pak Tuo, dan yang pertama dari keluarga di Seberang Padang. Anak asuh mereka yang kedua adalah Hartini, belakangan menjadi istri Soekarno. Maka kemenakan-kemenakan Ayah – yang hampir semuanya berperang di pihak PRRI – memberi Rizal nama panggilan Ipa si Soekarono (Iparnya Soekarno).
Ichsan dan Fansuri juga pernah tinggal di Jakarta bersama Amalia. Secara berurutan, mereka menempuh SMP di Jakarta. Ichsan pada 1969-1971 dan Fansuri tahun 1972-1974. Si bungsu Zaidir sempat pula tinggal bersama Damayanti dan menempuh SMP di Palembang pada 1977-1979.
Kompleks perumahan kami satu Rukun Kampung (RK) dengan kompleks Postel, Hankam, dan Bina Marga. Walaupun orang tua kami berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan dan suku, anak-anak ini besar bersama-sama. Mereka pergi ke sekolah yang sama, dan beberapa kemudian menjadi saudara karena ikatan perkawinan.
Tapi, ikatan paling erat bagi anak-anak Emak ada pada sebelas rumah yang kemudian menjadi Rukun Tetangga (RT) 1. Jalan di muka rumah kemudian diberi nama Jalan Mutu Manikam, sedangkan jalan-jalan di dalam kompleks dilabeli nama batu-batu mulia: berlian, kecubung, baiduri, dan lain-lain.
RT kami adalah Indonesia dalam versi kecil: ada suku Batak, Jawa, Sunda, Minahasa, dan Minang. Ada juga orang Indramayu yang tak mau dimasukkan ke dalam suku Jawa atau suku Sunda. Pekerjaan orang tua kami pun beragam. Guru jadi yang paling dominan, ada tiga orang di sana. Namun ada pula pamong praja, perwira polisi, serta pegawai dinas keuangan, dinas sosial, dinas kehutanan dan kantor imigrasi. Agama kami pun beragam, baik yang diakui oleh negara maupun tidak.
Karena setiap keluarga punya banyak anak, maka mereka yang sebaya kemudian menjadi seperti saudara angkat. Kami semua seperti satu keluarga besar dengan 11 ayah dan 11 ibu. Ikatan itu masih kuat sampai sekarang, walaupun masing-masing telah memiliki anak dan cucu.
Emak hamil lagi pada usia 45 tahun. Anak kesebelas Emak lahir pada 12 Juli 1964 di Hari Koperasi Indonesia. Anak itu diberi nama Zaidir. Anak sulung Emak, Amalia, telah berumur 23 tahun dan bekerja di Jakarta ketika anak bungsu ini lahir.
Emak memiliki tubuh yang sehat dan kuat. Semua anak lahir melalui persalinan normal, dan disusui setidaknya selama 6 bulan. Emak pernah bercerita, pada awal perkawinan ia berencana memiliki anak sedikit saja. Namun, gagasan itu ditentang Mak Gaek yang pernah menjadi satu-satunya anak perempuan dalam keluarga. Ia pun bertahun-tahun hanya punya satu anak, yaitu Emak. Menurut Mak Gaek, beranak sedikit adalah risiko besar bagi keberlanjutan keluarga. Ia ingin Emak memiliki banyak anak. Bila perlu, kalau Emak merasa keberatan, Mak Gaek akan mengurus cucu-cucunya.
Karena pendidikannya, Emak sedikit memahami tentang kesehatan reproduksi. Namun, pada zaman itu layanan keluarga berencana belum tersedia. Ketika pindah ke Bandung, Emak mulai berkonsultasi dengan Tante Zu, dokter yang bekerja di Rumah Sakit Tentara di Cimahi. Tante Zu adalah menantu kakek Koto Gadang. Suaminya, Om Do, tentara lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda dan pernah menjadi perwira KL. Om Do setelah kemerdekaan bergabung dengan Divisi Siliwangi.
Tante Zu adalah pelopor keluarga berencana di Kota Bandung. Ia salah satu pendiri Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 1957. Tante Zu mulai melakukan pelayanan keluarga berencana di klinik bersalin tentara di Jalan Riau, Bandung. Pada masa itu, alat kontrasepsi masih sangat sederhana dan kurang efektif.
Tampaknya, Emak sudah mulai melakukan konsultasi dengan Tante Zu sejak kelahiran Fansuri pada tahun 1960. Namun, upaya itu sepertinya hanya berhasil menjarangkan kelahiran sampai dengan empat tahun saja.
Selama hidupnya, Emak jarang sekali sakit. Itu memang dibutuhkan keluarga karena kondisi kesehatan Ayah yang rentan. Selain itu, ada pula sepuluh anak yang perlu diperhatikan kesehatannya. Barulah pada masa tuanya, Emak mengidap tekanan darah tinggi dan diabetes.
Gaji Ayah sebagai pegawai negeri sebetulnya sangat rendah. Tetapi, ketika itu ada tunjangan beras yang dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga. Dengan demikian, keluarga beranak banyak diuntungkan karena jatah pembagian berasnya cukup banyak. Maka walaupun hidup sangat sederhana, keluarga kami tidak pernah kelaparan. Selain itu, sekali-kali datang kiriman dari Supayang. Biasanya dalam bentuk ampiang (beras ketan yang ditumbuk), dendeng rusa hasil buruan Pak Gaek, dan dodol (gulamai) durian.
Perekonomian keluarga agak membaik ketika buku karya Ayah dan teman-temannya, Bahasa Kita, menjadi buku pelajaran Bahasa Indonesia yang banyak dipakai di Sekolah Dasar. Royalti dari buku itu, dibayar secara bulanan oleh penerbit Remaja Karya, dapat membiayai sekolah anak-anak Emak sampai Zaidir lulus dari universitas tahun 1989. Pak Rozali Usman, pemilik Remaja Karya, tampaknya juga bertindak sebagai lender of the last resort bagi keluarga Emak. Emak tak pernah mau berhutang, maka bila ada keperluan mendesak, Ayah biasanya meminta uang muka bagi royalti bukunya.
Untuk keperluannya sendiri, misalnya membeli pakaian atau mengirim uang untuk Mak Gaek, Emak tak pernah menggunakan uang belanja dari Ayah. Sejak kami tinggal di Bandung, Emak berdagang selendang, mukena, dan kain batik. Barang-barang itu diambilnya dari toko batik Prabu dan satu perusahaan konveksi milik temannya di Jalan Galunggung. Strategi berdagang Emak adalah memilih bahan dan warna yang terbaik untuk dipakai sendiri. Saat teman-temannya bertanya tempat membeli pakaian itu, Emak akan menawarkan dagangannya kepada mereka. Keuntungan Emak dalam berdagang adalah pakaian yang kemudian ia gunakan untuk pergi ke pengajian, arisan, dan rapat-rapat organisasi. Di tempat itu pula Emak menjajakan dagangannya.
Mendidik sepuluh anak tentu membutuhkan kiat tersendiri. Ayah dan Emak tak pernah berbeda pendapat, apalagi bertengkar, di muka anak-anak. Mereka juga mempunyai mekanisme check and balances. Setiap permintaan anak, misalnya sepatu baru, akan diambil berdua. Anak-anak tidak dapat meminta hanya kepada Ayah saja, atau kepada Emak saja. Diperlukan persetujuan mereka berdua.
Tapi, zaman kami kecil dulu biasanya pakaian dan buku pelajaran diturunkan dari kakak kepada adik. Hampir semua anak memakai baju lungsuran, sehingga ketika tiba pada anak-anak yang kemudian, pakaian itu sudah penuh dengan tisikan.
Suatu waktu, Ayah mendapatkan uang royalti buku cukup banyak, dan setiap anak dibelikan satu sepatu baru. Ayah pergi ke toko sepatu membawa ukuran kaki sepuluh anak yang digambar di dalam buku tulis.
Akhir bulan juga merupakan waktu yang istimewa untuk anak-anak. Ayah biasanya membelikan satu bungkus sate Padang Pak Datuk di Jalan Cikapundung, atau lotek Piranti di jalan Cilentah untuk setiap anak. Itu kompensasi untuk hari-hari biasa yang menunya terdiri dari telur dadar dan sayur bayam. Untuk telur dadar ini Emak punya resep khusus: tiga telur bebek dikocok serta diberi potongan kentang dan bawang. Telur dadar yang sebesar martabak itu kemudian dipotong 13 agar cukup untuk sekeluarga.
Anak-anak yang lebih besar mengenang masa-masa ketika mereka kecil dan Emak membacakan cerita sebelum tidur. Emak hafal cerita-cerita terkenal dari Hans Christian Andersen, Grimms bersaudara, maupun fabel (cerita binatang yang berperilaku seperti manusia) dari Aesop. Anak-anak yang lebih kecil tidak sempat, atau mungkin pula tidak ingat, pernah dibacakan cerita sebelum tidur. Mungkin karena sejak Damayanti lahir, Emak selalu melahirkan setiap dua tahun. Ia tak sempat lagi membaca cerita untuk anak yang lebih besar karena selalu ada bayi baru lahir dan memerlukan perhatian.
Satu hal yang selalu menjadi misteri bagi anak-anak adalah setiap orang merasa dirinya kesayangan Emak. Emak tampaknya bisa menyesuaikan perlakuannya selaras dengan kepribadian dan kebutuhan setiap anak. Dengan begitu, setiap anak merasa diperlakukan khusus.
Hubungan anak-anak dengan Ayah agak berjarak. Ayah adalah pribadi yang serius dan agak introver. Walaupun sebagai guru, tentunya ia memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Ayah pernah menjadi Ketua RT dan Ketua Seksi Rohani Islam di Kompleks Gubernuran. Seringkali, Ayah harus berpidato. Kesan kami, Ayah adalah seseorang yang sangat logis, runtut, dan tidak banyak basa-basi. Sebaliknya, Emak lebih memiliki bakat sebagai orator dan motivator.
Ayah dan Emak selalu berbahasa Indonesia dengan anak-anak. Apabila mulai serius, mereka berbicara dalam Bahasa Minang. Bila marah, dan ini biasanya karena kelakuan anak lelaki Emak yang memang hampir semuanya nakal, mereka akan berbicara dalam Bahasa Belanda. Karena itulah anak-anak tak ada yang ingin belajar Bahasa Belanda. Dengan begitu, mereka tak perlu mengerti apa yang dikatakan Ayah dan Emak ketika sedang marah.
Ayah dan Emak menjadi anggota perhimpunan persahabatan Indonesia-Belanda di Bandung. Perkumpulan ini punya perpustakaan Karta Pustaka di Jalan Banda. Ayah sering meminjam buku-buku novel dan majalah dalam Bahasa Belanda. Anak-anak juga sering diajak ke perpustakaan itu. Namun, tetap saja tak ada seorang anak pun yang kemudian tertarik belajar Bahasa Belanda.
Ada satu soal yang Emak dan Ayah berbeda pendapatnya: cerita silat. Anak-anak dan Emak gemar membaca cerita silat Tiongkok, mulai dari cerita silat bagi pemula seperti karangan Kho Ping Hoo, sampai yang hard core saduran OKT atau Boe Beng Tjoe dari karya Chin Yung (seri Memanah Rajawali, yang dimulai dari Sia Tiaw Eng Hiong) dan Liang I shen (seri Thiansan, atau Peng Tjoan Thian Lie). Ayah selalu keberatan mendengar anak-anak berbicara Bahasa Melayu pasar dengan dialek Hokkien: lu, gua, tengsin, cincai, gocap dan sebagainya. Sebagai guru Bahasa Indonesia, ia ingin keluarganya menjadi contoh cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Ayah pensiun tahun 1968. Ia kemudian aktif dalam kegiatan sosial di Rukun Kampung kami dan menjadi Ketua Seksi Rohani Islam (SIRIS). Ayah dan Emak juga aktif dalam klub bridge di Kompleks Gubernuran. Nama klub itu Mabrimi, singkatan dari Main Bridge Sambil Silaturahmi. Klub ini bertemu sebulan sekali, bergantian di rumah anggotanya. Beberapa kali setahun, klub Mabrimi melakukan pertandingan persahabatan dengan klub lain, kadang-kadang di luar Bandung. Pelatih Mabrimi adalah Pak Djanwar Dt. R. Madjolelo yang tinggal di RT 2. Ia merupakan Grandmaster Bridge dengan banyak pengalaman internasional.
Tahun 1976, kesehatan Ayah semakin memburuk. Serangan asma jadi semakin sering. Pada bulan April, Ayah masuk rumah sakit. Ia sempat keluar rumah sakit untuk menyaksikan pernikahan Srimurni tanggal 9 Mei, dan merayakan ulang tahunnya di rumah pada 29 Mei 1976.
Ayah meninggal dalam usia 63 tahun, tanggal 5 Juni 1976, di rumah Amalia di Jakarta. Ketika itu, Amalia telah menikah. Ridwan dan Insyaf juga sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota Bandung. Ridwan menjadi dokter di Ujung Berung, dan Insyaf bekerja di perkebunan teh Sinumbra di Ciwidey. Dua anak perempuan Emak lainnya, Damayanti dan Srimurni, juga telah menikah. Damayanti tinggal di Palembang, dan Srimurni di Jakarta.
Namun, masih ada lima anak yang masih bersekolah. Dua di universitas, dua di SMA, dan satu di sekolah dasar. Selain itu, ada satu kemenakan Emak, Erita, yang sejak kecil tinggal di rumah dan ketika itu bersekolah di SMA. Emak harus meneruskan cita-cita Ayah agar semua anaknya mendapatkan pendidikan terbaik!